| |
|
APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB? Dr. Yusuf Qardhawi (5/6) Kaum muslim pada zaman dulu telah bersikap sangat ketat dengan alasan "membendung pintu fitnah" (saddudz dzari'fah ila al-fitnah), lalu mereka mengharamkan wanita pergi ke masjid. Dengan demikian, mereka telah menghalangi kaum wanita untuk mendapatkan kebaikan yang banyak, sedangkan ayah atau suaminya belum tentu dapat menggantikan apa-apa yang seharusnya mereka dapatkan dari masjid, seperti ilmu yang bermanfaat atau nasihat-nasihat yang dapat menyadarkannya. Sebagai akibatnya, banyak wanita muslimah yang hanya hidup bersenang-senang dengan tidak pernah sekali pun ruku kepada Allah. Padahal Rasulullah saw. dengan tegas mengatakan: "Janganlah kamu larang hamba-hamba perempuan Allah datang ke masjid-masjid Allah." (HR Muslim) Secara berkala terjadilah diskusi-diskusi di kalangan kaum muslim seputar masalah kegiatan belajar kaum wanita dan kepergiannya ke sekolah atau kampus. Yang menjadi hujjah golongan yang melarangnya ialah saddudz dzari'ah. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa wanita yang berpendidikan lebih mampu membuat keterampilan dan berbagai kesibukan tulis-menulis atau surat-menyurat. Akhirnya, diskusi itu berkesudahan dengan keputusan bahwa kaum wanita boleh mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya, baik mengenai ilmu agama maupun ilmu dunia, dan kondisi inilah yang dominan di semua negara Islam tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, kecuali hal-hal yang menyimpang dari adab dan hukum Islam. Cukuplah bagi kita hukum-hukum dan adab-adab yang telah ditetapkan oleh syara' untuk menutup pintu kerusakan dan fitnah. Seperti kewajiban mengenakan pakaian menurut aturan syara', tidak boleh bertabarruj (membuka aurat), haramnya berduaan antara laki-laki dan perempuan, wajib bersikap serius dan sopan dalam berbicara, berjalan, dan beraktivitas, serta wajib menahan pandangan terhadap lawan jenis. Kiranya hal ini sudah cukup bagi kita sehingga tidak perlu lagi kita memikirkan larangan-larangan lain dari kita sendiri. H. Diantara dalil mereka lagi: 'urf (kebiasaan) yang berlaku di kalangan kaum muslim selama beberapa abad, bahwa kaum wanita menutup wajahnya dengan selubung muka, cadar, dan sebagainya. Sebagian ulama berkata: "'Urf didalam syara' mempunyai penilaian, karena itu diatasnya hukum ditegakkan." Selain itu, Imam Nawawi dan lainnya telah meriwayatkan dari Imam al-Haramain - dalam berdalil tentang tidak bolehnya wanita memandang laki-laki - bahwa kaum muslim telah sepakat melarang wanita keluar rumah dengan wajah terbuka. Akan tetapi, saya tolak alasan dan anggapan ini dengan beberapa alasan sebagai berikut: 1.Bahwa 'urf ini bertentangan dengan 'urf yang berlaku pada zaman Nabi, zaman sahabat, dan pada zaman generasi terbaik, yaitu generasi yang mengikuti jejak langkah para sahabat (yakni tabi'in). 2.Bahwa 'urf itu bukan 'urf umum, bahkan 'urf itu berlaku di suatu negara tetapi tidak berlaku di desa-desa dan kampung-kampung, sebagaimana yang sudah dimaklumi. 3.Bahwa perbuatan Nabi al-Ma'shum saw. tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan pensyariatan sebagaimana ditetapkan dalam ushul, maka bagaimana lagi dengan perbuatan orang lain? Karena itu, 'urf atau kebiasaan ini - meskipun kita terima sebagai 'urf umum sekalipun - tidak lebih hanya menunjukkan bahwa mereka menganggap bagus memakai cadar itu, sebagai sikap kehati-hatian mereka, dan tidak menunjukkan bahwa mereka mewajibkan cadar sebagai ketentuan agama. 