Maling Teriak Maling:
Amerika Sang Teroris?

Noam Chomsky


Terorisme Timur Tengah dan Sistem Ideologi Amerika (2/3)

Invasi Israel atas Lebanon pada Juni 1982 juga selalu disajikan dalam bentuk yang sangat steril. Shimon Peres menulis bahwa operasi "Damai untuk Galilee" dilancarkan "guna menjamin bahwa Galilee tidak akan lagi ditembaki oleh roket-roket Katyusha". Eric Breindel menjelaskan, "sudah terang, tujuan utama invasi Israel pada 1982" adalah "untuk melindungi daerah Galilee ... dari serangan roket Katyusha dan penembakan lain dari Lebanon." Halaman-halaman berita Times memberi tahu kita bahwa invasi itu terjadi "setelah serangan-serangan atas permukiman-permukiman di Israel Utara oleh Organisasi Pembebasan Palestina", dan --tanpa ulasan-- menyatakan bahwa para pemimpin Israel "mengatakan bahwa mereka ingin mengakhiri serangan-serangan roket dan penembakan di perbatasan utara Israel" yang "sudah tuntas selama tiga tahun Tentara Israel berada di Lebahon". Henry Kamm menambahkan bahwa "Selama hampir tiga tahun masyarakat Qiryat Shemona tidak lagi tidur di lubang-lubang perlindungan mereka, dan orang-orang tua tak lagi khawatir kalau anak-anak mereka ke luar untuk sekolah atau bermain-main. Roket-roket Katyusha buatan Soviet, yang selama bertahun-tahun menghajar kota di dekat perbatasan Lebanon ini dengan interval tak menentu, tak lagi jatuh sejak Israel menginvasi Lebanon pada Juni 1982." Dan Thomas Friedman mengungkapkan, "Seandainya roket-roket kembali berjatuhan di perbatasan utara Israel setelah semua yang sudah ditembakkan di Lebanon, rakyat Israel akan menderita"; ... sekarang ini sudah tak ada lagi roket-roket yang jatuh di Israel Utara ... dan seandainya, serangan-serangan besar kembali menghantam perbatasan utara Israel, kelompok minoritas (yang sering membantu tentara di Lebanon) dapat mekar menjadi mayontas lagi". Dalam salah satu dari banyak laporan berita human interest-nya tentang nestapa orang-orang Israel yang menderita, Friedman menyatakan bahwa "Operasi.Damai untuk Galilee-yakni invasi Israel atas Lebanon-semula dilakukan" untuk melindungi penduduk sipil dari para penembak Palestina. Tokoh-tokoh politik kerap menguraikan doktrin serupa. Zbigniew Brzezinski menulis bahwa "kehadiran militer Syria yang terus bertambah dan pemanfaatan orang Lebanon oleh Organisasi Pembebasan Palestina untuk melakukan serangan-serangan terhadap Israel semakin mendorong invasi Israel tahun lalu". Dan Ronald Reagan, dengan memamerkan moral pengecut khasnya, meminta kita untuk "ingat bahwa kalau (invasi) ini sudah dimulai, Israel, karena perbatasan utara miliknya dilanggar oleh orang-orang Palestina, PLO, dapat leluasa untuk ke Beirut", tempat bercokolnya "10.000 orang Palestina(!) yang telah menimbulkan kehancuran atas Beirut"; jadi, kehancuran itu bukan oleh para pembom sinting yang ia dukung dengan sepenuh hati.45 Cerita-cerita ini dan segerobak cerita lainnya --banyak yang merupakan paparan murung tentang penderitaan masyarakat Galilee yang kerap dihajar bom Katyusha membantu menciptakan gambaran yang disepakati tentang kaum fanatik Palestina yang dipersenjatai Soviet, dan cap bahwa kelompok Palestina adalah unsur utama dalam jaringan terorisme internasional yang berbasis di Rusia, yang memaksa Israel menginvasi dan menghajar kamp-kamp pengungsi Palestina dan sasaran-sasaran lainnya sesuatu yang pasti dilakukan oleh setiap negara untuk membela rakyatnya dari serangan teroris yang kejam.

Dunia nyata, sekali lagi, berbeda. David Shipler menulis, "Dalam masa empat tahun antara invasi Israel terdahulu atas Lebanon Selatan pada 1978 dan invasi 6 Juni 1982, sebanyak 29 orang. telah terbunuh di Israel Utara dalam segala bentuk serangan dari Lebanon, termasuk penembakan dan pelanggaran perbatasan oleh para teroris," tetapi, selama satu tahun sebelum invasi 1982 itu, keadaan perbatasan tersebut tenteram."46 Laporan ini patut kita pandang mendekati setidaknya setengah-kebenaran. Sementara PLO tak melakukan aksi-aksi pelanggaran perbatasan selama satu tahun sebelum invasi Israel, perbatasan itu sama sekali tidak tenteram sebab teror Israel terus berlangsung dan menewaskan banyak warga sipil; sekali lagi, perbatasan tersebut "tenteram" hanya dalam pengertian rasis menurut diskursus Amerika. Selain itu, Shipler maupun rekan-rekannya tak ingat bahwa sementara 29 orang terbunuh di Israel Utara sejak 1978, beribu-ribu orang tewas oleh bombardemen Israel di Lebanon, yang nyaris tak diungkap di AS, dan bukan dalam pengertian "pembalasan".

Pemboman-pemboman sejak 1978 itu merupakan unsur utama dalam "proses perdamaian" Camp David yang, mudah ditebak, yaitu membebaskan Israel untuk memperluas represi dan perampasannya atas daerah-daerah pendudukan sambil menyerang tetangga utaranya. Sementara itu, benteng utama Arab (Mesir) kini minggir dari ajang konflik dan dukungan militer AS meningkat pesat. William Quandt lebih jauh mencatat bahwa "Rencana operasional Israel untuk menginvasi Lebanon guna menggebuk PLO (pada 1981-82) itu tampaknya bertepatan dengan pemantapan perjanjian perdamaian Mesir-Israel." Perlu dicatat bahwa makna yang jelas dari perjanjian Camp David, meskipun tak diungkapkan di media Amerika pada waktu itu (ketika ia sama jelasnya) dan seterusnya, dimengerti oleh para wartawan terkemuka Amerika. Maka, dalam sebuah wawancara di Israel, David Shipler menyatakan, "Di pihak Israel, tampak bagi saya bahwa perjanjian perdamaian ini mempersiapkan situasi bagi peperangan di Lebanon. Dengan Mesir tak lagi merupakan negara konfrontasi, Israel merasa bebas untuk menyulut sebuah perang di Lebanon, sesuatu yang agaknya tak akan berani ia lakukan sebelum perjanjian perdamaian ini. Adalah suatu ironi (sic) bahwa perang di Lebanon tidak akan terjadi tanpa perjanjian perdamaian tersebut."47 Ia tak pernah menulis yang semacam ini di Times selama lima tahun menjadi koresponden Israel, yang berakhir Juni 1984; atau sejak itu. Shipler menambahkan, "Saya kira tidak akan timbul oposiai sedemikian besar terhadap perang tersebut di kalangan warga Israel, jika tidak ada perjanjian perdamaian serupa ini."' Dengan berada di Israel pada saat itu, Shipler tahu bahwa "oposisi sedemikian besar terhadap perang tersebut" adalah sebuah propaganda buatan pasca-peristiwa (post hoc) yang dirancang untuk memulihkan citra "Israel yang indah"; kenyataannya, oposiai yang muncul kecil saja, dan baru membesar setelah pembantaian-pembantaian pasca-perang Sabra-Shatila (ketika para pendukung perang itu di AS pun meninggalkan si kapal karam --Israel-- dan menciptakan kecurangan sejarah tentang "oposisi sudah sejak awal", yang sangat mirip seperti dalam kasus perang Indocina) dan khususnya lantaran memuncaknya biaya pendudukan itu.48

Kembali ke dunia nyata, lihatlah lebih dulu latar belakang langsung dari operasi "Damai untuk Galilee" itu. PLO meniatuhi gencatan-senjata rancangan AS pada Juli 1981, di tengah seringnya upaya-upaya Israel untuk memancing aksi yang dapat digunakan sebagai dalih untuk melakukan invasi yang telah direncanakan itu, termasuk pemboman di akhir April 1982 yang menewaskan dua lusin orang, menenggelamkan sejumlah perahu nelayan, dan lain-lain. Perkecualiannya hanya berupa sebuah pembalasan lunak pada bulan Mei setelah pemboman Israel, dan tanggapan terhadap serangan-serangan darat dan pemboman besar Israel di Lebanon pada Juni yang memakan banyak korban sipil. Serangan-serangan Israel tersebut adalah dalam rangka "pembalasan" atas usaha pembunuhan duta besar Israel di London oleh Abu Nidal, musuh berat PLO yang tak punya sebuah kantor pun di Lebanon --lagi-lagi cerita lazim tentang "pembalasan".

