|
SEMBILAN
INVASI LEBANON 1982
Masuknya pasukan Israel ke Lebanon pada 1982 adalah suatu
invasi berskala penuh yang melibatkan persenjataan berat,
pesawat-pesawat, dan kapal-kapal, yang sebagian besar buatan
AS. Nama operasi itu adalah Peace for Galilee, yang
mengisyaratkan bahwa sasaran Israel adalah mendorong para
gerilyawan Palestina mundur dari perbatasan untuk mencegah
serangan-serangan di dalam wilayah Israel. Dalam
kenyataannya pasukan Israel memasuki Beirut dan untuk
pertama kalinya mengepung sebuah ibukota Arab. Tujuan
Israel, ternyata, adalah membebaskan Lebanon dari para
pejuang Palestina dan pasukan Syria dan mengintimidasi
Lebanon agar menandatangani perjanjian perdamaian.
Pertempuran utama terjadi antara 6 Juni dan 26 September
1982, ketika pasukan Israel mundur dari Beirut Barat.
OMONG KOSONG
"Serangkaian insiden provokatif dan
pembalasan sepanjang bulan pertama tahun 1982 mencapai
puncaknya pada bulan Juni ketika [Duta Besar
Israel] Shlomo Argov ditembak di London... Pasukan
Israel didorong masuk Lebanon pada 6 Juni 1982."
--Hyman Bookbinder, mantan wakil Komite
Amerika-Yahudi,19871
FAKTA
Hingga terjadinya invasi Israel ke Lebanon pada 6 Juni
1982, para gerilyawan Palestina telah dengan hati-hati
mematuhi gencatan senjata yang berlaku sejak 24 Juli 1981.
Perbatasan utara Israel dengan Lebanon tenang. Tidak terjadi
serangan.2
Namun ketika Duta Besar Israel untuk London Shlomo Argov
ditembak pada 3 Juni, Perdana Menteri Menachem Begin dengan
segera memanfaatkan insiden itu untuk membenarkan invasi ke
Lebanon. Tindakan ini tetap dilakukan meskipun dalam
kenyataannya para analis intelijen Israel menyatakan bahwa
gerombolan pembunuh itu merupakan bagian kelompok teroris
Dewan Revolusioner Fatah, suatu kelompok yang sepenuhnya
berada di luar PLO. Kelompok itu diketuai oleh Abu Nidal,
terlahir Sabri Khalil Banna, salah satu musuh terbesar ketua
PLO Yasser Arafat.3
Sekalipun demikian, Begin menyatakan, "Mereka semua PLO,"
dan memerintahkan serangan udara besar-besaran yang dimulai
esok harinya atas kantor-kantor PLO di daerah padat di
Beirut dan di Lebanon Selatan, membunuh paling sedikit 45
orang dan melukai 150 orang. Invasi besar Israel berlangsung
tiga hari setelah Argov dilukai.4
Sebagaimana ditulis oleh seorang kritikus Israel tentang
Menteri Pertahanan Ariel ("Arik") Sharon: "Arik Sharon
memungut sebuah negeri yang relatif damai, yang perbatasan
utaranya tenang-tenang saja sepanjang tahun, dan
mencemplungkannya ke dalam pusaran besar kematian dan
kehancuran yang akibat-akibat petakanya menyebar ke segala
penjuru."5
OMONG KOSONG
"Kami tidak menginginkan satu inci pun dari
wilayah Lebanon." --Menachem Begin, perdana menteri
Israel, 19826
FAKTA
Lebih dari satu dasawarsa setelah invasi Israel pada 1982
Israel terus menguasai Lebanon Selatan. Menjelang akhir
1992, masih ada sekitar seribu pasukan Israel yang menduduki
"sabuk keamanari" yang direbut Israel pada 1978 dan
diperluas hingga dua belas mil masuk ke wilayah Lebanon pada
1982.7 "Sabuk
keamanan" ini (beberapa orang Israel menyebutnya "Tepi
Utara") merupakan 9 persen dari wilayah Lebanon dan menambah
lagi beberapa mil persegi pada daftar tanah Arab yang telah
dicaplok Israel sejak 1948.8
Sejak awal berdirinya Israel, para pemimpinnya telah
berambisi untuk mengambil alih bagian selatan Lebanon.
Misalnya, pada 1955, Moshe Dayan, waktu itu kepala staf,
mendiskusikan masalah itu dengan Perdana Menteri David
Ben-Gurion, dan mengatakan bahwa "satu-satunya hal yang
penting adalah menemukan seorang perwira, meski hanya
seorang mayor [di Lebanon]. Kita harus merebut
hatinya atau membelinya dengan uang, untuk membuatnya setuju
menyatakan diri sebagai penyelamat penduduk Maronite
[Kristen]. Selanjutnya angkatan bersenjata Israel
akan memasuki Lebanon, menduduki wilayah yang diperlukan,
dan menciptakan sebuah rezim Kristen yang akan bersekutu
dengan Israel. Wilayah dari Litani ke arah selatan akan
sepenuhnya dicaplok Israel dan segala sesuatunya akan
beres."9
OMONG KOSONG
"[Invasi Lebanon] adalah suatu
operasi yang akan berlangsung sekitar dua belas jam. Saya
tidak tahu bagaimana perkembangan masalahnya, jadi saya
sarankan kita mengawasinya dalam waktu dua puluh empat
jam." --Ariel Sharon, menteri pertahanan Israel,
198210
FAKTA
Kata-kata menenteramkan dari Menteri Pertahanan Ariel
Sharon pada malam invasi Israel ke Lebanon pada kabinet
Israel dan selanjutnya jaminan Israel pada Washington secara
sengaja dimaksudkan untuk menyesatkan, suatu upaya licik
untuk menutupi rencana-rencana besar Sharon untuk memaksakan
perjanjian damai di Lebanon, menghantam PLO, dan sekaligus
mengalahkan angkatan bersenjata
Syria.11
Dalam kenyataan, invasi Israel yang terdiri atas
berpuluh-puluh ribu pasukan tidak mungkin dapat bergerak
memasuki Lebanon sesuai jadwal sebagaimana dinyatakan oleh
Sharon, apalagi untuk mencapai tujuan-tujuannya dalam waktu
demikian pendek. Seperti yang kemudian terbukti, kekuatan
invasi Israel tetap tinggal di Lebanon selama tiga tahun.
(Di puncak kesibukannya dalam minggu-minggu pertama invasi
tersebut, Israel menerjunkan 90.000 pasukan, 12.000 truk
pasukan dan suplai, 1.300 tank, 1.300 kendaraan personil
bersenjata, 634 pesawat perang, dan sejumlah kapal perang.
Yang akhirnya dicapai oleh seluruh kekuatan ini adalah
evakuasi sekitar 8.300 pejuang PLO dari
Beirut.12)
Meskipun Israel mengumumkan bahwa penarikan mundurnya akan
selesai pada 6 Juni 1985, dalam kenyataannya ia tetap
meninggalkan sekitar 1.000 pasukan untuk mengawasi "sabuk
keamanari" di Lebanon Selatan.13
OMONG KOSONG
"Operasi Peace for Galilee dirancang bukan
untuk merebut Beirut melainkan untuk mendesak keluar
roket-roket dan artileri PLO dari jangkauan daerah
pemukiman kami. Kami berbicara tentang suatu jangkauan
sejauh empat puluh kilometer [dua puluh empat
mil]." --Ariel Sharon, menteri pertahanan Israel,
198214
FAKTA
Dalam waktu satu minggu invasi pasukan Israel berada di
Beirut, hampir enam puluh mil dari Israel. Pada saat itu
daratan Lebanon hancur dan 200.000 orang rakyatnya tercabut
dari akar mereka, dan setidak-tidaknya 20.000 orang terluka
atau terbunuh.15
Perdana Menteri Israel Menachem Begin menolak permintaan
internasional untuk menghentikan pembantaian, dengan
menyatakan bahwa invasi itu akan mengantarkan pada suatu era
"empat puluh tahun perdamaian."16
Sebagai gantinya dia memerintahkan pengepungan Beirut Barat
dengan lebih dari 500.000 penduduk
sipilnya.17
Beirut Barat berulang kali dibom dari udara dan terus
menjadi sasaran bombardemen artileri dan tembakan dari
kapal. Bom-bom cluster, napalm, fosfor, dan bahkan
senjata-senjata canggih digunakan untuk menyerang
daerah-daerah pemukiman.18
OMONG KOSONG
"Tidak pernah terlintas dalam pikiran setiap
orang yang terlibat dalam unit-unit militer Lebanon yang
selanjutnya memasuki kamp-kamp Sabra dan Shatila bahwa
mereka akan melakukan pembantaian." --Menachem Begin,
perdana menteri Israel, 198219
FAKTA
Sudah jelas pada 6 September bahwa suatu pembantaian
tengah dilakukan di beberapa kamp pengungsi Palestina di
Lebanon.20
Utusan Khusus AS Morris Draper cukup peduli dengan
mengemukakan masalah keamanan para pengungsi pada Perdana
Menteri Israel Ariel Sharon dan Kepala Staf Rafael Eitan.
Draper mengusulkan agar angkatan bersenjata Lebanon dikirim
ke kamp-kamp pengungsi Palestina di selatan Beirut untuk
mencari "para teroris" yang menurut Sharon bersembunyi di
sana. Namun Eitan mengatakan bahwa angkatan bersenjata
regular tidak mampu memikul tugas itu, sambil menambahkan:
"Lebanon sedang berada pada titik ledak menjadi huru-hara
balas dendam... Saya katakan pada Anda bahwa beberapa
komandan mereka mengunjungi saya, dan saya dapat melihat
pada mata mereka bahwa peristiwa itu akan menjadi suatu
pembantaian yang sangat kejam." 21
Pada waktu itu, pasukan Israel telah mengepung kamp-kamp
pengungsi Sabra dan Shatila dan sepenuhnya menguasai area.
Namun tidak seperti kata-kata yang diucapkannya pada wakil
Amerika, Eitan mengizinkan milisi Phalangis Kristen Lebanon
untuk memasuki dua kamp pengungsi pada 16 September untuk
menggunakan "metode-metode mereka sendiri." Eitan
menjelaskan pada kabinet Israel bahwa kamp-kamp itu dikepung
"oleh kami, bahwa kaum Phalangis akan mulai beroperasi malam
itu di dalam kamp-kamp, bahwa kami boleh memberi
perintah-perintah pada mereka sementara mustahil untuk
memberi perintah pada Angkatan Bersenjata
Lebanon."22
Pembantaian atas kaum wanita, anak-anak, dan kaum pria
yang telah tua-namun jelas bukan "teroris" yang kata orang
Israel tengah bersembunyi di kamp-kamp itu, sebab tidak
seorang pun yang dapat ditemukan-iimulai pada malam yang
sama, 16 September, dan berlangsung hingga 18 September.
Ketika berita tentang pembantaian itu tersebar dan kecaman
internasional tertuju pada Israel, Perdana Menteri Menachem
Begin dengan marah menyatakan: "Goyim membunuh Goyim dan
mereka menyalahkan orang Yahudi."23
Sebuah pernyataan yang telah dipersiapkan oleh kabinet
Israel berbunyi: "Suatu fitnah berdarah telah dilancarkan
pada bangsa Yahudi."24
Dan dalam sebuah surat untuk Senator Demokrat California
Alan Cranston, salah seorang pendukung terkuat Israel, Begin
menulis: "Seluruh kampanye... untuk menuduh Israel,
menyalahkan Israel, meletakkan tanggung jawab moral pada
Israel --semua itu di mata saya, seorang lelaki tua yang
telah melihat begitu banyak di dalam hidupnya, hampir tak
dapat dipercaya, fantastis, dan tentu saja betul-betul
tercela."25
Tetapi, dalam waktu beberapa bulan Komisi Penyelidik
resmi Israel, yang lebih dikenal sebagai Komisi Kahan,
menyimpulkan bahwa para pejabat Israel memang ikut bersalah
dalam pembantaian itu. Laporan itu menganggap milisi
Phalangis bersalah dengan "tanggung jawab langsung" dan
delapan orang Israel dengan "tanggung jawab tak langsung:"
Perdana Menteri Begin, Menteri Luar Negeri Yitzhak Shamir,
Menteri Pertahanan Sharon, Kepala Staf Letnan Jenderal
Eitan, Kepala Intelijen Militer Mayor Jenderal Yehoshua
Saguy, Mayor Jenderal Amir Drori, Brigarir Jenderal Amos
Yaron, dan Pemimpin Mossad yang tidak diidentifikasi. Yaron
di kemudian hari ditempatkan sebagai atase militer Israel di
Washington setelah ditolak oleh Kanada karena
keterlibatannya dalam pembantaian
itu.26
Komisi mengatakan: "Menurut pandangan kami, setiap orang
yang ada kaitannya dengan kejadian-kejadian di Lebanon
seharusnya mengkhawatirkan akan terjadi pembantaian di
kamp-kamp, jika pasukan bersenjata Phalangis digerakkan ke
dalamnya tanpa IDF [Pasukan Pertahanan Israel]
menjalankan pemeriksaan dan penelitian yang konkret dan
efektif atas mereka."27
Bukan hanya Israel membantu masuknya Phalangis ke dalam
kamp-kamp, tetapi juga para pejabat Israel tidak berbuat
apa-apa untuk menghentikan mereka begitu diketahui bahwa
pembantaian tengah berlangsung. Komisi mengatakan:
"Jelaslah... tidak ada tindakan cepat yang diambil untuk
mencegah kaum Phalangis dan untuk menghalangi aksi-aksi
mereka."28
Koresponden New York Times Thomas L. Friedman di
kemudian hari mencatat: "Orang-orang Israel itu tahu benar
apa yang tengah mereka lakukan ketika mereka membiarkan kaum
Phalangis memasuki kamp-kamp
tersebut."29
Israel mengatakan bahwa 700 hingga 800 orang terbunuh
dalam pembantaian Sabra dan Shatila.30
Perkiraan-perkiraan lainnya jauh lebih tinggi. Sabit Merah
Palestina mengetengahkan jumlah di atas 2.000 orang
sementara para pejabat Lebanon melaporkan 762 mayat berhasil
ditemukan dan 1.200 surat kematian
dikeluarkan.31
OMONG KOSONG
"Saya ingin menjanjikan pada Anda... bahwa
IDF --dengan mematuhi ketentuan-ketentuan pemerintah
tidak sekali pun sengaja melukai penduduk sipil."