4.'Urf ini bertentangan dengan 'urf atau kebiasaan yang terjadi sekarang, sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman, tuntutan kebutuhan hidup, tata kehidupan masyarakat, dan perubahan kondisi kaum wanita dari kebodohan kepada keilmuan (berpengetahuan), dari kebekuan kepada pergerakan, dan dari cuma duduk di dalam rumah menuju ke aktivitas dalam berbagai lapangan yang bermacam-macam. Sedangkan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf atau kebiasaan di suatu tempat dan pada suatu waktu, ia akan berubah sesuai dengan perubahannya. SYUBHAT TERAKHIR Akhirnya saya kemukakan juga di sini suatu syubhat yang ditimbulkan oleh sebagian orang yang peduli terhadap agama yang ingin mempersempit ruang kebebasan wanita, yang ringkasnya sebagai berikut: "'Kami menerima argumentasi yang Anda kemukakan tentang disyariatkan (diperbolehkan)-nya wanita membuka wajahnya, sebagaimana kami juga menerima bahwa kaum wanita pada periode pertama - masa Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin - tidak memakai cadar melainkan pada keadaan tertentu saja yang sedikit jumlahnya. Tetapi kita harus mengerti bahwa zaman itu merupakan zaman yang ideal, akhlaknya bersih, rohaniahnya tinggi, wanita aman membuka wajahnya tanpa ada seorang pun yang mengganggunya. Berbeda dengan zaman kita dimana kerusakan sudah merajalela, dekadensi moral terjadi dimana-mana, fitnah menimpa manusia dimana-mana, maka tidak ada yang lebih utama bagi wanita daripada menutup wajahnya, sehingga tidak menjadi mangsa serigala-serigala lapar yang senantiasa mengintainya di setiap penjuru." Terhadap syubhat ini dapat saya kemukakan jawaban sebagai berikut: PERTAMA: bahwa meskipun periode awal merupakan periode yang ideal, yang tidak ada tandingannya dalam hal kesucian akhlak dan ketinggian rohaninya, tetapi mereka masih termasuk periode manusia juga, yang didalamnya ada kelemahan, hawa nafsu, dan kesalahan. Karena itu di antara mereka ada orang yang berbuat zina, ada yang dijatuhi hukuman had, ada yang melakukan tindakan-tindakan yang masih dibawah zina, ada orang-orang yang durhaka, dan ada pula orang-orang gila dan sinting yang suka mengganggu kaum wanita dengan melakukan ulah-ulah yang menyimpang. Dan telah turun ayat (dalam surat al-Ahzab) yang menyuruh wanita-wanita beriman mengulurkan jilbab ke tubuh mereka agar mereka dapat dikenal sebagai wanita-wanita merdeka yang sopan dan menjaga diri hingga tidak diganggu: "... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (Al-Ahzab: 59) Selain itu, telah turun pula beberapa ayat dalam surat al-Ahzab yang mengancam kaum durhaka dan "sinting" itu jika mereka tidak mau meninggalkan perbuatan mereka yang hina itu. Allah berfirman: "Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, d n orang- orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dialam keadaan terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya." (al-Ahzab: 60-61) KEDUA: bahwa dalil-dalil syariah - apabila telah sah dan jelas-bersifat umum dan abadi. Ia bukan dalil untuk satu atau dua periode saja, kemudian berhenti dan tidak dijadikan dalil lagi. Sebab, jika demikian, maka syariat itu hanya bersifat temporal, tidak abadi, dan hal ini bertentangan dengan predikatnya sebagai syariat terakhir. KETIGA: kalau kita buka pintu ini, maka kita bisa saja menasakh (menghapus) syariat dengan pikiran kita, orang-orang yang ketat dapat saja menasakh hukum-hukum yang mudah dan ringan dengan alasan wara' dan hati-hati, dan orang-orang yang longgar dapat menasakh hukum-hukum yang telah baku dengan alasan perkembangan zaman dan sebagainya. Yang benar, bahwa syariat adalah yang menghukumi bukan yang dihukumi, yang diikuti bukan yang mengikuti, dan kita wajib tunduk kepada hukum syariat, bukan hukum syariat yang tunduk kepada peraturan kita: "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya ..." (al-Mu'minun: 71 ) BEBERAPA PERNYATAAN YANG MENGUATKAN PENDAPAT JUMHUR Saya percaya bahwa persoalan ini telah begitu jelas setelah saya kemukakan argumentasi kedua belah pihak, dan semakin jelas bagi kita bahwa