Usaha pembunuhan itulah yang dipakai sebagai dalih untuk invasi .yang sudah lama direneanakan itu. New Republic menyatakan bahwa sukses-sukses perunding PBB, Brian Urquhart, "kecil saja, malah agak dilupakan: misalnya perundingannya tentang sebuah gencatan-senjata PLO (sic) di Lebanon Selatan pada 1981".49 Bahwa jurnal-jurnal pembeo Garis Partai tentu lebih suka untuk "melupakan" fakta-fakta tidaklah mengejutkan, tetapi bercokolnya "daya lupa" yang sedemikian tegar patut dicatat.

Lebih lanjut, suatu penelitian pada apa yang terjadi pada Juni 1981 menunjukkan pola serupa. Pada 28 Mei, tulis Ze'ev Schiff dan Ehud Ya'ari, Perdana Menteri Menachem Begin dan Kepala Staf AB Rafael Eitan "mengambil langkah lain yang akan menggiring negeri mereka amat dekat menuju sebuah perang di Lebanon, dengan sebuah tindakan yang telah diperhitungkan matang terhadap tujuan itu"; yaitu, mereka melanggar gencatan-senjata dengan membom "pusat-pusat PLO" (sebuah istilah Newspeak, menunjuk pada setiap sasaran yang dipilih oleh Israel untuk dihajar) di Lebanon Selatan. Serangan-serangan terus menyembur dari udara dan laut sampai 3 Juni, tutur Schiff dan Ya'ari, sementara "pihak Palestina menanggapinya dengan hati-hati karena takut bahwa suatu reaksi keras akan menimbulkan operasi darat Israel yang mematikan." Sebuah gencatan senjata kembali ditetapkan, dan kembali dilanggar oleh Israel pada 10 Juli, dengan pemboman-pemboman baru. Kali ini muncul reaksi keras Palestina, dengan serangan-serangan roket yang menyebabkan kepanikan di Galilee Utara, dan diikuti oleh pemboman besar Israel atas Beirut dan sasaran-sasaran sipil lainnya. Ketika gencatan senjata baru diumumkan pada 24 Juli, kira-kira 450 orang Arab --hampir semuanya warga sipil Lebanon-- dan 6 orang Israel diketahui tewas.50

Dari rentetan peristiwa ini yang diingat hanya kesedihan di Galilee Utara, yang ditimpa roket-roket Katyusha oleh teroris PLO dan akhirnya menyulut Israel untuk membalas dengan invasinya ke Lebanon pada Juni 1982. Ini terlihat bahkan pada wartawan-wartawan serius yang bukan sekadar menjadi corong bagi propaganda resmi. Edward Walsh menulis bahwa "serangan roket yang berulang-ulang pada 1981 telah sekali lagi membuat (Qiryat Shemona) terkepung", melukiskan "orang-orangtua yang putus asa" dan teror yang ditimbulkan oleh "gempuran roket dan artileri dari basis-basis Palestina di sekitar tempat itu", tanpa keterangan lanjutan tentang apa yang terjadi. Curtis Wilkie, salah seorang wartawan Amerika yang agak kritis dan tajam di Timur Tengah, menulis bahwa Qiryat Shemona "menjadi sasaran gempuran senjata dari pasukan-pasukan Organisasi Pembebasan Palestina pada 1981; hujan roket Katyusha buatan Soviet sedemikian gencar pada suatu saat sehingga penduduk yang tak mengungsi terpaksa menghabiskan delapan hari siang-malam berturut-turut di tempat-tempat perlindungan" --lagi-lagi tanpa keterangan lanjutan tentang alasan-alasan bagi "gempuran senjata" ini, atau tentang suasana di Beirut dan daerah-daerah sipil lainnya di mana beratus-ratus orang tewas dalam bombardemen maut Israel. Di tempat lain pun hal-hal ini tak diungkapkan.51

Contoh itu memberi pemahaman lebih jauh tentang konsep "terorisme" dan "pembalasan", sebagaimana dipahami dalam sistem ideologi AS, dan tentang asumsi-asumsi rasis yang --dengan sendirinya-- tak menghiraukan penderitaan korban-korban utama, yakni Arab dan karena itu bukan manusia utuh.

Keterangan resmi bahwa "serangan-serangan roket dan berondongan senapan atas perbatasan utara Israel" berakhir berkat operasi "Damai untuk Galilee" (NYT lihat di atas) adalah keliru dua kali. Pertama, perbatasan itu tenang selama satu tahun sebelum invasi tersebut dilepaskan dari provokasi dan serangan-serangan teror Israel. Serangan-serangan roket pada Juli 1981 merupakan respons terhadap teror Israel yang dalam insiden ini saja, menelan korban hampir seratus kali lebih besar daripada korban PLO.

Kedua, berlawanan tajam dengan periode sebelumnya, serangan-serangan roket mulai dilakukan sesudah invasi berakhir, sejak awal 1983, dan sejak itu terus berlangsung. Sekelompok wartawan Israel penyempal melaporkan bahwa dalam dua pekan selama September 1985, 14 roket Katyusha ditembakkan ke Galilee. Selanjutnya, "serangan-serangan teroris" meningkat 50 persen di Tepi Barat pada bulan-bulan sesudah perang itu, dan pada akhir 1983 bertambah 70 persen sejak perang di Lebanon, lalu menjadi ancaman gawat pada 1985 --bukan suatu konsekuensi yang mengejutkan dari penyiksaan-penyiksaan keji dan penghancuran masyarakat sipil dan sistem politik bangsa Palestina.52

Alasan real bagi invasi 1982 tersebut bukanlah ancaman terhadap Galilee Utara, sebagaimana direkam oleh sejarah yang sudah disterilkan, melainkan justru sebaliknya, seperti dijelaskan dengan logis oleh pakar terkemuka Israel tentang Palestinia, Profesor Universitas HebrewYehoshua Porath (seorang "moderat" dalam kancah Israel, yang mendukung "solusi Yordania"-nya Partai Buruh untuk mengatasi problem Palestina), tak lama sesudah invasi itu dilancarkan. Keputusan untuk menginvasi, ujarnya, "tercetus dari kenyataan tandas bahwa gencatan senjata tersebut telah ditaati." Ini merupakan sebuah "malapetaka dahsyat" bagi pemerintah Israel sebab ia mengancam kebijakan pengelakan pemecahan politik. "Pemerintah berharap", katanya melanjutkan, "agar PLO yang terpojok --kekurangan logistik dan basis teritorial-- akan kembali ke terorismenya sediakala; ia akan melakukan pemboman di seluruh dunia, membajak pesawat, dan membunuh banyak orang Israel". Dengan demikian, PLO "akan kehilangan porsi legitimasi politik yang sudah diperolehnya", dan "mengikis bahaya" berupa perundingan-perundingan dengan para wakil bangsa Palestina, yang akan mengancam kebijakan pelestarian kontrol efektif atas daerah-daerah pendudukan --suatu kebijakan yang dianut oleh kedua kelompok politik utama (Partai Buruh dan Likud).53 Asumsi logis para pemimpin Israel ialah bahwa orang-orang yang mempengaruhi opini publik di Amerika Serikat --satu-satunya negara yang digubris, dan kini Israel telah dipilih untuk menjadi negara bayaran pelayan kepentingan-kepentingan sang majikan-- dapat diharapkan untuk menggelapkan sejarah aktual dan menggambarkan aksi-aksi teroris kekerasan membabi buta yang dapat dirujukkan ke cacat-cacat dalam watak dan kultur Arab, kalau bukan keburukan-keburukan rasial.

Lalu ulasan-ulasan tentang terorisme di AS kontan memenuhi harapan-harapan alamiah ini dengan cukup pas --suatu kegesitan propaganda yang bermanfaat bagi para teroris negara di Jerusalem dan Washington.

