Maling Teriak Maling:
Amerika Sang Teroris?

Noam Chomsky


 Pengendalian Pikiran: Kasus Timur Tengah (1/2)

Dari perspektif perbandingan, Amerika Serikat adalah negeri yang luar biasa, kalaulah bukan unik, dalam hal tidak adanya pembatasan-pembatasan untuk kebebasan berekspresi. Ia juga luar biasa dalam rentangan dan keefektifan metode-metode yang digunakan untuk membatasi kebebasan berpikir. Kedua fenomena ini saling terkait. Para teoretikus demokrasi liberal sudah lama menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat yang suara rakyatnya didengar, kelompok-kelompok elite harus yakin bahwa suara-suara itu mengungkapkan hal-hal yang benar. Semakin kecil kemampuan negara untuk menerapkan kekerasan dalam mempertahankan kepentingan kelompok-kelompok elite yang secara efektif mendominasinya, semakin ia membutuhkan pemikiran untuk menemukan --dalam kata-kata Walter Lippmann lebih dari enam puluhan tahun silam-- teknik-teknik "pengolahan persetujuan" ("manufacture of consent"),1 atau --menurut ungkapan yang lebih disukai Edward Bernays, salah seorang bapak pendiri Industri Public Relations Amerika-- "rekayasa persetujuan" ("engineering of consent").

Pada 1933, Harold Lasswell menulis dalam Encyclopaedia of the Social Sciences bahwa kita tidak boleh mengalah pada "dogmatisme-dogmatisme demokrasi bahwa penilaian terbaik terhadap manusia adalah berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka sendiri". Kita harus mencari jalan untuk menjamin dukungan mereka terhadap keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemimpin mereka yang berpandangan jauh, sebuah pelajaran yang lama sebelumnya sudah disimak oleh para elite dominan; dalam hal ini, kebangkitan industri Public Relations (PR) merupakan contoh yang sangat baik. Dalam hal kepatuhan dijamin oleh kekerasan, para penguasa cenderung menganut konsepsi "behavioris": cukuplah kalau rakyat sudah patuh; apa yang mereka pikirkan tak terlalu jadi masalah. Jika negara kurang memiliki alat-alat pemaksa, pentinglah mengontrol pula apa yang dipikirkan oleh rakyat.

Sikap ini lazim di kalangan intelektual yang berdiri di sepanjang spektrum politik, dan biasanya dipertahankan kalau mereka bergeser keluar dari spektrum ini jika keadaan mengharuskan. Sebuah versinya diungkapkan oleh komentator politik dan moralis yang sangat terpandang, Reinhold Niebuhr, ketika dia menulis pada 1932 waktu itu dari perspektif Kristen kiri --bahwa karena "kebodohan rata-rata manusia", merupakan tanggung jawab "para pengamat yang dingin" untuk memberikan "ilusi yang perlu" yang menyajikan keyakinan yang harus ditanamkan dalam pikiran orang-orang yang kurang beruntung ini.2 Doktrin ini lumrah pula dalam versi Leninisnya, sebagaimana dalam ilmu sosial Amerika dan komentar liberal pada umumnya. Lihatlah pemboman atas Libya pada April 1986. Kita membaca tanpa kaget bahwa itu merupakan suatu keberhasilan humas (PR) di Amerika Serikat. Ia "diterima baik di Peoria"* dan "dampak politik positifnya" tentu "memperkuat tangan Reagan dalam berhadapan dengan Kongres mengenai masalah-masalah seperti anggaran militer dan bantuan-bantuan untuk kaum 'Contra' Nikaragua". "Jenis kampanye pendidikan rakyat ini merupakan hakikat keahlian kenegaraan," kata Dr. Everett Ladd, pakar spesialis opini publik, yang menambahkan bahwa seorang presiden "harus melakukan upaya merekayasa persetujuan demokratis"; Ladd menggunakan semangat Orwellisme yang lazim dalam Public Relations dan lingkungan akademik untuk menunjuk metode-metode guna menggerogoti partisipasi demokratis yang sejati dalam mewarnai kebijakan publik.3

Problem "rekayasa persetujuan demokratis" ("engineering democratic consent") muncul dalam bentuk yang amat tajam jika kebijakan negara tak dapat dipertahankan, dan menjadi serius tergantung tingkat keseriusan masalah-masalahnya. Tak ada keraguan tentang keseriusan masalah-masalah yang muncul di Timur Tengah, khususnya konflik Arab-Israel, yang lazimnya --dan masuk akal-- dianggap sebagai "kotak mesiu" (tinder box) yang akan memicu perang nuklir jika konflik regional ini menyentuh negara-negara adidaya, sesuatu yang telah terjadi dengan jelas di masa lalu dan akan terus demikian di masa depan. Lebih jauh, kebijakan AS telah nyata-nyata menyumbang untuk pelestarian situasi konfrontasi militer, dan didasarkan pada asumsi-asumsi rasis terselubung yang tidak akan ditoleransi seandainya dinyatakan secara terbuka. Terdapat pula perbedaan mencolok antara sikap-sikap masyarakat, yang umumnya mendukung pembentukan negara Palestina kalau persoalan ini ditanyakan dalam pengumpulan-pengumpulan pendapat, dan kebijakan negara, yang terang-terangan menghalangi pilihan ini, walaupun perbedaan ini hanya berlangsung sejenak selama unsur-unsur masyarakat yang berani bicara dan aktif secara politik menjaga disiplin yang memadai. Untuk memastikan hasil ini, perlulah dilakukan apa yang disebut para sejarahwan Amerika sebagai "rekayasa sejarah" (historical engineering), ketika mereka meminjamkan keahlian kepada Pemerintahan Wilson selama Perang Dunia I dalam salah satu pelaksanaan-pelaksanaan awal "pengolahan persetujuan" yang terencana. Ada pelbagai cara bagi tercapainya hasil ini.

Salah satu metodenya adalah menyiasati suatu pola Newspeak yang pas, yang di dalamnya istilah-istilah penting yang mengandung suatu arti teknis dipisahkan dari makna lazimnya. Lihatlah, umpamanya, istilah "proses perdamaian". Dalam pengertian teknisnya, sebagaimana digunakan dalam media Massa dan wacana ilmiah pada umumnya di Amerika Serikat, ia menunjuk pada usulan-usulan perdamaian yang diajukan oleh pemerintah AS. Maka, benarlah menurut definisinya bahwa Amerika Serikat committed terhadap perdamaian, suatu konsekuensi yang bagus. Orang-orang yang berpikir lurus berharap supaya Yordania mau bergabung dalam proses perdamaian ini; yaitu mau menerima keharusan-keharusan yang ditekankan AS. Pertanyaan besarnya adalah apakah PLO akan setuju bergabung dalam proses perdamaian ini, atau dapatkah haknya dijamin untuk ikut dalam acara besar ini. Judul ulasan Bernard Gwertzman tentang "proses perdamaian" di New York Times berbunyi: "Are the Palestinians Ready to Seek Peace?"4 ("Apakah Bangsa Palestina Siap Mengadakan Perdamaian?"). Dalam arti normal kata "perdamaian", jawabannya tentu saja "Ya". Setiap orang menginginkan perdamaian, menurut syarat-syarat mereka sendiri; Hitler, misalnya, jelas menginginkan perdamaian pada 1939, menurut syarat-syaratnya sendiri. Tetapi, dalam sistem pengendalian pikiran, pertanyaannya jadi lain: apakah bangsa Palestina siap menerima syarat-syarat AS untuk perdamaian? Syarat-syarat ini dipatri untuk menghapus hak menentukan nasib bangsa sendiri, namun ketakmauan menerima konsekuensi ini menunjukkan bahwa bangsa Palestina tidak menginginkan perdamaian, sebagaimana dirumuskan dalam Newspeak konvensional.

Penting dicatat bahwa bagi Gwertzmann tidaklah perlu bertanya apakah Amerika Serikat atau Israel "siap mengupayakan perdamaian". Bagi AS, ini adalah benar per definisi, dan konvensi-konvensi dalam apa yang dinamakan "jurnalisme yang bertanggung jawab" (Orwellisme juga) mencakup bahwa hal yang sama niscaya benar bagi sebuah negara klien yang berkelakuan balk.

Gwertzmann lebih lanjut menegaskan bahwa PLO selalu menolak "setiap pembicaraan untuk merundingkan perdamaian dengan Israel". Ini salah, tetapi benar dalam dunia "ilusi yang perlu" rumusan Newspaper of Record yang --bersama dengan jurnal-jurnal bertanggung jawab lainnya-- telah memberedel fakta-fakta yang relevan dan mengubur mereka ke dalam liang memori Orwell yang bermanfaat.

Sudah tentu ada usulan-usulan perdamaian Arab, termasuk usulan-usulan PLO, tapi mereka bukanlah bagian dari "proses perdamaian". Maka, dalam ulasan tentang "Two Decades of Seeking Peace in the Middle East" (Dua Dasawarsa Pengupayaan Perdamaian di Timur Tengah), koresponden Times di Jerusalem, Thomas Friedman, menyingkirkan usulan-usulan perdamaian Arab (termasuk PLO) yang penting; tidak ada usulan Israel yang disebut sebab tak ada satu pun usulan serius yang pernah diajukannya, sebuah fakta yang tak dibahas karena alasan-alasan yang jelas.5

Seperti apakah gerangan sifat "proses perdamaian" resmi itu dan usulan-usulan Arab yang disingkirkan dari sana? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harus menjelaskan istilah lain dalam Newspeak: "rejeksionisme". Dalam penggunaan Orwelliannya, istilah ini menunjuk pada sikap negara-negara Arab yang menolak hak menentukan nasib sendiri untuk bangsa Yahudi Israel, atau yang tak mau menerima "hak hidup" Israel, sebuah konsep baru dan penuh muslihat yang dipancang untuk merintangi bangsa Palestina dari "proses perdamaian", dengan membeberkan "ekstremisme" mereka yang tak mau mengakui peradilan tentang apa yang mereka pandang sebagai penjarahan tanah air mereka, dan yang berkeras menolak pandangan tradisional --pandangan yang dianut oleh sistem ideologis yang berlaku di Amerika Serikat dan diterapkan dalam praktek internasional berkenaan dengan semua negara selain Israel-- bahwa sementara negara-negara lain diakui dalam tata internasional, "hak hidup" Israel tidak diakui.

Ada unsur-unsur dalam dunia Arab yang kepada mereka istilah "rejeksionisme" dikenakan: Libya, front pembangkang minoritas dalam PLO, dan lain-lain. Namun, tak boleh diabaikan bahwa dalam Newspeak resmi, istilah ini dipakai dalam pengertian yang sangat rasis.

Dengan melupakan asumsi-asumsi rasis, kita melihat bahwa ada dua kelompok yang mengaku hak menentukan nasib sendiri di bekas Palestina: penduduk asli, yang selalu merupakan mayoritas sebelum berdirinya Negara Israel, dan para pemukim Yahudi yang banyak menggantikan mereka, kadang-kadang dengan kekerasan yang luar biasa. Jadi, penduduk asli lebih berhak dibandingkan dengan para imigran Yahudi itu (sebagian orang mungkin berkeras bahwa belum tentu demikian, tapi saya akan mengesampingkan masalah ini). Maka, kalau begitu, istilah "rejeksionisme" haruslah digunakan untuk menunjuk pada penolakan hak menentukan nasib sendiri bagi salah satu dari kelompok-kelompok bangsa yang bersaing ini. Tetapi, istilah ini tak dapat digunakan dalam pengertian non-rasisnya dalam sistem doktrinal AS sebab jika dipakai secara demikian akan langsung terlihat bahwa AS dan Israel-lah yang berada di kubu rejeksionisme --suatu pandangan yang tak dapat ditoleransi di dunia nyata.

Dengan penjernihan-penjernihan ini, kita dapat kembali ke pertanyaan: Apa gerangan "proses perdamaian" itu?

"Proses perdamaian" resmi tersebut jelas-jelas rejeksionisme, termasuk Amerika Serikat dan kedua kelompok utama di Israel (Partai Likud dan Partai Buruh --penerjemah). Kenyataannya, rejeksionisme mereka sedemikian ekstrem sehingga bangsa Palestina bahkan tak diizinkan untuk memilih wakil-wakil mereka sendiri dalam perundingan-perundingan yang sangat penting mengenai nasib mereka --sebagaimana mereka tak dibolehkan menyelenggarakan pemilihan dewan kota atau bentuk-bentuk demokrasi lainnya di bawah pendudukan militer Israel. Apakah ada proses perdamaian non-rejeksionis (dalam pengertian non-rasis istilah ini) dalam agenda itu? Menurut sistem doktrinal AS, jawabannya tentu saja "Tidak", per definisi. Dalam dunia nyata, masalah-masalahnya berbeda. Istilah-istilah dalam usulan ini sudah lazim, mencerminkan konsensus internasional yang luas: mereka mencakup sebuah negara Palestina di jalur Gaza dan Tepi Barat bersisian dengan Israel, dan meliputi prinsip bahwa "adalah mutlak untuk menjamin keamanan dan kedaulatan semua negara di kawasan itu, termasuk Israel".

Kata-kata kutipan itu adalah ucapan Leonid Brezhnev dalam pidatonya di Kongres Partai Komunis Uni Soviet, Februari 1981, yang mengungkapkan posisi standar Soviet. Pidato Brezhnev diringkaskan dalam New York Times dengan menghilangkan bagian-bagian penting ini; dipotong dengan pernyataan Reagan pasca pertemuan puncak di Pravda yang membangkitkan kejengkelan besar yang memang pantas. Pada April 1981, pernyataan Brezhnev diterima bulat oleh PLO, tapi fakta ini tak dilaporkain dalam Times. Doktrin resmi menegaskan bahwa Uni Soviet, seperti biasanya, maunya hanya menimbulkan keonaran dan mengurusi perdamaian bloknya, maka dari itu mendukung rejeksionisme dan ekstremisme Arab. Media melaksanakan dengan baik tugas yang sudah ditetapkan untuk mereka.

Kita dapat menyebut contoh lain. Pada Oktober 1977, suatu pernyataan bersama Carter-Brezhnev mengimbaukan "penghapusan keadaan perang dan pembentukan hubungan damai yang normal" antara Israel dan tetangga-tetangganya. Ini dipatuhi oleh PLO, dan ditarik oleh Carter setelah muncul reaksi garang dari Israel beserta lobi Amerikanya. Pada Januari 1976, Yordania, Syria dan Mesir mengajukan usulan bagi pemecahan dua-negara kepada Dewan Keamanan PBB sesuai dengan konsensus internasional. Usulan ini diterima oleh PLO; menurut Presiden Israel Chaim Herzog (waktu itu duta besar di PBB), usulan ini "dipersiapkan" oleh PLO. Ia diveto oleh Amerika Serikat.6

Kenyataan-kenyataan ini banyak yang terhapus dari sejarah, dalam jurnalisme dan dunia keilmuan. Prakarsa Arab 1976 itu bahkan tak disinggung dalam ulasan yang sangat cermat oleh Seth Tillman dalam bukunya The United States and the Middle East. (Indiana, 1982). Ia disebut oleh Steven Spiegel dalam bukunya The OtherArab-Israeli Conflict (Chicago, 1985, 306), sebuah karya ilmiah yang banyak dipuji dalam sejumlah resensi yang bagus. Spiegel menulis bahwa AS "memveto resolusi pro-Palestina itu" untuk "memperlihatkan bahwa Amerika Serikat mau mendengarkan aspirasi-aspirasi bangsa Palestina, tapi tak bersedia mengabulkan tuntutan-tuntutan yang membahayakan Israel". Komitmen terhadap rejeksionisme AS-Israel tak perlulah lebih diperjelas, dan ia diterima sebagai hal yang sangat wajar di Amerika Serikat, bersama dengan prinsip bahwa tuntutan-tuntutan yang membahayakan bangsa Palestina sepenuhnya sah, bahkan patut dipuji: misalnya sebagaimana tecermin dalam istilah-istilah seperti "proses perdamaian" resmi itu.

Dalam perbincangan publik, sudah menjadi doktrin bahwa negara-negara Arab tak pernah bergeming dari penolakannya untuk berhubungan dengan Israel dalam segala bentuk, terlepas dari Sadat setelah perjalanannya ke Jerusalem pada 1977. Fakta-fakta tak perlu membikin malu --atau sekadar agak menggelisahkan-- bagi suatu sistem. "rekayasa sejarah" yang berfungsi baik.

Reaksi Israel terhadap usulan perdamaian PLO dan "negara-negara konfrontasi" pada 1976 tersebut adalah membom Lebanon (tanpa alasan "pembalasan", kecuali terhadap Dewan Keamanan PBB), menewaskan lebih dari lima puluh orang, dan mengumumkan bahwa Israel tidak akan berunding dengan pihak Palestina mana pun tentang masalah politik apa pun. Ini adalah sikap pemerintahan Buruh yang lunak pimpinan Yitzhak Rabin yang, dalam memoarnya, menyebut dua bentuk "ekstremisme": sikap pemerintahan Begin, dan usulan "kaum ekstremis Palestina (maksudnya PLO)", yang "mau membuat sebuah negara Palestina yang berdaulat di Tepi Barat dan jalur Gaza". Hanya gaya rejeksionisme Partai Buruh yang terhindar dari "ekstremisme", suatu posisi yang turut dianut oleh para komentator Amerika.7

Kita perlu menyinggung sepasang konsep Newspeak lainnya: "ekstremis" dan "moderat"; yang terakhir menunjuk kepada mereka yang menerima posisi Amerika Serikat yang pertama kepada yang menolak. Dengan demikian, posisi Amerika moderat per definisi, sebagaimana posisi koalisi (umum) Partai Buruh Israel, karena garis yang dikedepankannya kurang lebih sama dengan posisi Amerika Serikat. Maka, Rabin sudah memenuhi syarat dengan penggunaannya atas istilah-istilah "ekstremis" dan "moderat". Demikian pula, dalam sebuah uraian getir yang pas mengenai "ekstremisme" beserta keampuhannya, Thomas Friedman memasukkan kedalam penggolongan ini orang-orang yang menganjurkan penyelesaian non-rasis sesuai dengan konsensus internasional, sementara para pemimpin Barat dari kubu rejeksionis --yang juga tak bersangkut paut dengan operasi-operasi teroris-- adalah "moderat"; per definisi, satu hal lagi perlu ditambahkan. Friedman menulis bahwa "Kaum ekstremis selalu lebih pintar memanfaatkan media". Ia seratus persen benar; Israel dan Amerika telah memperlihatkan kepintaran tiada tara dalam urusan ini, seperti ditunjukkan oleh berita media dan tulisan-tulisannya sendiri --membikin sebagian orang berpikir apakah tidak lebih baik kalau ia disebut "koresponden Times Israel."8 Versinya yang pas tentang sejarah dan kerangka konsepsual dari laporannya, sebagaimana baru saja digambarkan, mengungkapkan sedikit dari sejumlah besar contoh sukses para ekstremis dalam "memanfaatkan media" --kali ini digunakan bukan dalam arti Orwelliannya.

Dengan memakai kerangka konsepsual ini, yang dimaksudkan untuk menyingkirkan setiap kemungkinan pemahaman fakta dan masalah-masalah, Times mengikuti praktek model-model Israel seperti Rabin, yang mencapai kedudukan "moderat" berkat penyesuaian umum mereka dengan tuntutan-tuntutan pemerintah Amerika. Sejalan dengan ini, maka wajar belaka bahwa ketika Friedman mengulas "Dua Dasawarsa Pengupayaan Perdamaian di Timur Tengah", usulan-usulan penting yang ditolak oleh AS dan Israel dihapus sebab tak cocok untuk rekaman sejarah.

Sementara itu, para pemimpin Israel dipuji oleh redaktur Times karena "pragmatisme sehat" mereka, dan PLO dikecam karena berhenti di tengah perjalanan menuju perdamaian.9

Kadangkala, dalam kerangka sistem ideologis ini, media dapat sangat kritis terhadap Israel dan AS serta cukup besar pula toleransi mereka terhadap para ekstremis Arab. Kenyataan bahwa pernyataan-pernyataan semacam itu dapat dikemukakan tanpa menimbulkan cemoohan, merupakan salah satu tanda keberhasilan besar dari sistem indoktrinasi ini.

Kembali kepada kaum "ekstremis", pada April-Mei 1984 Nasser Arafat mengemukakan serangkaian pernyataan mengimbau perundingan-perundingan yang mengarah pada pengakuan timbal balik. Pers nasional tak mau memuat fakta-fakta ini; Times bahkan menyekap surat-surat pembaca yang menyinggung masalah ini, seraya terus mengecam si "ekstremis" Arafat karena merintangi upaya pemecahan secara damai.10

Peristiwa-peristiwa ini dan sejumlah contoh lainnya menggambarkan bahwa terdapat usulan-usulan non-rejeksionis yang didukung luas; sesungguhnya, ia didukung dengan pelbagai bentuk oleh kebanyakan negara Eropa, Uni Soviet, negara-negara non-blok, negara-negara besar Arab dan arus-utama dalam PLO, dan mayoritas dalam opini publik Amerika (berdasarkan beberapa poll yang dilakukan). Tetapi, mereka tak menjadi bagian dalam proses perdamaian karena Amerika Serikat menentangnya. Maka, contoh-contoh yang disebut itu disingkirkan dari ulasan Times tentang "Dua Dasawarsa Pengupayaan Perdamaian", dan dari karya-karya jurnalistik dan bahkan wacana ilmiah pada umumnya.

Ada peristiwa-peristiwa lain yang tak memenuhi syarat sebagai bagian dari proses perdamaian. Demikianlah, ulasan Times tak menyebut tawaran Anwar Sadat tentang perjanjian perdamaian penuh atas dasar perbatasan-perbatasan yang diakui secara internasional, pada Februari 1971--dan sejalan dengan garis resmi AS waktu itu-- yang ditolak oleh Israel dengan dukungan AS.

Perlu dicatat bahwa usulan ini rejeksionis dalam hal bahwa ia tak menawarkan apa-apa kepada bangsa Palestina. Dalam memoarnya, Henry Kissinger menjelaskan kebijakannya waktu itu: "Kalau sebagian negara Arab belum juga memperlihatkan kemauan untuk berpisah dari Soviet, atau pihak Soviet siap untuk berlepas tangan dari program maksimum Arab, kami tak punya alasan untuk mengubah kebijakan kami" tentang "pembekuan keadaan". Uni Soviet itu ekstremis, dalam pengertian teknis, karena mendukung apa yang sudah menjadi (walaupun tak berjalan) kebijakan resmi AS. Kissinger tentu saja benar dengan menegaskan bahwa negara-negara Arab seperti Arab Saudi tak mau "berpisah dari Soviet", meskipun ia tak mencatat --dan tampaknya tak menyadari-- bahwa hal ini niscaya merupakan kemustahilan logis, sebab Saudi tak punya dan tak pernah punya hubungan dengan Uni Soviet.

Disiplin bagus media dan para ahli terlihat dari kenyataan bahwa pernyataan-pernyataan ini lolos dari komentar, seperti tampak dari tiadanya komentator terpandang yang mengungkapkan kebenaran bahwa kesembronoan dan insistensi Kissinger pada konfrontasi militer merupakan faktor utama yang memicu perang 1973.11

Usulan Sadat dicoret dari catatan sejarah. Berita resminya adalah bahwa Sadat itu tipikal manusia kepala-batu Arab, sukanya hanya membunuhi Yahudi, walaupun ia menginsafi kekeliruan cara-caranya sesudah kegagalan usahanya untuk menghancurkan Israel pada 1973 dan di bawah perwalian santun Kissinger dan Carter, menjadi tokoh perdamaian. Maka, dalam obituari dua halamannya setelah pembunuhan Sadat, Times bukan hanya menyembunyikan fakta-fakta aktual ini, melainkan juga terang-terangan menyangkalnya, dengan menyatakan bahwa hingga perjalanannya ke Jerusalem pada 1977, Sadat tak mau "menerima eksistensi Israel sebagai negara berdaulat".12 Newsweek bahkan tidak bersedia memuat sebuah surat pembaca yang mengoreksi pemalsuan-pemalsuan mencolok tentang masalah ini oleh kolumnis mereka, George Will, meskipun departemen risetnya secara pribadi mengakui fakta-fakta ini. praktek ini sudah standar.

Istilah-istilah "terorisme" dan "pembalasan" ("retaliation") juga memiliki arti khusus dalam Newspeak AS. "Terorisme" merujuk pada aksi-aksi teroris oleh pelbagai pembajak, terutama orang Arab. Aksi-aksi teroris oleh Kaisar dan para anak-buahnya disebut "pembalasan" atau barangkali "serangan-serangan lebih dulu yang sah untuk menghindari terorisme", yang sama sekali terlepas dari fakta-fakta yang ada, seperti akan dibahas dalam bab-bab berikut.

Istilah "sandera" --seperti "terorisme", "moderat", "demokratis", dan istilah-istilah lainnya dalam wacana politik --juga mempunyai arti teknis Orwellian dalam sistem doktrinal yang berlaku. Menurut arti kata-kata ini dalam kamus, rakyat Nikaragua sekarang disandera oleh sebuah operasi besar teroris yang dibidikkan dari pusat-pusat terorisme internasional di Washington dan Miami. Tujuan kampanye terorisme internasional ini adalah mengusahakan perubahan-perubahan dalam perilaku pemerintah Nikaragua: yang terpenting adalah niat (pemerintah Nikaragua) untuk menjalankan program-program yang menyalurkan sumber-sumber daya kepada mayoritas miskin, dan mengembalikan kebijakan-kebijakan "moderat" dan "demokratis" yang menguntungkan kepentingan bisnis Amerika beserta rekanan-rekanan lokalnya. Sebuah alasan yang sangat kuat dapat dibuat bahwa inilah yang merupakan alasan utama bagi perang teroris yang dilancarkan AS terhadap Nikaragua --suatu alasan yang tak ditolak, tapi agak tertutup untuk dibahas dalam sistem pengendalian pikiran AS.13 Ini merupakan penyelenggaraan terorisme yang sangat sadistis, bukan hanya karena skala dan tujuan jelasnya, tapi juga karena cara-cara yang dipakai, yang jauh melampaui praktek-praktek balasan yang lazim dilakukan oleh para teroris yang eksploitasinya menimbulkan horor amat menakutkan di lingkungan bangsa beradab: Leon Klinghoffer dan Natasha Simpson dibunuh oleh teroris, tapi tanpa lebih dulu mengalami penyiksaan brutal, pemotongan anggota tubuh, perkosaan, dan perbuatan-perbuatan standar lain seperti lazim dilakukan para teroris yang dilatih dan didukung AS, sebagaimana catatan-catatan-umumnya tak diketahui di Amerika --merekamnya dengan sangat terperinci. Kebijakan AS memastikan bahwa serangan-serangan teroris ini terus terjadi, sampai pemerintah (Nikaragua) menyesal atau terguling, sementara antek-antek sang Kaisar mendakwahkan kata-kata lembut tentang "demokrasi" dan "hak-hak asasi manusia".

Tapi, dalam pemakaian Orwellian, istilah "terorisme", dan "sandera" dibatasi hanya pada kelas aksi teroris tertentu: bukan terorisme skala-besar sang Kaisar, melainkan hanya terorisme balasan si pembajak, yang diarahkan kepada mereka yang menganggap terorisme dan penyekapan sandera secara besar-besaran sebagai hak istimewa mereka. Di Timur Tengah, pembajakan Israel, penahanan sandera, dan serangan-serangan terorisnya terhadap desa-desa tak berdaya dan lain-lain, tak termasuk dalam konsep terorisme, sebagaimana dirumuskan dengan pas dalam sistem doktrinal AS.

Catatan kaki:

* Ungkapan Inggrisnya, (it) "is playing well in Peoria". Preoria adalah kota kecil di Negara Bagian Illionis, yang letaknya persis di tengah-tengah Amerika Serikat dalam bentangan dari timur ke barat. Penduduknya dikenal lugu dan jujur, oleh karena itu dianggap mewakili opini rata-rata penduduk AS, sehingga sebuah kebijakan pemerintah yang diterima di Peoria dipandang sudah "lulus ujian". Karena itu boleh diteruskan. Adapun opini yang berkembang di kota-kota besar, biasanya hanya disuarakan oleh segelintir warga yang vokal, yang tidak proporsional dan tak mewakili pendapat rata-rata warga, telah diwarnai pula oleh kepentingan-kepentingan subjektif mereka, dan dengan dcmikian dianggap tak terlalu perlu diperhitungkan. Sekarang ungkapan ini diterapkan juga untuk hal-hal lain. Sebuah film yang laris, misalnya, mungkin disebut (it) "is playing well in Peoria". --penerj.

1 Mengenai masalah-masalah yang dibahas di sini, lihat TNCW, khususnya Bab 1, 2.

2 Dikutip oleh Richard Fox, Reinhold Niebuhr (Pantheon, 1985), 138.

3 John Dillin, Christian Science Monitor, 22 April 1986.

4 New York Times (NYT), 1 Juni 1985.

5 NYT, 17 Maret 1985.

6 Lihat TNCW, 267, 300, 461; FT, 67, 189.

7 Rabin, The Rabin Memoirs (Little, Brown, 1979), 332. Sejalan dengan pendirian moderatnya, Rabin berpendapat bahwa "para pengungsi dari Jalur Gaza dan Tepi Barat" harus dipindahkan ke timur Yordania; lihat TNCW, 234, untuk kutipan-kutipan representatif. Mengenai konsepsi lama Zionis tentang "pemindahan" penduduk asli sebagai pemecahan atas masalah ini, beserta varian-varian mutakhirnya (misalnya seperti dikemukakan tokoh rasis Rabbi Kahane atau sosialis demokrat Amerika Michael Walzer, yang menyarankan supaya mereka yang "marjinal di negara itu" --yaitu warga Arab di Israel-- harus "dibantu" untuk pergi), lihat FT. Penggalan kalimat "marjinal di negara itu" menyibakkan tirai tentang kontradiksi mendasar antara prinsip demokrasi standar dan Zionisme aliran-utama beserta realisasinya di Israel. Lihat TNCW dan FT untuk pembahasan masalah ini, yang hampir tak mungkin diungkapkan di Amerika Serikat.

8 Friedman menyajikan pelaporan serius dan profesional dari Lebanon selama Perang 1982, dan kadang-kadang dari Israel; lihat misalnya laporannya tentang Jalur Gaza, 5 April 1986.

9 Friedman, NYT Magazine, 7 Oktober 1984; NYT, 17 Maret 1985; editorial, NYT 21 Maret 1985; dan sejumlah berita dan komentar lainnya.

10 Untuk perincian, lihat Bab Kedua catatan kaki no. 58 dan teks. Untuk pembahasan lebih luas tentang "proses perdamaian" dan "rejeksionis" dalam pengertian non-Orwellian istilah-istilah ini --yaitu, dalam dunia nyata-- dan upaya-upaya sukses dari sistem indoktrinasi ini untuk menghapus fakta-fakta dari sejarah, lihat FT, dan untuk yang lebih baru, lihat rujukan-rujukan Bab Kedua, catatan kaki no. 58.

11 Untuk pembahasan lebih luas, lihat resensi saya atas memoar Kissinger, dimuat kembali dalam TNCW.

12 Eric, NYT, 7 Oktober 1981.

13 Untuk pembahasan, lihat TTT dan esai-esai saya dalam tema "New Right in America", Psychohistory Review (Lawrence Friedman [ed.], akan terbit) dan Thomas W.Walker (ed.), Reagan vs The Sandinistas (Westview, akan terbit); dan Pengantar saya untuk Morley dan Petras, op cit. Keperluan untuk mengaburkan fakta-fakta gamblang ini merupakan alasan utama untuk membuat suatu rekaman bohong yang mencolok, bahkan diukur dari standar negara-negara yang suka melakukan kekerasan.

(bersambung)


Maling Teriak Maling: AMERIKA SANG TERORIS?
karya Noam Chomsky, terbitan Amana Book, Inc., 1986
Penterjemah Hamid Basyaib
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 2, Sya'ban 1422 /Oktober 2001
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038
email:info@mizan.com, http://www.mizan.com/
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.