--Menachem Begin, perdana menteri Israel,
198232
FAKTA
Di samping pembantaian Sabra dan Shatila, banyak penduduk
sipil Lebanon terbunuh dalam invasi Israel. Orang-orang
Israel, para wartawan, diplomat, pengamat internasional, dan
yang lain-lain semuanya telah menyaksikan hilangnya nyawa
penduduk sipil yang luar biasa
banyak.33
Perkiraan-perkiraan sangat beragam, namun semuanya mematok
angka ribuan. Militer Israel melaporkan 12.276 orang
terbunuh pada 6 Oktober 1982.34
Polisi Lebanon mengemukakan angka 19.085 terbunuh dan 30.302
luka-luka, termasuk 6.775 di Beirut, di mana 84 persen di
antara mereka adalah penduduk sipil dan sepertiganya
anak-anak.35
Komite Penasihat tentang Hak-hak Asasi Manusia dari
American Friends Service Committee memperkirakan hampir
200.000 orang Palestina terpaksa kehilangan rumah mereka
sebagai akibat penghancuran sistematis atas kamp-kamp
pengungsi oleh angkatan bersenjata Israel dalam empat bulan
pertama invasi itu.36
Selain itu, pasukan Israel melibatkan diri mereka dalam
perampasan harta penduduk sipil, sebagaimana yang telah
mereka lakukan dalam perang-perang
sebelumnya.37
Truk-truk yang penuh barang rampasan terlihat berjalan
kembali ke Israel dalam konvoi-konvoi seperti ketika Israel
mundur pada akhir September 1982. Dr. Sabri Jiryis, direktur
Pusat Riset PLO di Beirut, mengeluh bahwa para serdadu
Israel mengangkut pergi seluruh 25.000 jilid buku-buku
perpustakaan riset dalam bahasa Arab, Inggris, dan Ibrani.
Dr. Jiryis mengatakan para serdadu Israel melewatkan waktu
satu minggu di pusat itu untuk mengambil semua berkas,
naskah, dokumen, mikrofilm, mesin cetak, telepon, dan
peralatan eletronik. Mereka juga menghancurkan meja-meja,
lemari-lemari berkas, dan perlengkapan-perlengkapan
lain.38
Orang-orang Israel itu meninggalkan coretan-coretan
Binding seperti "Orang Palestina? Apa Itu?" dan "Orang-orang
Palestina, persetan kalian."39
Di bawah tekanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Israel
mengembalikan arsip-arsip itu pada 24 November
1983.40
Israel juga menggunakan bom-bom cluster buatan AS
terhadap penduduk sipil, suatu pelanggaran atas persetujuan
dengan Amerika Serikat untuk hanya menggunakan bom-bom
tersebut dalam upaya membela diri. Akibatnya, pemerintahan
Reagan melapor kepada Kongres pada 24 Juni bahwa Israel
"mungkin telah" melanggar Undang-undang Pengawasan Ekspor
Senjata dengan menggunakan senjata-senjata AS bukan untuk
tujuan pertahanan diri dalam invasi ke Lebanon. Tiga hari
kemudian pengapalan unit-unit bom cluster ke Israel
dihentikan, namun hanya sementara.41
Sunday Times London melaporkan bahwa dalam dua
bulan pertama invasi hingga 6 Agustus para penembak Israel
telah menghantam 5 bangunan PBB, 134 kedutaan besar atau
tempat kediaman diplomatik, 6 rumah sakit dan klinik, 1
rumah sakit jiwa, Bank Sentral, 5 hotel, kantor Palang
Merah, dan rumah-rumah yang tak terhitung jumlahnya di
Beirut.42 Semua
lalu lintas ke bagian barat kota itu dihentikan. Air,
listrik, makanan, bensin, dan pasokan-pasokan sipil penting
lainnya dicegat oleh pasukan Israel.43
Ketika Presiden Reagan mendesak Perdana Menteri Begin untuk
memerintahkan pasukan Israel menghentikan pelanggaran atas
gencatan senjata yang didukung PBB, Begin menanggapi: "Tak
seorang pun, tak seorang pun akan membuat Israel berlutut.
Anda pasti telah lupa bahwa orang-orang Yahudi hanya
berlutut kepada Tuhan."44
Begin menambahkan aksi kekerasan pada kata-katanya yang
menantang itu seminggu kemudian ketika Israel melancarkan
serangan yang paling merusak atas Beirut. Serangan besar
pada 12 Agustus dengan pesawat-pesawat, senjata-senjata
artileri, dan kapal itu dikenal sebagai Black Thursday. Hari
penghancuran dimulai dengan serangan artileri besar pada
dini hari yang diikuti dengan delapan jam penuh bombardemen
udara 45
Sebanyak lima ratus orang terbunuh dalam serangan
tersebut.46
Presiden Reagan demikian marahnya sehingga dia sendiri
menelpon Begin dua kali hari itu, menuduh bahwa Israel
menyebabkan "kehancuran dan pertumpahan darah yang tak
perlu."47
Pemboman-pemboman itu "tidak dapat diduga dan tidak
berperikemanusiaan," Reagan
mendakwa.48
Gedung Putih secara terbuka mengumumkan bahwa "Presiden
sangat terkejut pagi ini ketika dia mengetahui terjadinya
bombardemen Israel besar-besaran yang baru dilakukan di
Beirut barat."49
Pada akhir Agustus koran Lebanon An-Nahar memperkirakan
bahwa 5.515 orang telah terbunuh dan 11.139 orang terluka di
Beirut. Meskipun Israel berkeras bahwa "hanya 3.000" orang
yang terbunuh dan bahwa kebanyakan di antara mereka adalah
"teroris," yang lain-lainnya memperkirakan bahwa untuk
setiap gerilya Palestina yang terbunuh atau terluka, empat
orang penduduk sipil telah terbunuh atau
terluka.50
OMONG KOSONG
"Perang Lebanon, seperti semua perang Israel,
merupakan perjuangan untuk membela diri."--Ariel
Sharon, menteri pertahanan Israel,
198951
FAKTA
Bahkan Perdana Menteri Israel Menachem Begin sekalipun
tidak mengakui bahwa ancaman dari Lebanon demikian besarnya
sehingga Israel terpaksa melancarkan perang. Dalam sebuah
pidato di depan Kolese Pertahanan Nasional Israel, Begin
menyatakan bahwa Israel telah terjun dalam tiga peperangan
di mana ia tidak mempunyai alternatif kecuali ikut berjuang
dan tiga peperangan lainnya di mana ia mempunyai suatu
"pilihan" --termasuk Invasi Lebanon
1982.52 Begin
menyatakan bahwa peperangan yang tidak mengandung pilihan
lain adalah Perang Kemerdekaan 1948,
Perang Atrisi 1969-70, dan Perang
Yom Kippur/Perang Ramadhan 1973. Dia menambahkan:
"Peperangan kita yang lain bukannya tanpa alternatif."
Peperangan yang dipilih itu menurut Begin adalah yang
terjadi pada 1956, 1967, dan 1982. "Pada November 1956 kita
mempunyai pilihan. Alasan untuk berperang waktu itu adalah
desakan untuk menghancurkan fedayeen, yang tidak merupakan
ancaman bagi eksistensi negara... Pada Juni 1967, lagi-lagi
kita mempunyai pilihan. Pengkonsentrasian angkatan
bersenjata Mesir di Sinai tidak membuktikan bahwa Nasser
benar-benar akan menyerang kita. Kita harus jujur pada diri
sendiri. Kita memutuskan untuk menyerangnya.
"Sedangkan mengenai Operasi Peace for Galilee
[1982], itu sesungguhnya tidak termasuk pada
kategori peperangan tanpa alternatif. Kita mestinya pergi
melihat penduduk sipil kita yang terluka di Metulla atau
Qiryat Shimona atau Nahariya... Benar, aksi-aksi semacam itu
bukan merupakan ancaman bagi eksistensi negara."
OMONG KOSONG
"Kebanyakan dari yang Anda baca di
koran-koran dan majalah-majalah tentang perang di Lebanon
--dan lebih-lebih lagi apa yang telah Anda lihat dan
dengar di televisi-- sama sekali tidak benar."
--Martin Peretz, penerbit New Republic,
198253
FAKTA
Invasi Israel ke Lebanon pada 1982 adalah perang Timur
Tengah pertama yang ditayangkan di televisi dengan segala
kengeriannya. Laporan-laporan bergambar setiap hari yang
memperlihatkan pasukan Israel membombardir penduduk sipil
menimbulkan protes-protes internasional. Di Amerika Serikat
para pendukung Israel bersatu di pihak Israel, menyatakan
bahwa mereka dapat melihat adanya hikmah di balik semua
penderitaan itu.
Mantan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger menyatakan
bahwa invasi itu "membuka kesempatan-kesempatan luar biasa
bagi suatu diplomasi Amerika yang dinamis di seluruh Timur
Tengah."54
Arthur Goldberg, mantan duta besar AS untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa, menyimpulkan bahwa kini "mestinya ada
kemungkinan untuk mengadakan suatu persetujuan otonomi
secepat-cepatnya."55
Ahli sejarah Barbara Tuchman berpendapat bahwa Israel tidak
punya pilihan sebab aksi-aksi Arab itu berada di luar
kontrol Israel. Dia menambahkan bahwa yang paling
memprihatinkannya adalah "kelangsungan hidup dan masa depan
Israel dan Yahudi dalam diaspora itu --saya sendiri di
antaranya."56
Sementara protes-protes terhadap Israel di seluruh dunia
semakin meningkat, orang-orang Israel beserta para pendukung
mereka melancarkan kampanye keras terhadap media. Thomas L.
Friedman dari New York Times disebut "Yahudi yang
membenci diri sendiri" oleh angkatan bersenjata Israel;
New Republic menyerang pers yang anti-Israel, dan
sebuah artikel dalam Penthouse menanyakan pada para
pembaca mengapa "para wartawan Amerika dengan penuh semangat
bergabung dengan massa yang main hakim sendiri untuk melawan
Israel." Harian berbahasa Ibrani yang bergengsi
Ha'aretz mencetak sebuah artikel panjang berjudul
"Media Menjual Hati Nurani Mereka pada PLO." Sebuah buku
yang ditulis oleh seorang Israel kelahiran Amerika
menyatakan bahwa para wartawan Barat di Beirut telah
"diteror" oleh para penjahat keji Muslim dan "oleh kejadian
atau rancangan... yang tergabung dalam suatu komplotan untuk
memfitnah Israel." Dan mantan Duta Besar AS untuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa Jeane Kirkpatrick menyatakan
bahwa penulisan laporan itu "tidak adil" untuk
Israel.57
Di samping menganggap pers kejam, para pendukung Israel
berusaha mencari cara-cara lain untuk memaafkan atau
memahami perilaku Israel. Morris B. Abrams, seorang mantan
wakil AS dalam Komisi Hak-hak Asasi Manusia PBB, berusaha
membenarkan aksi-aksi Israel dengan membandingkannya dengan
kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang Barat:
"Tanggung jawab moral bagi hilangnya nyawa-nyawa tak berdosa
di Lebanon, sebagaimana halnya di Dresden, Jerman, dan
Normandia, di Prancis, selama Perang Dunia II, terutama
terletak pada mereka yang memulai teror dan bukan yang
mengakhirinya." Dia menyimpulkan bahwa perang itu "mungkin
tidak akan terjadi" jika negara-negara Arab telah menampung
para pengungsi Palestina.58
Pengarang Zionis Norman Podhoretz dan yang lain-lainnya,
termasuk aktivis anti-Perang Vietnam Jane Fonda, melihat
adanya anti-Semitisme dalam akar kecaman terhadap invasi
Israel. Para pengecam invasi, kata Podhoretz, menolak
"hak-hak asasi bangsa Yahudi untuk membela diri... Yang kita
dapati di sini adalah anti-Semitisme kuno yang telah
dimodifikasi untuk disesuaikan dengan pola-pola kehidupan
internasional."59
Setelah perang, sebuah kelompok bernama Americans for a
Safe Israel melancarkan tekanan keras pada NBC, memprotes
peliputannya. Kelompok itu memproduksi sebuah film
dokumentasi berjudul NBC in Lebanon: A Study of Media
Misrepresentation dan sebuah karangan ilmiah, NBC's War in
Lebanon: The Distorting Mirror, yang berusaha
mendiskreditkan peliputan jaringan itu. Di kemudian hari,
ABC juga kena serangan. Sebuah organisasi pro Israel lain
yang muncul karena perang itu adalah Komite untuk Akurasi
Laporan Timur Tengah di Amerika (CAMERA). Ia berhasil
mencegah lima belas stasiun radio di Baltimore, Maryland,
agar tidak menyiarkan iklan menentang bantuan kepada Israel
yang dibayar oleh Asosiasi Nasional Arab
Amerika.60
Mengapa timbul reaksi yang begitu berlebihan pada
peliputan media?
Robin Fisk, seorang wartawan veteran untuk The
Times London, yang selamat dalam invasi Israel ketika
ditempatkan di Beirut, menyimpulkan bahwa alasan bagi
histeria itu adalah karena invasi 1982 tersebut membuktikan
pada dunia bahwa pasukan Israel bertindak persis seperti
pasukan-pasukan lainnya di masa perang. Perbedaannya pada
1982, "untuk pertama kalinya, para wartawan mendapatkan
akses terbuka pada pihak Arab dalam perang Timur Tengah dan
mendapati bahwa angkatan bersenjata Israel yang dianggap tak
terkalahkan, dengan moral tinggi dan sasaran militer yang
dinyatakan secara tegas untuk melawan 'terorisme,' tidak
menjalankannya dengan cara sebagaimana digambarkan dalam
legenda itu. Orang-orang Israel itu bertindak brutal, mereka
memperlakukan para tawanan dengan sangat buruk, membunuh
beribu-ribu penduduk sipil, berbohong mengenai
aktivitas-aktivitas mereka, dan kemudian menyaksikan sekutu
milisi mereka membantai para penduduk kamp pengungsi. Dalam
kenyataannya, mereka bertingkah persis seperti
angkatan-angkatan bersenjata Arab yang 'biadab,' yang mereka
cemoohkan terus-menerus selama 30 tahun
ini."61
Catatan kaki:
1 Bookbinder dan
Abourezk, Through Different Eyes, 52.
2 Ball, Error and
Betrayal in Lebanon, 35; Khouri, The Arab-Israeli
Dilemma, 429; Schiff dan Ya'ari, Israel's Lebanon War,
69-70.
3 Schiff dan Ya'ari,
Israel's Lebanon War, 98. Tiga orang Palestina
dihukum di London pada 5 Maret 1983, dengan hukuman tiga
puluh hingga tiga puluh lima tahun untuk usaha itu; kelompok
radikal Abu Nidal kemudian hari mengakui bahwa
orang-orangnya terlibat di dalamnya.
4 New York Times,
5 Juni 1982. Kementerian Penerangan Lebanon menyatakan
jumlah korban adalah 60 meninggal dan 270 terluka; lihat
Nakhleh, Encyclopedia of the Palestine Problem,
795.
5 Benziman, Sharon,
269.
6 New York Times,
22 Juni 1982.
7 Thomas L. Friedman,
New York Times, 22 September 1986; Ahmad Beydoun,
"The South Lebanon Border Zone: A Local Perspective;"
Journal of Palestine Studies, Musim Semi 1992,48.
8 Augustus Richard
Norton, Washington Post, 1 Maret 1988.
9 Parafrase dari
komentar-komentar Dayan dalam buku harian Moshe Sharett,
dikutip dalam Rokach, Israel's Sacred Terrorism,
28.
10 Schiff dan Ya'ari,
Israel's Lebanon War, 105.
11 Ball, Error and
Betrayal in Lebanon, 25-29.
12 Claudia A. Wright,
"The Israeli War Machine;" Journal of Palestine
Studies, Musim Dingin 1983, 39; juga lihat Ball,
Error and Betrayal in Lebanon, 56.
13 New York
Times, 7 Juni 1985.
14 Schiff dan Ya'ari,
Israel's Lebanon War, 105.
15 Randal, Going All
the Way, 249. Juga lihat Cheryl Rubenberg, "Beirut under
Fire," Journal of Palestine Studies, Musim
Panas/Gugur 1982, 62-68.
16 Friedman, From
Beirut to Jerusalem, 145; Edward Walsh, Washington
Post, 5 Juni 1983.
17 MacBride, Israel
in Lebanon, 209.
18 Green, Living by
the Sword, 168.
19 New York
Times, 2 Oktober 1982.
20 Ball, The Passionate
Attachment, 132-34.
21 Schiff and Ya'ari,
Israel's Lebanon War, 259-60.
22 "Final Report of the
Israeli Commission of Inquiry into Events at the Refugee
Camps in Beirut," Journal of Palestine Studies, Musim
Semi 1983, 97.
23 Silver,
Begin, 236.
24 Ball, Error and
Betrayal in Lebanon, 58.
25 Teks surat itu
terdapat dalam New York Times, 2 Oktober 1982.
26 New York
Times, 6 Maret 1987.
27 Kutipan-kutipan dari
laporan itu terdapat dalarn New York Times, 9
Februari 1983, dan dalam "Final Report of the Israeli
Commission of Inquiry;" Journal of Palestine Studies,
Musim Semi 1983, 89-116.
28 Schiff dan Ya'aroi,
Israel's Lebanon War, 237.
29 Friedman, From
Beirut to Jerusalem, 164.
30 "Final Report of the
Israeli Commission of Inquiry, Journal of Palestine
Studies, Musim Semi 1983,1175.
31 Ball, Error and
Betrayal in Lebanon, 57. Juga lihat Jack Redden, United
Press International, 13 Oktober 1982; Carol Collins,
"Chronology of the Israeli War in Lebanon," Journal of
Palestine Studies, Musim Dingin 1983,116.
32 MacBride, Israel
in Lebanon, 57.
33 Untuk telaah
mengenai masalah itu, lihat Bab 8, "Civilian Population,"
dalam MacBride, Israel in Lebanon, 49- 65.
34 Carol Collins,
"Chronology of the Israeli War in Lebanon;" Journal of
Palestine Studies, Musim Dingin 1983,113.
35 Ibid., 113,145.
36 Rubenberg, Israel
and the American National Interest, 281.
37 Palumbo, The
Palestinian Catastrophe, 69, melaporkan pada 1949;
Dayan, Diary of the Sinai Campaign 1956, 164; Facts on File
1973, 248, melaporkan tentang perampasan pada 1967.
Tidak terjadi perampasan dalam perang
Atrisi atau perang 1973 sebab
keduanya terbatas di wilayah kering.
38 Washington
Post, 29 September 1982; Ihsan A. Hijazi, New York
Times, 30 September 1982.
39 Friedman, From
Beirut to Jerusalem, 159.
40 Resolusi A/38/180.
Teks itu terdapat dalam Simpson, United Nations
Resolutions on Palestine and the Arab-Israeli Conflict,
3: 73-80.
41 Undang-undang itu
telah diajukan untuk menentang Israel sebanyak lima kali:
oleh pemerintahan Reagan pada Juli 1982, 10 Juni 1981, dan
31 Maret 1983; dan oleh Presiden Carter pada 5 April 1978
dan 6 Agustus 1979. Tidak sekali pun dalam kelima kasus itu
Kongres mengambil tindakan, yang mungkin mencakup
penghentian bantuan militer.
42 Sunday Times
London, 8 Agustus 1982.
43 Schiff dan Ya'ari,
Israel's Lebanon War, 195-229. Juga lihat Fisk, Pity the
Nation, 395; Chomsky, The Fateful Triangle,
267-68.
44 Ball, Error and
Betrayal in Lebanon, 45.
45 Schiff dan Ya'ari,
Israel's Lebanon War, 225.
46 "Chronology of the
Israeli Invasion of Lebanon;" Journal of Palestine
Studies, Musim Panas/Gugur 1982,189.
47 Ball, Error and
Betrayal in Lebanon, 46.
48 Schiff dan Ya'ari,
Israel's Lebanon War, 226.
49 Teks pernyataan itu
terdapat dalam "Documents and Source Material," Journal
of Palestine Studies, Musim Panas/Gugur 1982,339-40.
50 MacBride, Israel
in Lebanon, 53-54.
51 Sharon,
Warrior, 494.
52 Fisk, Pity the
Nation, 391-93. Kutipan-kutipan terdapat dalam "Documents
and Source Material," Journal of Palestine Studies,
Musim Panas/Gugur 1982, 318-79.
53 Dikutip dalam
Chomsky, The Fateful Triangle, 281.
54 Washington Post, 16
Juni 1982.
55 New York Times, 15
Agustus 1982. Lihat Chomsky, The Fateful Triangle, 203, yang
menyebut ramalan-ramalan yang optimistik mengenai invasi ini
"kenaifan atau sinisme."
56 Fisk, Pity the
Nation, 395. Juga lihat Chomsky, The Fateful Triangle,
267-68.
57 Fisk, Pity the
Nation, 408-22.
58 Morris B. Abrams,
New York Times, 24 Agustus 1982. Juga lihat Chomsky, The
Fateful Triangle, 264.
59 Norman Podhoretz,
New York Times, 15 Juni 1982. Lihat juga Chomsky, The
Fateful Triangle, 269-71.
60 Rubenberg, Israel
and the American National Interest, 339.
61 Fisk, Pity the
Nation, 407.
|