Hal-hal pokok ini dipahami cukup baik di Israel. PM Yitzhak Shamir menegaskan di televisi Israel bahwa Israel melakukan perang lantaran ada "sebuah bahaya yang gawat ... Bukan bahaya militer, melainkan terutama bahaya politlk", memberi peluang kepada satiris tajam Israel, B. Michael, untuk menulis bahwa "alasan lemah tentang suatu bahaya militer atau bahaya terhadap Galilee sudah mati", maka kita "telah melenyapkan bahaya politik" dengan menggebuk duluan, pada saat yang tepat. Sekarang, "syukurlah, tak ada seorang pun yang membicarakannya." Kolumnis Aaron Bachar berkomentar, "mudahlah memahami perasaan para pemimpin Israel. Arafat dituduh terus bergerak menuju semacam akomodasi politik dengan Israel", dan "dalam pandangan pemerintah Israel, ini merupakan ancaman kemungkinan terburuk" --termasuk bagi Buruh dan Likud. Benny Morris mengamati bahwa "PLO menghentikan aksi bersenjatanya di sepanjang perbatasan utara selama setahun penuh. Pada sejumlah kesempatan mereka sama sekali tak menanggapi aksi-aksi Israel (yang dirancang khusus untuk memancing reaksi PLO di Utara)". Selanjutnya, ia berkomentar bahwa bagi para pejabat senior IDF, "perang ini mau tak mau harus dilakukan karena PLO merupakan ancaman politik bagi Israel dan bagi cengkeraman Israel atas daerah-daerah pendudukan", sebab "harapan bangsa Palestina di dalam dan luar daerah-daerah pendudukan bagi kematangan aspirasi-aspirasi nasionalis terletak dan berkisar seputar PLO". Sebagaimana setiap komentator waras, Morris amat heran mendengar pembicaraan histeria tentang persenjataan dan ancaman militer PLO yang menakutkan, dan meramalkan bahwa "kaum Syi'ah Beirut Barat, banyak di antara mereka adalah pengungsi dari pemboman-pemboman Israel di Lebanon Selatan pada 1970-an, akan lama mengenang pengepungan IDF pada Juni-Agustus (1982) itu", dan dalam jangka-panjang bakal muncul pembalasan-pembalasan "terorisme Syi'ah terhadap sasaran-sasaran Israel".54

Dari sayap kanan, terlontar komentar dari anggota Knesset dari Likud, Ehud Olmert, bahwa "bahaya yang ditimbulkan oleh PLO terhadap Israel bukanlah terletak pada ekstremisnya, melainkan pada moderasi-gadungan Arafat yang disetel untuk dipamerkan, tanpa pernah alpa pada tujuan akhirnya, yaitu menghancurkan Israel" (argumen ini benar, dalam pengertian sebagaimana David Ben Gurion --ketika masih berkuasa-- tak pernah alpa pada tujuan akhirnya, yaitu memperluas "batas-batas bagi aspirasi-aspirasi Zionis", termasuk ke banyak negara di sekitarnya dan kadang-kadang menurut "perbatasan-perbatasan biblikal" dari Nil sampai Irak, sementara penduduk asli, pokoknya harus dipindahkan).

Mantan Administrator Tepi Barat, Profesor Menachem Milson, menandaskan, "kelirulah berpikir bahwa ancaman terhadap Israel yang ditampilkan oleh PLO pada dasarnya ancaman militer; justru ini adalah ancaman politik dan ideologis." Menteri Pertahanan Ariel Sharon menjelaskan tak lama sebelum invasi bahwa "ketenteraman di Tepi Barat" menuntut "penghancuran PLO di Lebanon", dan pengikut ultrakanannya, Kepala Staf Rafael Eitan, berkomentar kemudian bahwa perang ini adalah sebuah sukses, sebab ia betul-betul memperlemah "status politik" PLO dan "perjuangan PLO untuk mendirikan negara Palestina," seraya memperkuat kemampuan Israel untuk "membendung setiap tujuan semacam itu". Mengomentari pernyataan-pernyataan ini, sejarahwan militer Israel, Uri Milshtein (seorang pendukung "solusi Yordania" Buruh), mengungkapkan bahwa salah satu tujuan utama invasi ini dalam konsepsi Sharon-Eitan adalah "untuk menciptakan Orde Baru55 di Lebanon dan Timur Tengah", "memajukan proses Sadatisasi di sejumlah negara Arab", "menjamin aneksasi Yudea dan Samaria (Tepi Barat) bagi negara Israel", dan "mungkin suatu solusi bagi problem Palestina". Di ujung lain spektrum politik, anggota Knesset, Amnon Rubinstein --banyak dipuji di AS untuk sikap lunak dan liberalnya-- menulis bahwa sekalipun gencatan senjata "kurang-lebih" dipatuhi (baca: dipatuhi oleh PLO, tapi tidak oleh Israel), invasi atas Lebanon tersebut "dapat dibenarkan" lantaran adanya ancaman potensial, bukan aktual militer: persenjataan dan amunisi di Lebanon Selatan pada akhirnya akan digunakan untuk menghajar Israel. Pertimbangkanlah implikasi-implikasi dari argumen ganjil ini dalam konteks-konteks lain, bahkan kalaupun kita menganggap serius penegasan-penegasan tentang ancaman potensial militer PLO terhadap Israel .56

Lihat betapa Rubinstein mengantisipasi doktrin menarik yang ditelurkan oleh pemerintahan Reagan ketika mengantiaipasi pemboman April 1986 atas Libya dengan "pembelaan-diri terhadap serangan di masa depan" --kita akan kembali mengupas soal ini pada bab berikut.

Para pembela kekejian Israel di Amerika terkadang mengakui kebenaran-kebenaran serupa. Tidak lama sebelum invasi, editor New Republic, Martin Peretz, dengan menggemakan suara Sharon dan Eitan, menegaskan bahwa Israel harus menggencarkan aksi bersenjata terhadap PLO sampai ia mengalami "kehancuran militer selamanya" di Lebanon. Dengan demikian, "akan jelas bagi masyarakat Palestina di Tepi Barat bahwa perjuangan mereka telah mengalami kemunduran yang panjang" sehingga dengan demikian "bangsa Palestina akan kembali menjadi sekadar bangsa tertindas, seperti kaum Kurdi atau Afghan". Dan sosialis Michael Walzer, yang menyetujui solusi bagi bangsa Arab-Palestina --juga yang tinggal di Israel-- dengan cara memindahkan mereka yang merupakan "kelornpok pinggiran di negara itu" (sesungguhnya ini garis Rabbi Kahane yang rasis itu, lihat Bab Pertama, catatan kaki nomor 7), menjelaskan di New Republic sesudah perang tersebut bahwa "saya tentu gembira menyambut kehancuran politik PLO, dan saya yakin bahwa diperlukan operasi militer terbatas untuk memungkinkan kehancuran itu dapat ditahan berdasarkan teori perang yang adil."57

Terkadang, amat menarik menyaksikan kesamaan pandangan antara kelompok ultrakanan Israel dan kaum Liberal-kiri Amerika mengenai masalah-masalah ini.

Singkatnya, tujuan-tujuan perang ini politis, daerah-daerah pendudukan, dijadikan target utama, sasaran lainnya adalah pembentukan "Orde Baru" di Lebanon (dan mungkin di luarnya juga). Dongeng tentang perlindungan perbatasan dari terorisme itu Agitprop (agitasi-propaganda), yang ditelan dengan penuh nafsu oleh si jinak media AS. Kalau terorisme Palestina dapat dihidupkan lagi, itu malah lebih bagus. Dan, seandainya pun kita tak dapat rnenuding hidung Arafat, setidaknya ia dapat dicap sebagai "bapak pendiri kekerasan Palestina kontemporer" (New Republic) sehingga upaya-upayanya untuk mencapai pemecahan politik dapat dihapus.

Soal pengelakan pemecahan politik tak selesai dengan kehancuran basis politik bagi PLO, sebagaimana diharapkan, sehingga media AS harus tetap gigih memerangi ancaman ini dan mempertahankan kebenaran doktrinal bahwa AS dan Israel menghendaki perdamaian, tapi selalu terhalang oleh rejeksionisme Arab. Demikianlah, pada April-Mei 1984, Arafat membuat serangkaian pernyataan di Eropa dan Asia, mengimbaukan perundingan-perundingan dengan Israel yang akan mengarah ke pengakuan timbal-balik. Tawaran ini kontan ditolak oleh Israel, dan tak digubris oleh AS. Sebuah berita UPI tentang usulan-usulan Arafat dimuat di halaman muka San Francisco Examiner, dan fakta-faktanya dilaporkan secara bersahaja dalam pers kualitas lokal. Pers nasional serempak membenamkan berita ini, kecuali Washington Post yang menyinggungnya sepintas beberapa pekan kemudian. New York Times tak mau memuat sepatah kata pun, bahkan memberangus surat-surat pembaca tentang topik ini, seraya --bersama media pada umumnya-- terus mengutuk Arafat atas keengganannya mengupayakan jalan diplomatik. Secara umum, semakin penting sebuah jurnal, semakin tandas ia memberangus fakta-fakta --suatu sikap yang wajar belaka mengingat pendirian pemerintah AS tentang masalah-masalah ini.58

Orang-orang Israel yang berpengetahuan, sudah jelas mengetahui pendirian Arafat. Mantan kepala dinas intelijen militer, Yehoshaphat Harkabi, ahli Arab dan tokoh yang sejak lama terkenal beringas, mencatat bahwa "PLO menghendaki pemecahan politik sebab ia tahu bahwa alternatifnya mengerikan dan akan menimbulkan kehancuran total". "Arafat, sebagaimana Hussein dan masyarakat Arab di Tepi Barat, cemas bahwa kalau tidak mungkin ada suatu pemecahan, Israel akan meledak, hancurlah semua tetangganya, termasuk bangsa Palestina". Karena itu, "Arafat bersikap relatif moderat dalam menghadapi Israel."59 Observasi-observasi ini menggarisbawahi beberapa hal: pertama, ada suatu konteks politik teramat penting yang di dalamnya terorisme harus dipahami, jika kita menyikapinya dengan serius. Kedua, ada kejahatan-kejahatan orang lain, bukan kejahatan kita yang sebanding atau lebih buruk, yang namanya "terorisme" --dalam hal ini kejahatan orang Palestina, bukan kekejian-kekejian orang Israel atau orang Amerika. Ketiga, konsep-konsep "terorisme" dan "pembalasan" dipakai sebagai istilah-istilah propaganda, bukan deskripsi. amat penting dicatat, kobaran histeria atas aksi-aksi terorisme yang diseleksi dengan cermat --adalah dilakukan orang Arab, entah Palestina, kaum Syi'ah Lebanon, Syria, Libya, atau bahkan Iran, yang boleh dianggap sebagai Arab untuk tujuan ini adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan politik khas tertentu. Pelacakan lebih jauh memperkuat kesimpulan-kesimpulan ini.

Lihatlah sekali lagi soal pembalasan tersebut. Serangan roket pertama oleh kelompok Syi'ah atas Qiryat Shemona itu sendiri terjadi pada Desember 1985, setelah lebih tiga tahun masa pendudukan militer yang penuh kebiadaban luar biasa, yang mencapai puncaknya selama operasi-operasi Tinju Besi di masa Shimon Peres pada awal 1985. Tetapi, laporan tentang kebuasan para penjarah itu, yang diturunkan sekali-kali, tak mampu menggambarkan sesuatu yang menyerupai cerita utuh sebab ia mengabaikan kenyataan dari hari ke hari. Demikian pula halnya dengan laporan sesekali tentang penganiayaan-penganiayaan Israel di daerah-daerah pendudukan yang luput mengungkapkan gambaran-gambaran sejati tentang penistaan brutal, penindasan, pengeksploitasian buruh murah (termasuk anak-anak), kontrol keras atas kehidupan politik dan kultural, dan perintangan pengembangan ekonomi. Sebuah gambaran yang lebih jelas diberikan oleh Julie Flint, yang menuturkan "cerita tentang kehidupan, dan kematian, di sebuah desa di Lebanon Selatan", kediaman masyarakat Sy'iah, satu bulan sebelum serangan roket itu. Menurut sejarah resmi, Kfar Roummane telah menjadi "sebuah kota pertanian yang makmur, berpenduduk delapan ribu orang" di dekat Nabatiya selama masa ketika Lebanon Selatan dikuasai "teror" PLO (lihat catatan kaki nomor 37). Setelah apa yang disebut New York Times sebagai "pembebasan"-nya dari kekuasaan PLO, ia dikelilingi oleh "dua benteng raksasa yang dibangun oleh Israel bersama centeng Lebanonnya, Tentara Lebanon Selatan". Dan kedua benteng inilah selalu tersembur tembakan dan berondongan peluru, "kadang-kadang dari subuh sampai petang, terkadang hanya beberapa jam", menimbulkan banyak korban, sampai membuat enam ribu warganya mengungsi dan, menyebabkan tiga perempat wilayah kota kecil ini tak dapat dihuni dan menjadi "desa mati". Di sini tak terlihat adanya aktivitas-aktivitas perlawanan --kemungkinan kecil hanya ada di kalangan para petani apolitis yang mendiami rumah-rumah petak di bentangan kawasan luas di lereng bukit.60

Apakah pemberondongan Qiryat Shemona itu pantas disebut "terorisme" atau "pembalasan", bahkan dengan mengesampingkan penyiksaan-penyiksaan maut dalam operasi-operasi Tinju Besi-nya Peres-Rabin?

Melihat kehidupan para teroris juga mengesankan. Seseorang yang diwawancarai Washington Post dalam serial lima tulisannya tentang terorisme, diseleksi dengan kekhasan yang lazim. Ia pernah divonis 18 tahun di sebuah penjara Israel, dan dipilih karena "dalam banyak hal mewakili teroris-teroris yang kini mendekam di penjara London sampai Kuwait". "Dalam hidupnya, sebuah tragedi pribadi (kematian ayahnya akibat ledakan bom di Jerusalem pada 1946) yang berpadu dengan penemuan sebuah sistem keyakinan (Marxisme) menceburkannya ke dalam suatu kancah pembunuhan politik darah-dingin". "Bom yang menewaskan ayahnya bersama lebih sembilan puluh orang lainnya dipasang oleh kelompok bawah tanah Zionis Irgun, pimpinan Menachem Begin, di markas besar militer Inggris yang sekarang menjadi Hotel King David" --sebagaimana waktu itu.61 Ia "diperkenalkan dengan Marxisme, katanya, melalui 'realitas' kondisi di kamp-kamp Palestina" di Tepi Barat yang diduduki. "Realitas" di daerah-daerah pendudukan, bukan hanya di kamp-kamp itu, sangat real, dan lebih buruk dan kejam, di luar halaman-halaman editorial pers nasional, yang melaluinya kita diberi tahu bahwa pendudukan itu merupakan "sebuah model bagi kerja sama masa depan" dan suatu "eksperimen dalam koeksistensi Arab-Israel".62 Menjelaskan bukanlah membenarkan, tapi ini terus terang saja menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai gampangnya penggunaan istilah-istilah seperti "pembalasan".

Atau lihatlah Sulaiman Khaler, serdadu Mesir yang membunuh wisatawan Israel di sebuah Pantai Sinai pada 5 Oktober 1985. Pers Mesir melaporkan bahwa ibunya mengatakan ia "senang melihat Yahudi-Yahudi itu sudah mati", dan seorang dokter di desanya, Baher Al-Bakr, melukiskan penembakan-penembakan itu sebagai sebuah peringatan terhadap "perdamaian semu" antara Mesir dan Israel. Kejahatan apakah yang sampai menimbulkan reaksi sekeras itu? pemboman Tunisia beberapa hari sebelumnya barangkali alasannya, tapi agaknya ada alasan-alasan lain. Pada 1970, pesawat-pesawat tempur Israel membom Baher Al-Bakr, menewaskan 47 anak sekolah, selama "perang pengurasan tenaga musuh" (war of attrition). Israel melakukan pemboman luas sebagian jauh memasuki wilayah Mesir --memaksa satu setengah juta penduduk sipil menyingkir dari daerah Terusan Suez karena mengkhawatirkan meletusnya perang besar, ketika pesawat-pesawat MIG dengan pilot Soviet yang sedang bertahan di dalam Mesir ditembak jatuh di atas wilayah Mesir, oleh jet-jet Phantom Israel yang baru dimilikinya.63

Maka, ada sesuatu yang hilang ketika korespondensi Times Israel dengan lunak melaporkan bahwa Khaler "bertindak karena motif-motif yang bersifat nasionalis dan anti-Israel"64 --suatu sikap yang wajar belaka mengingat peristiwa yang baru saja dituturkan kembali itu.

David Hirst mengamati bahwa "pusat atau basis yang teramat penting bagi terorisme internasional (dalam pengertian Barat yang sudah disterilkan) adalah Lebanon. Lebanon menafkahi teroris-terorisnya sendiri, ataupun bertindak sebagai tuan rumah yang ramah bagi teroris-teroris yang didatangkan", baik kelompok Palestina yang "tahunya cuma membom, membunuh, membantai dan memenggal, menyebarkan kebencian, ketakutan, dan perasaan terancam", maupun orang-orang Lebanon, yang masyarakatnya sudah dihajar telak oleh agresi Israel dukungan Amerika berikut kelanjutannya; "... sebuah keyakinan tertanam di jiwa kaum muda masa kini" di kalangan kelompok-kelompok ini: "bahwa di bawah Presiden Reagan, yang telah memberikan keberpihakan tradisional negerinya kepada Israel dalam masa yang teramat panjang, AS adalah biang keladi laknat pencipta seluruh tatanan yang ada, yang demikian tak termaafkan sehingga cara apa pun kini dihalalkan untuk menghancurkannya. Rangsangan teroris agaknya paling kuat di kalangan bangsa Palestina, tapi ia kuat juga di antara orang Lebanon, Arab, atau --yang manifestasinya paling spektakuler-- di kalangan kelompok Syi'ah". Hal yang amat penting diungkapkan oleh mantan kepala dinas intelijen militer Israel, Jenderal (Purnawirawan) Yehoshaphat Harkabi: "Tawarkanlah suatu solusi terhormat kepada bangsa Palestina yang menghormati hak-hak mereka untuk menentukan nasib sendiri: yaitu solusi atas masalah terorisme. Kalau rawanya sudah lenyap; nyamuk-nyamuk tidak akan muncul lagi."65

Agresi dan terorisme skala besar AS-Israel terang memberikan sumbangan bagi situasi yang dilukiskan Hirst --seperti dapat diduga dan barangkali malah sangat disadari (lihat uraian di muka)-- dan kedua negara teroris ini lebih dari gembira melihat hasilnya, yang memberi mereka suatu pembenaran untuk tetap menpertahankan cara kekerasan dan rejeksionisme mereka. Selanjutnya, terorisme balasan yang disebabkan oleh ulah mereka dapat dengan efektif dimanfaatkan untuk menanamkan perasaan cemas yang cukup dan mobilisasi di kalangan penduduk, sesuai dengan kebutuhan bagi tujuan-tujuan lebih luas. Yang terpenting adalah suatu sistem propaganda yang dapat diandalkan untuk berulang-ulang meneriakkan komando dan untuk memberangus setiap pemahaman tentang perbuatan-perbuatan AS, polanya, sumber-sumbernya, dan motivasinya. Untuk keperluan ini, para pembuat keputusan hanya membutuhkan beberapa hal.

Aksi-aksi teroris dilukiskan dengan tegas oleh para pelakunya sebagai "pembalasan" (atau, dalam kasus terorisme AS dan Israel; sebagai "tindakan mendahului"). Maka, pemboman atas Tunisia diduga sebagai pembalasan untuk pembunuhan-pembunuhan di Larnaca, seperti sudah disebut, walaupun sama sekali tak ada bukti bahwa korban-korban pemboman Tunisia itu punya hubungan dengan penembakan Larnaca. Yang terakhir ini juga dijustifikasi sebagai "pembalasan", sebuah respons terhadap pembajakan Israel atas kapal-kapal yang sedang berlayar dari Cyprus ke Lebanon.66 Klaim yang pertama (pemboman Tunisia) diterima di AS sebagai tindakan sah, yang terakhir tak digubris atau dicemooh suatu pembedaan berdasarkan komitmen ideologi, sesuai dengan norma yang berlaku.

Dengan mengesampingkan justifikasi-justifikasi bagi kekerasan teroris dan berpegang hanya pada catatan faktual, tak ada keraguan bahwa Israel telah dan sedang melakukan operasi-operasi pembajakan dan penculikan di laut sejak bertahun-tahun lalu. Di AS, tak ada perhatian dan kerisauan atas kejahatan ini, yang mengobarkan kegusaran dan kemarahan besar kalau pelakunya orang Arab. Bahkan tak dirasa perlu untuk melaporkan fakta bahwa Mahkamah Agung Israel sesungguhnya memberikan pengesahan atas cara ini. Dalam kasus seorang Arab yang memohon pembebasan hukumannya atas dasar bahwa ia ditangkap di luar wilayah perairan Israel, Mahkamah Agung menetapkan bahwa "legalitas bagi penghukuman dan pemenjaraan tidak bergantung pada cara-cara tersangka dibawa ke wilayah Israel", dan menggariskan (sekali lagi) bahwa pengadilan Israel dapat menghukum seseorang yang melakukan tindakan di luar Israel, yang dianggap sebagai kejahatan. Dalam kasus ini, Mahkamah menegaskan bahwa "alasan-alasan keamanan" membuatnya perlu membiarkan si pemohon tetap berada di penjara.67

Kembali ke catatan sejarah, pada 1976, menurut anggota Knesset jenderal (Purnawirawan) Mattiyahau Peled, Angkatan Laut Israel mulai menangkapi kapal-kapal milik kaum Muslim Lebanon, menyerahkannya kepada kelompok Kristen Lebanon sekutu Israel, yang kemudian membunuh mereka, dalam upaya untuk menggagalkan langkah-langkah menuju konsiliasi-konsiliasi yang telah direncanakan antara PLO dan Israel. PM Rabin membantah fakta-fakta ini, tetapi mengatakan bahwa kapal-kapal itu ditangkap sebelum ada rencana konsiliasi, sementara Menteri Pertahanan Shimon Peres tak mau berkomentar. Setelah suatu pertukaran tahanan pada November 1983, berita halaman-muka Times menyebut di alinea kedelapanbelasnya bahwa 37 tawanan Arab yang telah disekap di kamp tawanan Ansar yang terkenal buruk, "telah diciduk baru-baru ini oleh AL Israel ketika mereka mencoba berusaha melarikan diri dari Cyprus ke Tripoli", di Beirut Utara --sebuah ulasan yang tak dikomentari di sana dan di tempat-tempat lain.68

Pada Juni 1984, Israel membajak sebuah kapal feri yang sedang berlayar antara Cyprus dan Lebanon, 5 mil di luar Pantai Lebanon, dengan berondongan senapan mesin dan memaksanya berlayar ke Haifa. Lalu, sembilan penumpangnya, delapan orang Lebanon dan seorang Syria, diciduk dan ditawan. Lima orang kemudian dibebaskan setelah diinterogasi, dan empat tetap ditahan, termasuk seorang wanita dan seorang anak. sekolah yang pulang liburan dari Inggris ke Beirut; dua orang dilepaskan dua pekan kemudian, sementara nasib yang dua lagi tak jelas. Peristiwa ini dianggap begitu sepele sehingga orang harus menyusuri berita-berita kecil di halaman-halaman belakang koran, sekadar untuk mengetahui lebih banyak tentang nasib Para penumpang yang diculik itu: Observer London menyiratkan bahwa penculikan ini "bermotif politik": untuk memaksa para penumpang --menggunakan feri yang beroperasi dari Pelabuhan Jounieh milik kelompok Maronit, bukannya pelabuhan Muslim di Beirut Barat, atau untuk memberi isyarat kepada masyarakat Lebanon bahwa mereka "tak berdaya" dan karena itu harus mau bekerja sama dengan Israel. Lebanon mengutuk "aksi pembajakan" ini, yang oleh Godfrey Jansen dilukiskan sebagai "agenda lain" dalam "daftar panjang kejahatan terorisme laut". Ditambahkan bahwa, "Israel lalu membom dan membombardemen habis sebuah pulau kecil di Tripoli yang dikatakan menjadi markas operasi-operasi laut PLO"sebuah pernyataan yang dicibirnya sebagai "isapan jempol". Polisi Lebanon melaporkan bahwa 15 orang tewas, 20 cedera, dan 20 hilang, semuanya warga Lebanon, yang terdiri dari para nelayan dan anak-anak di sebuah perkemahan pramuka Sunni yang merupakan sasaran "pukulan paling keras".69

Dalam laporannya tentang "penangkapan" Israel (terjemahan Newspeak untuk pembajakan) atas kapal feri itu, Times mengungkapkan bahwa sebelum perang 1982, "Angkatan Laut Israel sering menangkapi kapal-kapal yang akan menuju atau meninggalkan Pelabuhan-Pelabuhan Tyre dan Sidon di selatan dan menggeledah mereka untuk mencari gerilyawan --suatu penelanan bulat-bulat yang lazim atas pernyataan-pernyataan Israel. "Penangkapan" Syria atas kapal-kapal sipil Israel dengan dalih serupa pasti dipandang dengan sangat berbeda. Demikian pula pembajakan Israel atas sebuah pesawat sipil Libya pada 4 Februari 1986, yang diterima dengan kalem kalaupun dikritik, dianggap sebagai kesalahan karena kekeliruan intelijen.70 Pada 25 April 1985, sejumlah orang Palestina diculik dari kapal-kapal sipil yang beroperasi antara Lebanon dan Cyprus, dan dikirim ke tempat-tempat rahasia di Israel. Fakta ini menjadi pengetahuan umum (di Israel) ketika salah seorang diwawancarai di televisi Israel, yang menyebabkan munculnya permohonan keterangan kepada Mahkamah Agung. Diduga masih ada korban-korban lain yang tak diketahui.71

Tak satu pun dari kasus-kasus ini --yang kebanyakan diketahui hanya melalui komentar incidental-- membangkitkan perhatian atau keprihatinan yang lebih besar daripada ketika dilaporkan sepintas bahwa "tawanan-tawanan keamanan" Arab yang dilaporkan dalam suatu pertukaran dengan Syria itu sebenarnya adalah "orang-orang Druze penduduk desa-desa di wilayah strategis Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel".72 Rupanya dianggap hak istimewa Israel untuk sekehendaknya melakukan pembajakan kapal-kapal dan penculikan-penculikan, dan membombardemen apa yang ia sebut "sasaran-sasaran teroris" dengan persetujuan orang-orang penting di Amerika Serikat, bagaimanapun fakta-faktanya.

Mari kita tengok sejarah serangan atas Pulau Tripoli di utara Beirut itu, yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah nelayan Lebanon dan anak-anak pramuka di sebuah perkemahan. Peristiwa ini sangat kurang mendapat perhatian, tetapi ini wajar saja jika diukur dari kekejian-kekejian teroris Israel yang begitu kerap terjadi, yang membuat peristiwa ini tampak sama sekali tak serius.

Dalam hal serangan-serangan Palestina, persoalannya sangat berbeda. Tak ada seorang pun yang mengenang dengan lebih bergidik daripada kekejaman di Ma'alot pada 1974, yakni 22 anggota kelompok dan penduduk paramiliter tewas dalam tembak menernbak setelah (Menteri Pertahanan) Moshe Dayan menolak atas keberatan-keberatan Jenderal Mordechai Gur --untuk mempertimbangkan perundingan-perundingan mengenai tuntutan para teroris bagi pembebasan sejumlah tawanan Palestina.73 Orang dapat mempersoalkan apakah pembunuhan anak-anak pramuka Lebanon itu kurang keji --kenyataannya, sama sekali tidak ada yang menganggapnya keji karena itu dilakukan oleh "negeri yang menghargai kehidupan manusia" (Washington Post) yang memiliki "tujuan moral yang luhur" (Times) yang mungkin satu-satunya dalam sejarah.74

Dua hari sebelum serangan Ma'alot, jet-jet Israel membom desa El-Kfeir Lebanon, menewaskan empat warga sipil. Menurut Edward Said, serangan Ma'alot itu "didahului oleh pemboman napalm Israel terus-menerus selama berminggu-minggu atas kamp-kamp pengungsi Palestina di Lebanon Selatan", menewaskan lebih dari 200 orang. Pada waktu itu, Israel sedang menjalankan operasi pembumihangusan besar-besaran di Lebanon Selatan, dengan serangan-serangan darat, laut, dan udara, serta operasi-operasi komando yang menggunakan senapan, bom, senjata anti-personel,dan napalm. Operasi ini tampaknya menewaskan sampai ribuan orang (Barat rupanya begitu tenangnya sehingga tidak tercatat angka-angka akurat di AS), dan ratusan ribu orang tergiring ke arah utara, ke daerah-daerah kumuh di sekitar Beirut.75

Perhatian begitu kecil dan pelaporan amat sedikit. Tak satu pun dari kebuasan Israel ini yang dicatat dalam sejarah terorisme. Bahkan, menurut sejarah yang telah disterilkan, ia tak pernah terjadi, walaupun serangan-serangan maut teroris Palestina pada awal 1970-an --sudah pasti-- dikutuk keras, dan terus dijadikan bukti bahwa bangsa Palestina tak dapat menjadi mitra untuk merundingkan nasib mereka.

Sementara itu, media terus saja dikecam kelewat kritis terhadap Israel dan bahkan "pro-PLO", sebuah bagian dari aksi propaganda yang sangat berhasil.

Kita dapat mencatat interpretasi atas peristiwa-peristiwa ini yang dikemukakan oleh para pemimpin Israel yang di Amerika dihormati sebagai "kelompok moderat", misalnya Yitzhak Rabin --mantan duta besar di Washington dan kemudian perdana menteri selama periode kekejian terburuk Israel di Lebanon-- sebelum persetujuan Camp David: "Kita tak dapat membiarkan nestapa penduduk sipil di Lebanon Selatan ... Merupakan kewajiban kemanusiaan kitalah untuk membantu penduduk di kawasan itu dan mencegah jangan sampai mereka ditumpas habis oleh teroris-teroris garang itu."76 Para pengulas memoar Rabin, tempat munculnya kata-kata ini, tak merasakan ada yang tak beres di dalamnya-begitu efektifnya sebuah sejarah yang mengabdi ideologi terbangun, dan begitu dalamnya rasisme anti-Arab di Barat.

Harus pula dicatat bahwa Israel tidaklah sendirian dalam menikmati hak untuk membajak, baik di laut maupun di udara. Sebuah laporan Tass yang mengutuk pembajakan Achille Lauro pada Oktober 1985, menuduh Amerika Serikat munafik, sebab dua orang yang telah membajak sebuah pesawat penumpang Soviet membunuh seorang pramugari dan melukai para awak lainnya diberi perlindungan di AS, yang menolak pengekstradisian.77 Kasusnya terang tak ada yang tahu, dan tuduhan munafik itu memang sangat pantas dilontarkan.

Kasus ini juga tidak unik. Abraham Sofaer, penasihat hukum di Departemen Luar Negeri, mengamati bahwa "Selama 1950-an, di tengah penentangan keras Amerika terhadap pembajakan-pembajakan pesawat, Amerika Serikat beserta sekutu-sekutu Baratnya menolak permohonan dari Cekoslovakia, Uni Soviet, Polandia, Yugoslavia dan rezim-rezim komunis lainnya untuk menyerahkan orang-orang yang telah membajak pesawat, kereta api, dan kapal-kapal, yang melarikan diri." Sofaer menandaskan bahwa AS "meninjau kembali kebijakannya" pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, "ketika pembajakan pesawat mencapai tingkat yang mewabah" dan menghadapkan "problem yang terlalu serius dan ancaman yang terlalu besar bagi keamanan para penumpang yang tak berdosa untuk ditoleransi."78 Ini merupakan Newspeak untuk fakta bahwa pembajakan mulai diarahkan terhadap AS dan sekutu-sekutunya, dan karena itu masuk dalam kategori terorisme, bukan perlawanan heroik terhadap penindasan. Lagi-lagi, dukungan AS bagi pembajakan dengan sasaran tertentu tak dipaparkan dengan gamblang di media atau dalam ulasan-ulasan para pakar terorologi yang sedang naik-daun.

Orang dapat pula menyebut pembajakan pesawat pertama di Timur Tengah, yang ceritanya juga ganjil. Pembajakan itu dilakukan Israel pada Desember 1954, ketika sebuah jet penumpang sipil Syria dikepung oleh pesawat-pesawat tempur Israel dan dipaksa mendarat di Bandara Lydda. Maksud Kepala Staf AB Moshe Dayan adalah "untuk memperoleh sandera-sandera guna mendapatkan pembebasan tawanan-tawanan kita di Damaskus", tulis Perdana Menteri Moshe Sharett dalam catatan hariannya. Tawanan-tawanan Dayanlah yang dimasalahkan itu adalah tentara-tentara Israel yang tertangkap dalam sebuah misi mata-mata di dalam Syria. Kita ingat, Dayan-lah yang, dua puluh tahun kemudian, memerintahkan usaha penyelamatan yang berujung pada kematian para remaja Israel di Ma'alot, yang disandera dalam upaya mencapai pembebasan para tawanan Palestina di Israel. Sharett menulis sendiri bahwa "kita tak punya alasan pembenar apa pun untuk merampas pesawat itu" dan bahwa ia "tak punya alasan untuk meragukan kebenaran penegasan faktual Deplu AS bahwa tindakan kita tak ada presedennya dalam sejarah praktek internasional". Tetapi, peristiwa ini lenyap dari sejarah sehingga Dubes Israel di PBB, Benjamin Netanyahu, --mantan PM Israel-- dapat tampil di televisi nasional dan menuduh PLO sebagai "pencipta" pembajakan pesawat dan bahkan pembunuhan diplomat, tanpa khawatir ada kontradiksi.79

Mengenai pembunuhan diplomat, kita agaknya hanya mengingat pembunuhan mediator PBB, Folke Bernadotte, pada 1948 oleh sebuah kelompok teroris yang dipimpin atasan langsung Netanyahu, Menlu Yitzhak Shamir, yang merupakan salah satu dari tiga komandan yang memerintahkan pembunuhan ini (komandan kedua, sekarang sudah meninggal, adalah komentator terpandang dalam pers Israel selama berpuluh tahun, sebagaimana yang ketiga). Seorang sahabat karib David Ben-Gurion secara pribadi mengakui bahwa dialah salah seorang pembunuhnya, tapi Ben-Gurion tetap merahasiakannya, dan pemerintah Israel mengatur pelarian dari penjara dan kepergian dari Israel bagi mereka yang bertanggung jawab atas peristiwa itu.

Dalam penuturan berdasarkan kesaksiannya sendiri, sejarahwan Zionis, Jon Kimche, menulis bahwa "tidak ada kecaman luas dan desakan untuk menangkap para pelakunya", dan "tidak banyak muncul kemarahan moral". "Sikap mayoritas adalah bahwa musuh lain kaum Yahudi sudah kalah". Pembunuhan itu "dikecam, disesalkan, dan disayangkan karena ia akan menimbulkan cemoohan terhadap Israel, dan membuat kerja para diplomatnya lebih sulit; bukan karena cara pembunuhan yang ditempuh itu sendiri memang salah".80

Dalam memori selektif kita yang disepakati, hanya tindakan-tindakan Arab yang tetap sebagai "momok bengis terorisme".

Setelah pembajakan Achille Lauro sebagai pembalasan atas pemboman Tunisia, isu pembajakan kapal menjadi perhatian pokok Barat. Sebuah studi oleh kantor berita Reuter menyimpulkan bahwa "hanya terjadi sedikit sekali pembajakan kapal sejak 1961", lalu memberi beberapa contoh pembajakan oleh kaum Muslim. Pembajakan oleh Israel sama sekali tak masuk daftar.81

Catatan kaki:

45 Peres, NYT, 8 Juli 1983; Breindel, op.cit; NYT, 16 September 1983, 3 Juni 1985; Kamm, NYT, 26 April 1985; Friedman, NYT, 20 Februari, 18 Februari 1985; Brzezinski, NYT, 9 Oktober 1983; Reagan, konferensi-konferensi pers, NYT, 29 Maret 1984, 28 Oktober 1983. Lihat juga pernyataan Rabbi Alexander Schindler, Presiden Serikat Kongregasi-Kongregasi Yahudi Amerika (Pembaru); PLO "dengan meninggalkan Beirut "bukannya menyerah, melainkan malah mengancam akan merusak"; mengirim pasukan Marinir untuk mengawasi keberangkatan mereka, bukannya membiarkan Israel menuntaskan pekerjaan mereka, "jelas merupakan (tugas) paling memalukan" yang pernah diberikan kepada pasukan Marinir itu. (UPI, BG, 28 Oktober 1984). Gambaran amat menarik tentang agama yang mengabdi kepada kekerasan negara ini dicoret dari berita Times pada hari yang sama.

46 NYT, 7 Juni 1983.

47 Quandt, American Arab Affairs, Musim Gugur 1985; Hillel Schenker, wawancara dengan David Shipler, New Outlook (Tel Aviv), Mei 1984.

48 Partai Buruh yang beroposisi mendukung perang ini, sebagian lamaran hasil-hasil poll menunjukkan bahwa 98 persen pendukung Likud dan 91 persen pendukung Buruh menganggap perang ini sah. Ketika perang berakhir dengan pemboman menghebohkan atas Beirut pada pertengahan Agustus, dukungan bagi Begin dan Sharon mencapai setinggi masing-masing 82 dan 78 persen, sesudah pembantaian Sabra-Shatila, merosot masing-masing menjadi 72 dan 64 persen. Lihat FT, 251-262, 394; 378 dst.

49 Philip Weiss, New Republic, 10 Februari 1986.

50 Ze'ev Schiff dan Ehud Ya'ari, Israel's Lebanon War (Simon & Schuster, 1984), 35; John Kifner, NYT 25 Juli 1981. Schiff dan Ya'ari menyatakan bahwa "walaupun sangat sukar membidik tepat sasaran-sasaran dan memberikan pukulan langsung, ada lebih seratus orang yang tewas; termasuk tiga puluh 'teroris'." Buku Schiff Ya'ari ini merupakan terjemahan dari bagian-bagian buku aslinya yang berbahasa Ibrani; sekitar 20 persen buku aslinya terjaring sensor pemerintah Israel, menurut Ya'ari (Kol Hair, 2 Februari 1984), sedangkan menurut pakar Amerika, Augustus Norton, yang mengutip seorang "koresponden terkemuka-tak ada hubungannya dengan kedua pengarang", jumlah yang terkena sensor 50 persen (Middle East Journal, Musim Panas 1985). Penyensoran di Nikaragua, yang berada di bawah serangan pasukan-centeng AS, membangkitkan kemarahan besar di AS. Penyensoran yang paling ekstrem di Israel, tentu saja dikenakan terhadap warga Arab, termasuk yang menjadi warga negara Israel. Lihat FT,139 dst., TTT, 73 dst., dan artikel saya dalam Walker, op.cit, untuk sebuah contoh kecil.

51 Walsh, WP Weekly, 4 Maret 1985; Wilkie, BG, 18 Februari 1985.

52 FT, 448 440, mengutip pers Israel; News from Within (Tel AAv), 1 Oktober 1985; Yediot Ahronot, 4 November 1983.

53 Ha'aretz, 25 Juni 1982; lihat FT, 20 dst., untuk kutipan-kutipan lebih lanjut dan analisis serupa oleh para komentator Israel.

54 B. Michael, Ha'aretz, 13 November 1983; Bachar, Yediot Ahronot, 11 November 1983; Morris,JP, 5 Juni 1984.

55 New Republic, yang pernah gigih membela Israel dari "banyak insan pers" yang "siap meyakini hanya tentang segala yang mencerminkan keburukan negara Yahudi ini (dan, hampir merupakan imbalan logisnya, segala yang mencerminkan kebaikan musuh-musuhnya)", mengecam Washington Post karena telah "bersekongkol dalam salah satu fitnah besar" dengan menyatakan bahwa Sharon telah berusaha membangun apa yang disebut "suatu'orde baru' (istilah Hitler)" di Lebanon (Martin Peretz, NR, 18 Maret 1985; NR, 19 Maret 1984). Istilah ini memang ucapan Hitler, dan Sharon memakainya, sebagaimana umumnya para komentator Israel. Satu bulan sebelum mereka mengutuk Post karena mengungkapkan fakta-fakta secara akurat, sebuah headline di jurnal sayap-kanan bertiras besar Yediot Ahronot, berbunyi: "Sharon telah memaparkan rencananya untuk membentuk 'sebuah orde baru"', mengutip Dubes AS Morris Draper yang mengutip Sharon dalam sebuah pertemuan tertutup Federasi Yahudi di Los Angeles (23 Februari 1984). Pemakaian kata ini sudah standar; lihat FT, untuk contoh-contoh lain, dan untuk kasus-kasus lain ketika New Republic dengan saksama menghindari sumber-sumber Israel dalam upayanya untuk tidak menyimpang dari Garis Partai (misalnya, 215 dst., 258 dst.).

56 Olmert, Ma'ariv, 22 November 1983; Milson, Koteret Rashit, 9 November 1983; Sharon, dikutip oleh Ze'ev Schiff, Ha'aretz, 23 Mei 1982; Milshtein, Hadashot, 26 September 1984; Rubinstein, Ha'olam Haze, 8 Juni 1983. Tentang aspirasi-aspirasi Ben-Gurion sebelum dan sesudah Israel berdiri; lihat FT, 51,160 dst.; Shabtai Tevet, Ben-Gurion and the Palestinian Arabs (Oxford, 1985) dan resensi Benny Morris, Jerusalem Post, 11 Oktober 1985.

57 FT, 199, mengutip sebuah wawancara dalam Ha'aretz, 4 Juni 1982; FT, 117, 263.

58 Nouvel Observateour, 4 Mei; Observer (London), 29 April; Jerusalem Post, 16 Mei; San Fransisco Examiner, 5 Mei; ", 8 Juli 1984. Lihat tulisan saya, "Manufacture of Consent", Desember 1984, diterbitkan oleh Community Church, Boston, dan artikel saya "United States and the Middle East", ENDpapers (UK), Musim Panas 1985, untuk perincian lebih lanjut. Tentang kegigihan Israel sebelumnya untuk membuyarkan suatu pemecahan politik, dengan dukungan tetap AS, lihat FT dan Beilin, op.cit. Bahan-bahan arsipial yang baru-baru ini dibuka di Israel membuat jelas bahwa cerita ini sudah lama muncul. Tentang sukses-sukses New York Times dalam menciptakan suatu sejarah yang menguntungkan, di bidang ini dan bidang lainnya, lihat Bab Kesatu dan artikel saya, "All the News that Fits", UTNE Reader, Februari/Maret 1986.

59 Ha'aretz, 29 September 1985 (dikutip oleh Ammon Kapeliouk, Le Monde Diplomatique, November 1985); Koteret Rashit, 9 Oktober 1985.

60 Julie Flint, Manchester Guardian Weekly, 19 Januari 1986.

61 Post tidak melukiskan ini sebagai "aksi teroris" yang dilakukan oleh "komandan teroris" Menachem Begin.

62 Christian Wilhams, Bob Woodward, dan Richard Harwood, "Who Are They", WP, 10 Februari 1984; editorial, NYT, 19 Mei 1976. Tentang kenyataannya, yang umumnya disingkirkan di AS, lihat TNCW, FT. Perilaku organisasi "hak-hak asasi" tertentu dalam masalah ini menarik dicatat. Demikianlah, untuk menjamin bahwa ia tak akan memiliki informasi yang tak menyenangkan, Liga Internasional untuk Hak-Hak Asasi Manusia menutup perwakilannya di Israel, dengan alasan tunggal bahwa Pemerintah Buruh yang sedang berkuasa telah berusaha untuk menghancurkannya dengan tindakan-tindakan yang sedemikian keras, sehingga mereka segera dirintangi oleh Pengadilan Israel; lihat buku saya, Peace in the Middle East? (Pantheon, 1974, 196-7), FT, 142, 178, dan rujukan-rujukan yang dikutip. Perilaku semacam ini terhadap negeri lain mana pun niscaya akan ditanggapi dengan kemarahan besar, tapi rupanya itu tak mengusik reputasi Liga Internasional. Demikian pula, jurnal informasi tentang hak-hak asasi manusia, Human Rights Internet, yang cuma melaporkan tuduhan-tuduhan pelanggaran hak-hak asasi tanpa komentar apa-apa, mengizinkan Liga Anti-Defamasi (LAD) untuk menanggapi tuduhan-tuduhan terhadap Israel, suatu hal yang tidak akan digubris bagi negara lain; maka, Partai Komunis (AS), yang memiliki reputasi domestik yang sebanding dengan LAD sebagai organisasi pembela hak-hak asasi manusia, menanggapi dakwaan-dakwaan terhadap Uni Soviet.

63 New Outlook, Tel Aviv, Oktober 1985; Daavar, 18 Juli 1985. Sejarahwan militer Uri Milshtein menulis bahwa, berlawanan dengan cerita-cerita standar, Israellah yang memicu konflik yang berujung pada "perang pengurasan tenaga musuh", dengan tanknya yang menembaki posisi-posisi Mesir, menewaskan lusinan serdadu; Monitin, Agustus 1984.

64 Thomas Friedman, NTT, 31 Januari 1986.

65 Hirts, MGW, 20 April 1986; Harkabi, dikutip oleh Amnon Kapeliouk, Le Monde diplomatique, Februari 1986.

66 PLO menyatakan bahwa ketiga orang Israel yang dibunuh itu terlibat dalam operasi-operasi ini-suatu tuduhan yang sangat tak masuk-akal, seperti dikomentari oleh wartawan Israel, David Shaham (John Bulloch, "PLO Victims were Mossad Agents", Daily Telegraph (London), 3 Oktober 1985; Shaham, AL-Fajr, 29 November 1985.

67 Ha'aretz, 12 Juni 1986. Laporan ini tak menunjukkan bahwa sebuah peradilan telah berlangsung.

68 FT, 77; David Shipler, NIT 25 November 1983; NYT, 26 Januari 1984, alinea terakhir.

69 NYT, 30 Juni, 1 Juli; BG, 1, 4, 12 Juli; Middle East Reporter (Beirut), 30 Juni; Observer (London), 1 Juli; Jansen, MEI, 13 Juli 1984.

70 Thomas Friedman, NYT, 5 Februari; AS "mengurungkan niat untuk membuat penilaian atas aksi-aksi Israel ini" (NYT, 5 Februari); juga Norman Kempster, LAT, 5 Februari 1986.

71 News from Within (Jerusalem), 1 November 1985.

72 LAT-BG, 29 Juni 1984.Tentang penindasan bengis di Golan, lihat FT,132 dst.

73 Lihat Uri Milshtein, Monitin, Agustus 1984, untuk ulasan mutakhir.

74 Lihat Bab Pendahuluan.

75 FT, 188 dst.

76 Rabin Memoirs, 280-1.

77 NYT, 12 Oktober 1985. Sementara itu, Times mengecam Iran, "yang tak juga mengekstradisi atau menghukum orang-orang yang membajak sebuah pesawat sipil Kuwait dan membunuh dua warga Amerika pada Desember 1984", dan mendesak supaya Barat memboikot Libya, jika Qaddafi terus saja "melindungi para pembajak", Editorial NYT, 14 Mei 1986. Toh ia tak berkata serupa, atau mengecam mereka yang melindungi pembajak pesawat penumpang Soviet, atau menyinggung catatan panjang pembajakan udara dan Laut yang dilakukan oleh klien-klien Israel.

78 Abraham Sofaer, Foreign Affairs, Musim Panas 1986.

79 Livia Rokach, Israel's Sacred Terroriam, sebuah studi yang didasarkan atas catatan harian pribadi Moshe Sharett (AAVG,1980, 20 dst.); "Sixty Minutes", CBS, 19 Januari 1986.

80 Sune Persson, Mediation and Assassination (London, 1979); Michael Bar-Zohar, Ben-Gurion: A Biography (Delacorte, 1978), 180-1; Stephen Green, Taking Sides (Morrow, 1984), 38 dst.; Kimche, Seven Fallen Pillars (Secker & Warburg,1953), 272-3.

81 Globe & Mail (Toronto), 9 Oktober 1985.

(bagian pertama, kedua, ketiga)


Maling Teriak Maling: AMERIKA SANG TERORIS?
karya Noam Chomsky, terbitan Amana Book, Inc., 1986
Penterjemah Hamid Basyaib
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 2, Sya'ban 1422 /Oktober 2001
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038
email:info@mizan.com, http://www.mizan.com/
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.