pendapat jumhurlah yang lebih rajih (kuat) dalilnya, lebih mantap pendapatnya, dan lebih lempang jalannya. Namun demikian, perlu kiranya saya tambahkan disini beberapa pernyataan yang menambah kuatnya pendapat jumhur, dan dapat melegakan hati setiap muslimah yang taat dan mengikuti pendapat ini tanpa merasa kesulitan, insya Allah. PERTAMA: Tidak Ada Penugasan dan Pengharaman Kecuali dengan Nash yang Sahih dan Sharih Bahwa pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggungan dan taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan nash yang pasti. Karena itu, masalah mewajibkan dan mengharamkan dalam ad-Din itu merupakan suatu urusan yang serius, bukan urusan sembarangan, sehingga kita tidak mewajibkan kepada manusia apa yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau kita mengharamkan kepada mereka apa yang dihalalkan oleh Allah, atau kita membuat syariat atau peraturan dalam ad-Din yang tidak diizinkan oleh Allah. Karena itu, para imam salaf dahulu sangat berhati-hati dalam mengucapkan kata haram kecuali terhadap sesuatu yang sudah diketahui pengharamannya secara pasti sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Taimiyah dan saya sebutkan dalam kitab saya al-Halal wal-Haram fil-Islam. Disamping itu, pada asalnya segala sesuatu dan segala tindakan yang merupakan adat kebiasaan adalah mubah. Maka apabila tidak didapati nash yang shahih tsubut (periwayatannya) dan sharih (jelas) petunjuknya yang menunjukkan keharamannya, tetaplah hal itu pada asal kebolehannya. Dan orang yang memperbolehkannya tidak dituntut dalil, karena apa yang ada menurut hukum asal tidak perlu ditanyakan 'illat-nya, justru yang dituntut agar mengemukakan dalil ialah orang yang mengharamkan.26 Sedangkan mengenai masalah membuka wajah dan tangan tidak saya jumpai nash yang sahih dan sharih yang menunjukkan keharamannya. Andaikata Allah hendak mengharamkannya niscaya sudah diharamkan-Nya dengan nash yang jelas dan qath'i yang tidak meragukan, karena Dia telah berfirman: "... sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya..." (al-An'am: 119) Sedangkan dari apa-apa yang telah dijelaskan-Nya tidak kita dapati masalah haramnya membuka wajah dan telapak tangan. Maka tidak perlulah kita mempersukar apa yang telah dimudahkan Allah, sehingga kita tidak tergolong ke dalam kaum yang disinyalir oleh Allah karena mengharamkan makanan yang halal: "... Katakanlah: 'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?'" (Yunus: 59) KEDUA:Perubahan Fatwa karena Perubahan Zaman Diantara ketetapan yang tidak diperselisihkan lagi ialah bahwa fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, adat kebiasaan, serta situasi dan kondisi. Saya percaya bahwa zaman kita yang telah memberikan sesuatu kepada kaum wanita ini telah menjadikan kita menerima pendapat-pendapat yang mudah, yang menguatkan posisi dan kepribadian kaum wanita. Sungguh, musuh-musuh Islam baik dari kalangan misionaris, Marxis, orientalis, atau lainnya, telah mengekspos kondisi buruk kaum di beberapa negara Islam, dan menyandarkannya kepada Islam itu sendiri. Mereka juga berusaha menjelek-jelekkan hukum-hukum syariat Islam beserta ajarannya mengenai wanita, dan digambarkannya dengan gambaran yang tidak cocok dengan hakikat yang dibawa oleh Islam. Karena itu saya melihat bahwa keunggulan pendapat dari sebagian orang pada zaman kita sekarang ialah pendapat yang menyadarkan kaum wanita dan peran serta kaum wanita serta kemampuannya menunaikan hak-hak fitrahnya dan hak-hak syar'iyahnya, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam kitab saya al-Ijtihad fi asy-Syari'ati Islamiyyah. (Bagian 1/6, 2/6, 3/6, 4/6, 5/6, 6/6) ----------------------- Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISBN 979-561-276-X |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |