| |
|
APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB? Dr. Yusuf Qardhawi (3/6) Sabda Nabi saw.: "Jaminlah untukku enam perkara, niscaya aku menjamin untuk kamu surga, yaitu jujurlah bila kamu berbicara, tunaikanlah jika kamu diamanati, dan tahanlah pandanganmu ...?"9 "Janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan (berikutnya), karena engkau hanya diperbolehkan melakukan pandangan pertama itu dan tidak diperbolehkan pandangan yang kedua."10 "Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah mampu kawin, maka kawinlah, karena kawin itu lebih dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan..." (HR al-Jama'ah dari Ibnu Mas'ud) Kalau seluruh wajah itu harus tertutup dan semua wanita harus memakai cadar, maka apakah arti anjuran untuk menahan pandangan? Dan apakah yang dapat dilihat oleh mata jika wajah itu tidak terbuka yang memungkinkan menarik minat dan dapat menimbulkan fitnah? Dan apa artinya bahwa kawin itu dapat lebih menundukkan pandangan jika mata tidak pernah dapat melihat sesuatu pun dari tubuh wanita? 4. Ayat "meskipun kecantikannya menarik hatimu" Hal ini diperkuat lagi oleh firman Allah: "Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu..." (al-Ahzab: 52) Maka dari manakah laki-laki akan tertarik kecantikan wanita kalau tidak ada kemungkinan melihat wajah yang sudah disepakati merupakan pusat kecantikan wanita? 5. Hadits: "Apabila salah seorang di antara kamu melihat wanita lantas ia tertarik kepadanya." Nash-nash dan fakta-fakta menunjukkan bahwa umumnya kaum wanita pada zaman Nabi saw. jarang sekali yang memakai cadar, bahkan wajah mereka biasa terbuka. Diantaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan Abu Daud dari Jabir bahwa Nabi saw. pernah melihat seorang wanita lalu beliau tertarik kepadanya, kemudian beliau mendatangi Zainab - istrinya - yang waktu itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau melepaskan hasratnya, dan beliau bersabda: "Sesungguhnya wanita itu datang dalam gambaran setan dan pergi dalam gambaran setan. Maka apabila salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas ia tertarõk kepadanya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena yang demikian itu dapat menghalangkan hasrat yang ada dalam hatinya itu." (HR Muslim)11 Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Darimi dari ibnu Mas'ud, tetapi istri Nabi saw. yang disebutkan di situ ialah "Saudah," dan beliau bersabda: "Siapa saja yang melihat seorang wanita yang menarik hatinya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena apa yang dimiliki wanita itu ada pula pada istrinya." Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu dari hadits Abi Kabsyah al-Anmari bahwa Nabi saw. bersabda: "Seorang wanita (si Fulanah) melewati saya, maka timbullah hasrat hatiku terhadap wanita itu, lalu saya datangi salah seorang istri saya, kemudian saya campuri dia. Demikianlah hendaknya yang kamu lakukan, karena diantara tindakanmu yang ideal ialah melakukan sesuatu yang halal."12 Peristiwa yang menjadi sebab atau latar belakang timbulnya hadits ini menunjukkan bahwa Rasul yang mulia melihat seorang wanita tertentu, lantas timbul hasratnya terhadap wanita itu, sebagaimana layaknya manusia dan seorang laki-laki. Tentu saja, hal ini tidak mungkin terjadi tanpa melihat wajahnya, sehingga dapat dikenal si Fulanah atau si Anu. Dalam hal ini, pandangannya itulah yang menimbulkan hasratnya selaku manusia, sebagaimana sabda beliau: "Apabila salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas hatinya tertarik kepadanya ..." Maka menunjukkan bahwa hal ini mudah terjadi dan biasa terjadi. 6. Hadits: "Lalu beliau menaikkan pandangannya dan mengarahkannya." Diantaranya lagi ialah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa'ad bahwa seorang wanita datang kepada Nabi saw. lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya datang hendak memberikan diri saya kepadamu." Lalu Rasulullah saw. melihatnya, lantas menaikkan pandangannya dan mengarahkannya terhadapnya, kemudian menundukkan kepalanya. Ketika wanita itu tahu bahwa Rasulullah saw. tidak berminat kepadanya, maka ia pun duduk. Seandainya wanita itu tidak terbuka wajahnya, niscaya Nabi saw. tidak mungkin dapat melihat kepadanya, dan memandangnya agak lama, dengan menaikkan dan mengarahkan pandangannya (memandang ke atas dan ke bawah, dari atas sampai bawah). Wanita itu berbuat demikian bukanlah untuk keperluan pinangan. Kemudian dia menutup wajahnya setelah itu, bahkan disebutkan bahwa dia lantas duduk dalam kondisi seperti pada waktu dia datang. Maka sebagian sahabat yang hadir dan melihat wanita tersebut meminta kepada Rasulullah saw. agar menikahkannya dengan wanita itu. 7. Hadits al-Khats'amiyah dan al-Fadhl bin Abbas Imam Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang wanita dari Khats'am meminta fatwa kepada Rasulullah saw. pada waktu haji wada' dan al-Fadhl bin Abbas pada waktu itu membonceng Rasulullah saw. Kemudian Imam Nasa'i menyebutkan kelanjutan hadits itu, "Kemudian al-Fadhl melirik wanita itu, dan ternyata dia seorang wanita yang cantik. Rasulullah saw. lantas memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain." lbnu Hazm berkata, "Andaikata wajah itu aurat yang harus ditutup, sudah barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui (tidak membenarkan) wanita itu membuka wajahnya di hadapan orang banyak, dan sudah pasti beliau menyuruhnya melabuhkan pakaiannya dari atas. Dan seandainya wajahnya tertutup niscaya putra Abbas itu tidak akan tahu apakah wanita itu cantik atau jelek. Dengan demikian, secara meyakinkan benarlah apa yang kami katakan. Segala puji kepunyaan Allah dengan sebanyak-banyaknya." Imam Tirmidzi meriwayatkan cerita ini dari hadits Ali r.a. yang di situ disebutkan: "Dan Nabi saw. memalingkan wajah al-Fadhl. Lalu al-Abbas bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau putar leher anak pamanmu?' beliau menjawab, 'Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, dan aku tidak merasa aman terhadap gangguan setan kepada mereka.'" Tirmidzi berkata, "Hadits (di atas) hasan sahih."13 Al-Allamah asy-Syaukani berkata: "Dari hadits ini Ibnu Qudamah mengistimbath hukum akan bolehnya melihat wanita ketika aman dari fitnah, karena Nabi saw. tidak menyuruhnya menutup wajah. Seandainya al-Abbas tidak memahami bahwa memandang itu boleh, niscaya ia tidak akan bertanya, dan seandainya apa yang dipahami Abbas itu tidak boleh niscaya Nabi saw. tidak akan mengakuinya." Selanjutnya beliau berkata: "Hadits ini dapat dijadikan dalil untuk mengkhususkan ayat hijab yang disebutkan sebelumnya, yakni (yang artinya): "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (al-Ahzab: 53). Ayat tersebut khusus mengenai istri-istri Nabi saw., sebab kisah al-Fadhl itu terjadi pada waktu haji wada', sedangkan ayat hijab itu turun pada waktu pernikahan Zainab, pada tahun kelima hijrah,14 (yang berarti ayat ini lebih dulu turun daripada peristiwa al-Fadhl itu; penj.). 8. Hadits-hadits Lain Diantara hadits-hadits lain yang menunjukkan hal ini ialah yang diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah .... Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita, lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya bersabda: "Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu adalah umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang wanita yang baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu ia bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan (dengan suami)." Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka, melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian Bilal." Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahwa pipi wanita itu hitam kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup dengan cadar? Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan kisah shalat Id dari Ibnu Abbas, bahwa dia menghadiri shalat Id bersama Rasulullah saw., dan beliau berkhutbah sesudah shalat, kemudian beliau datang kepada kaum wanita bersama Bilal untuk menasihati dan mengingatkan mereka serta menyuruh mereka bersedekah. Ibnu Abbas berkata, "Maka saya lihat mereka mengulurkan tangan mereka ke bawah dan melemparkan (perhiasannya) ke pakaian Bilal." Ibnu Hazm berkata, "Ibnu Abbas di sisi Rasulullah saw. melihat tangan wanita-wanita itu. Maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita itu bukan aurat."15 Hadits itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dan lafal ini adalah lafal Abu Daud dari Jabir: "Bahwa Nabi saw. berdiri pada hari raya Idul Fitri, lalu beliau melakukan shalat sebelum kbutbah, kemudian beliau mengkhutbahi orang banyak. Setelah selesai kbutbah, Nabi saw. turun, lalu beliau mendatangi kaum wanita seraya mengingatkan mereka, sambil bertelekan pada tangan Bilal,' dan Bilal membentangkan pakaiannya tempat kaum wanita melemparkan sedekah." Jabir berkata "Seorang wanita melemparkan cincinnya yang besar dan tidak bermata, dan wanita-wanita lain pun melemparkann sedekahnya."16 Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Al-Fatakh ialah cincin-cincin besar yang biasa dipakai oleh kaum wanita pada jari-jari mereka seandainya mereka tidak membuka tangan-tangan mereka maka tidak mungkin mereka dapat melepas dan melemparkan cincin-cincin itu."17 Diantaranya lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a., ia berkata, "Wanita-wanita mukminah menghadiri shalat subuh bersama Nabi saw. sambil menyelimutkan selimut mereka. Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat, sedangkan mereka tidak dikenal (satu per satu) karena hari masih gelap." Mafhum riwayat ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu dapat dikenal jika hari tidak gelap, dan mereka itu hanya dapat dikenal apabila wajah mereka terbuka. Diantaranya lagi ialah riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahwa Subai'ah binti al-Harits menjadi istri Sa'ad bin Khaulah, salah seorang yang turut serta dalam Perang Badar. Sa'ad meninggal dunia pada waktu haji wada' ketika Subai'ah sedang hamil. Tidak lama setelah kematian Sa'ad itu dia pun melahirkan kandungannya. Maka ketika telah berhenti nifasnya, dia bersolek untuk mencari pinangan, lalu datanglah Abus Sanabil bin Ba'kuk kepadanya seraya bertanya "Mengapa aku lihat engkau bersolek, barangkali engkau ingin kawin? Demi Allah, sesungguhnya engkau belum boleh kawin, sehingga berlalu atasmu tenggang waktu selama empat bulan sepuluh hari." Subai'ah berkata, "Setelah dia berkata begitu kepadaku, maka aku kumpulkan pakaianku pada sore harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah saw. dan aku tanyakan hal itu kepada beliau, lalu beliau memberi fatwa kepadaku bahwa aku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan kandunganku, dan beliau menyuruhku kawin apabila sudah ada calon yang cocok untukku." Hadits ini menunjukkan bahwa Subai'ah muncul dengan bersolek di hadapan Abus Sanabil, padahal Abus Sanabil itu bukan mahramnya, bahkan ia termasuk salah seorang yang melamarnya setelah itu. Seandainya wajahnya tidak terbuka, sudah tentu Abus Sanabil tidak tahu apakah dia bersolek atau tidak. Dan diriwayatkan dari Ammar bin Yasir r.a. bahwa seorang laki-laki dilewati oleh seorang wanita dihadapannya, lalu dia memandangnya dengan tajam, kemudian dia melewati suatu dinding lantas wajahnya terbentur dinding, lantas dia datang kepada Rasulullah saw. sedangkan mukanya berdarah, lalu dia berkata, Wahai Rasulullah, saya telah berbuat begini dan begini." Lalu Rasulullah saw saw. bersabda: "Apabila Allah menghendakõ kebaikan bagi seseorang, maka disegerakannya hukuman dosanya di dunia, dan jika Dia menghendaki yang lain untuk orang itu, maka ditunda-Nya hukuman atas dosa-dosanya sehingga dibalasnya secara penuh pada hari kiamat seakan-akan dia itu himar."18 Ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu menampakkan atau terbuka wajahnya, dan diantaranya ada yang wajahnya menarik pandangan laki-laki sehingga yang bersangkutan terbentur dinding karena memandangnya dan berdarah mukanya. 9. Para Sahabat Memandang Aneh Memakai Cadar Diperoleh keterangan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa apabila pada suatu waktu ada wanita yang memakai cadar, maka hal itu dianggap aneh, menarik perhatian, dan menimbulkan pertanyaan, Abu Daud meriwayatkan dari Qais bin Syamas r.a., ia berkata, "Seorang wanita yang bernama Ummu Khalad datang kepada Nabi saw. sambil memakai cadar (penutup muka) untuk menanyakan anaknya yang terbunuh. Lalu sebagian sahabat Nabi berkata kepadanya, 'Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil memakai cadar?' Lalu dia menjawab, 'Jika aku telah kehilangan anakku, maka aku tidak kehilangan perasaan maluku ..."19 Jika cadar itu sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, maka tidak perlulah si perawi mengatakan bahwa dia datang dengan "memakai cadar," dan tidak ada artinya pula keheranan para sahabat dengan mengatakan, "Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil memakai cadar?" Bahkan dari jawaban wanita itu menunjukkan bahwa perasaan malunyalah yang mendorongnya memakai cadar, bukan karena perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan seandainya cadar itu diwajibkan oleh syara', maka tidak mungkin ia menjawab dengan jawaban seperti itu, bahkan tidak mungkin timbul pertanyaan dari para sahabat dengan pertanyaan seperti itu, karena seorang muslim tidak akan menanyakan, "Mengapa dia melakukan shalat? Mengapa dia mengeluarkan zakat?" Dan telah ditetapkan dalam kaidah, "Apa yang sudah ada dasarnya tidak perlu ditanyakan 'illat-nya." (Bagian 1/6, 2/6, 3/6, 4/6, 5/6, 6/6) ----------------------- Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |