|
|
Mari kita lihat contoh-contoh tentang bagaimana para sahabat yang mulia berbicara dengan nash-nash Sunnah dan menolak pendapat orang yang berbicara dengan pandangannya sendiri. 1. Aisyah Menolak Pandangan Umar dan Ibnu UmarMuhammad ibnul al-Muntasyir berkata: "Aku bertanya kepada Aisyah tentang apa yang pernah diucapkan oleh Ibnu Umar (sebagai berikut): 'Saya tidak suka kalau ingin berihram dan pada hari-hari memakai wewangian.' Dalam riwayat Muslim disebutkan: 'Dicat dengan lumpur lebih aku sukai daripada melakukan hal itu.' Aisyah menjawab: 'Aku pernah memberi Rasulullah saw. wewangian. Kemudian beliau mengunjungi para istri beliau, dan pada paginya memakai ihram (dalam keadaan pakai wewangian).'" (HR Bukhari dan Muslim)51 Dalam kitab Fathul Bari disebutkan bahwa Said bin Manshur meriwayatkan melalui jalur Abdullah bin Abdullah bin Umar bahwa Aisyah pernah mengatakan tidak mengapa jika dia menyentuh wewangian sewaktu mau melakukan ihram. Said berkata: "Lalu aku panggil seorang lelaki. Ketika itu aku sedang duduk di samping Ibnu Umar. Lelaki itu aku utus kepada Aisyah, padahal aku sudah tahu ucapan Aisyah. Cuma saja aku ingin hal itu juga didengar oleh bapakku. Lantas utusanku datang. Dia berkata: 'Aisyah mengatakan tidak mengapa memakai wewangian sewaktu mau berihram. Aku akan buang pendapatmu.' Said berkata bahwa Ibnu Umar terdiam mendengarkan ucapan laki-laki itu. Begitu pula halnya Salim bin Abdullah bin Umar. Dia menentang bapak dan kakeknya dalam masalah ini karena hadits Aisyah. Ibnu Uyainah berkata bahwa Umar bin Dinar menceritakan Salim kepada kami bahwa dia nmenyebutkan perkataan Umar mengenai wewangian. Kemudian dia berkata: 'Aisyah berkata (lantas dia menyebutkan hadits tadi).' Salim berkata: 'Sunnah Rasulullah saw. lebih berhak untuk diikuti.'"52 Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Dari hadits tersebut dapat diambil pelajaran bahwa orang yang masih bimbang hendaklah kembali kepada Sunnah. Dengan adanya sunnah, kita tidak lagi memerlukan pendapat tokoh-tokoh Di dalam sunnah terdapat sesuatu yang memuaskan."53 Di sini dapat pembaca perhatikan tokoh-tokohnya, yaitu Umar dan Abdullah bin Umar. Keduanya sudah dikenal dengan ilmu dan kelebihannya. Namun --Maha Suci Allah-- tidak ada 'ishmah (jaminan terbebas dari kesalahan) bagi seseorang selain Rasulullah saw. 2. Aisyah dan Ummu Salamah Menolak Pandangan Abu Hurairah dan al-Fadhal bin AbbasAbu Bakar bin Abdurrahman ibnul al-Harits berkata: 'Aku pernah mendengar Abu Hurairah r.a. berkata: "Barangsiapa yang pagi-pagi masih dalam keadaan junub, maka sebaiknya dia tidak berpuasa." Lalu ucapan Abu Hurairah itu aku sampaikan kepada Abdurrahman ibnul Harits. Ternyata Abdurrahman tidak sependapat. Aku dan Abdurrahman berangkat menemui Aisyah dan Ummu Salamah r.a.. Kemudian Abdurrahman menanyakan masalah tersebut kepada kedua wanita itu. Kedua wanita itu berkata: 'Nabi saw. pernah bangun pagi hari dalam keadaan junub bukan karena bermimpi, lalu beliau berpuasa.'Akhirnya kami kembali menemui Abu Hurairah (dan menyampaikan kata-kata Aisyah dan Ummu Salamah itu).' Abu Hurairah bertanya: 'Apakah kedua wanita itu yang mengatakannya kepadamu?' Abdurrahman menjawab: 'Ya.' Abu Hurairah lalu berkata: 'Kedua wanita itu lebih tahu (daripada aku).' Kemudian Abu Hurairah mengatakan bahwa apa yang dia katakan itu berdasarkan pendapat Fadhal ibnul Abbas. Abu Hurairah berkata: 'Hal itu aku dengar dari Fadhal dan aku tidak pernah mendengarnya dari Rasulullah saw.'Abdurrahman berkata: 'Akhirnya Abu Hurairah menarik kembali apa yang pernah diucapkannya itu.'" (HR Bukhari dan Muslim)54 3. Aisyah Menentang Pandangan Abdullah bin AmruUbaid bin Umar berkata: "Aisyah pernah mendengar bahwa Abdullah bin Amru memerintahkan orang-orang perempuan agar mengurai jalinan rambutnya apabila mereka mandi. Aisyah berkata: 'Aneh sekali Ibnu Amru ini. Dia menyuruh kaum wanita supaya menguraikan jalinan rambutnya ketika mandi. Mengapa tidak menyuruh mereka mencukur rambutnya saja sekalian? Aku sendiri pernah mandi bersama Rasulullah saw. dari satu wadah dan aku tidak menyiram kepalaku lebih dari tiga kali siraman.'" (HR Muslim)55 4. Aisyah Menentang Pandangan Ibnu AbbasAisyah berkata bahwa Ziyad bin Abi Sufyan menulis sepucuk surat kepada Aisyah r.a. (yang isinya) bahwa Abdullah bin Abbas berkata: "Barangsiapa yang membawa hewan sembelihan maka haram atasnya apa yang diharamkan atas orang yang melaksanakan haji hingga dia mengurbankan/menyembelih hewannya tersebut." Lalu Aisyah berkata: "Tidak seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Aku pernah memintal kalung hewan sembelihan Rasulullah saw. dengan tanganku. Kemudian Rasulullah saw. sendiri yang mengalungi hewannya dengan tangannya. Kemudian beliau mengirimkannya bersama bapakku. Tidak pernah diharamkan atas Rasulullah saw. sesuatu yang dihalalkan Allah hingga beliau menyembelih hewan sembelihannya." (HR Bukhari)56 5. Ibnu Umar Menentang Pandangan Ibnu AbbasDari Wabarah, dia berkata: "Aku pernah duduk di samping Ibnu Umar. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dan berkata: 'Bolehkah aku melakukan thawaf di Baitullah sebelum mendatangi tempat wuquf (Arafah)?' Ibnu Umar menjawab: 'Boleh.' Laki-laki itu berkata: 'Tetapi Ibnu Abbas pernah mengatakan: "Janganlah kamu thawaf di Baitullah sebelum kamu mendatangi tempat wuquf!" Ibnu Umar lalu menjelaskan: 'Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah menunaikan ibadah haji, lalu melakukan thawaf di Baitullah sebelum beliau mendatangi tempat wuquf. Apakah dengan perkataan Rasulullah saw. kamu lebih berhak berpegang ataukah dengan perkataan Ibnu Abbas jika kamu benar?' Menurut satu riwayat: 'Sunnatullah dan Sunnah Rasul-Nya lebih patut kamu ikuti daripada sunnah si fulan jika kamu memang benar.'" (HR Muslim)57 6. Ibnu Abbas Menentang Pendapat Zaid bin TsabitDari Ikrimah dikatakan bahwa warga Madinah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai seorang wanita yang sudah selesai mengerjakan thawaf ifadhah, kemudian dia haid. Ibnu Abbas berkata pada mereka: "Pergilah dia (ke Mekah bersama orang-orang)." Mereka berkata: "Kami tidak mengambil pendapatmu dan membiarkan perkataan Zaid." Ibnu Abbas berkata: "Apabila kalian sampai di Madinah, tanyakanlah masalah ini." Tatkala mereka sampai di Madinah, lantas mereka menanyakannya. Di antara orang yang mereka tanya adalah Ummu Sulaim. Ummu Sulaim menjawabnya dengan hadits Shafiyyah bahwasanya Shafiyyah telah ifadhah dan melakukan thawaf di Baitullah, kemudian dia haid. Lalu Rasulullah saw. berkata: "Berangkatlah kamu bersama yang lainnya!" (HR Bukhari dan Muslim)58 7. Imran bin Hushain Menentang Pendapat Umar ibnul KhattabDari Imran bin Hushain, dia berkata: "Setelah ayat Al-Qur'an tentang mut'ah turun (yaitu mut'ah dalam ibadah haji), Rasulullah saw. memerintahkannya kepada kami. Setelah itu, tidak ada satu ayat pun yang turun untuk menasakh ayat mut'ah haji dan Rasulullah saw. juga tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat. Tetapi ternyata sesudah itu orang yang berkomentar berdasarkan pendapatnya sendiri." (HR Bukhari dan Muslim)59 8. Ali bin Abi Thalib Menentang Pendapat Utsman bin AffanDari Sa'id ibnul Musayyab, dia berkata bahwa Ali dan Utsman berbeda pendapat mengenai tamattu'. Pada saat itu keduanya sedang berada di Asfan. Ali berkata kepada Utsman: "Tidak ada yang kamu inginkan selain melarang suatu perkara yang Nabi saw. sendiri melakukannya. Melihat Utsman tetap pada pendapatnya, akhirnya Ali berihram untuk haji dan umrah sekaligus." Dalam satu riwayat dikatakan bahwa Ali berkata: "Aku tidak akan pernah meninggalkan sunnah Nabi saw. karena perkataan seseorang." (HR Bukhari dan Muslim)60 9. Ibnu Abbas Menentang Pendapat Ibnuz ZubairDari Muslim al-Qurri, dia berkata: "Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a. tentang haji tamattu. Ternyata dia memperbolehkannya. Sementara Ibnuz Zubair pernah melarangnya. Ibnu Abbas berkata: 'Ini, ibunya Ibnuz Zubair sendiri yang bercerita bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. memperbolehkannya. Karena itu, temuilah ibu Ibnuz Zubair dan tanyakanlah kepadanya masalah ini.' Lalu aku pergi menemui ibu Ibnu Zubair. Ternyata dia adalah seorang wanita yang berbadan gemuk dan matanya buta. Ibu Ibnuz Zubair mengatakan bahwa Rasulullah saw. memang membolehkannya." (HR Muslim)61 Ibnu Abdilbarr meriwayatkan dalam kitab Jami' Bayan il-'Ilmi, dari Abus Samh, dia berkata: "Akan datang suatu zaman ketika seseorang mempergemuk hewan tunggangannya. Kemudian dia melakukan perjalanan dengan menunggangi hewan tersebut, sehingga hewan itu kurus karena berjalan dalam upaya mendapatkan fatwa yang berdasarkan Sunnah. Namun tidak dia dapatkan selain orang yang berfatwa berdasarkan dugaan/perkiraannya belaka."62 Yang mengundang perhatian kita mengenai ketinggian dan keutamaan syariat Allah adalah bahwa semua nash yang telah disebutkan sebelumnya --yang sekaligus menjadi jawaban terhadap pendapat para tokoh tersebut-- mengarah pada memberi kemudahan bagi orang-orang mukmin dan menolak sikap mempersulit. G. UCAPAN TERIMA KASIHSejak penyusunan buku ini dimulai, saya selalu berusaha memperlihatkan dahulu apa yang telah selesai dikerjakan satu persatu kepada teman-teman yang saya anggap alim dengan tujuan menimba dan memanfaatkan ilmu mereka. Alhamdulillah mereka telah berkenan memberikan catatan-catatan yang sangat berharga sehingga membantu saya dalam menyaring dan merapikan apa yang sudah selesai ditulis. Di antara teman-teman tersebut adalah Dr. Yusuf Qardhawi yang telah bersedia membaca beberapa pasal buku ini setiap selesai saya kerjakan. Saya merasa bahagia sekali dengan adanya catatan-catatan yang sangat bermanfaat dari dia. Dr. Qardhawi pun berkenan memberikan pengantar pada buku ini untuk segenap pembaca. Dalam kata pengantarnya dia menyebutkan beberapa contoh krisis yang sedang dihadapi oleh wanita muslimah modern. Dengan taufiq Allah semoga tulisan ini seiring dan sejalan dengan harapan orang-orang yang berprasangka baik terhadap saya. Selain itu, teman-teman yang ikut menelaah sebagian pasal-pasal buku ini banyak sekali dan berasal dari berbagai bagian negara Arab. Perlu penulis sebutkan di sini diantaranya adalah:
Mereka itu telah memberikan sumbangan yang sangat mulia dan dapat membantu meluruskan beberapa pokok pikiran dan memperbaiki bahasa penyampaiannya. Tak ada yang dapat saya ucapkan kepada mereka selain memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas segala jasa baik mereka. Adapun mitra setia saya sampai buku ini rampung adalah istri tercinta yang menjadi pendamping hidup, Ibu Malikah Zainuddin. Bantuannya lebih dari sekadar menciptakan suasana kondusif demi lancarnya penelitian dan penyusunan buku ini, bahkan tidak jarang dia mengalahkan perasaannya guna mendampingi saya melakukan perjalanan panjang yang lama dan jauh dari rumah dan anak-anak, agar pikiran saya betul-betul tenang dan terkonsentrasi untuk menulis tanpa ada suatu hal apa pun yang mengganggu. Di samping itu dia ikut membantu dalam mengumpulkan riwayat-riwayat Bukhari tentang satu hadits atau dalam mencari arti kalimat-kalimat yang aneh. Lebih dari itu semua, dia ikut merapikan konsep-konsep yang ada, bahkan seringkali menyempurnakan hal-hal yang masih kurang, seperti membuat catatan kaki dan yang seumpamanya. Ditambah lagi dengan masukan-masukan pendapat yang sangat berguna dalam dialog antara kami berdua mengenai beberapa masalah yang ada kaitannya dengan tulisan ini. Semoga Allah memeliharanya, memberinya kesehatan dan kesejahteraan, serta membalasi segala kebaikannya terhadap saya dan terhadap kaum muslimin dengan balasan yang setimpal. H. DOA DAN PERMOHONAN MAAFMengenai doa, saya mulai dengan doa nabiyullah Musa a.s. "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku!" (Thaha: 25-28) Saya iringi dengan doa Nabi Muhammad saw.: "Ya Allah Yang Maha Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui sesuatu yang gaib dan nyata, Engkaulah yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang mereka perselisihkan. Bimbinglah aku pada kebenaran dari apa yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus." (HR Muslim)63 Permohonan maaf saya adalah permohonan maaf orang yang lemah karena kelemahannya terhadap suatu tugas besar dan pekerjaan yang sangat peka. Buku ini secara umum merupakan suatu usaha yang mempunyai dua cabang. Pertama, usaha untuk mengumpulkan sebanyak mungkin nash dari Kitab dan Sunnah. Kedua, usaha untuk mempelajari dan meneliti maksud dari nash-nash tersebut agar pengelompokannya berdasarkan masalah ini. Kedua usaha itu perlu sekali mendapatkan pemantauan dari para peneliti, mengingat semua ini masih bersifat usaha perseorangan yang bisa jadi hanya menyentuh satu sisi dari suatu topik yang sangat besar dan penting, serta boleh jadi menafsirkan satu aspek saja dari berbagai aspeknya, disamping boleh jadi terjadi kesalahan di sana-sini. Begitu pula pandangan dan pengamatan saya mengenai maksud dari sebagian nash-nash tersebut merupakan bagian yang sangat kecil jika dibandingkan dengan maksud-maksud dan petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh nash-nash tersebut. Tidak ada jalan untuk menggapai semua aspek dan penafsirannya serta tidak ada cara untuk menyerap petunjuknya yang nyata, di samping mengetahui yang benar dalam memahami nash-nash tersebut secara keseluruhan. Tidak ada jalan untuk semua itu tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh, serius, dan berkesinambungan yang dilakukan oleh sederetan panjang peneliti, baik laki-laki maupun wanita. Hendaklah mereka curahkan segala ilmu dan kemampuan akal pikiran yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka untuk kepentingan ini. Setelah bergelut sekian lama dengan nash-nash petunjuk Allah, sadarlah saya betapa afdalnya kalau intan permata Ilahi nan amat berharga ini ditangani oleh tangan-tangan terampil yang mampu menampilkan kecantikan dan keindahannya dalam satu jalinan yang menawan. Kepada Allah jua saya mengadukan lemahnya daya, kurangnya siasat, dan tumpulnya mata penaku. Penulis bermohon semoga Allah Yang Maha Suci menutupi segala kekurangan saya, memaafkan semua kelalaian saya, dan menyiapkan orang-orang yang memiliki hati yang beriman, akal yang cemerlang dan mata pena yang tajam, baik dari kalangan laki-laki maupun wanita, supaya mereka mulai berbuat dan menyampaikan Kalimatullah kepada seluruh umat manusia. I. HIMBAUAN KEPADA PEMBACAAllah adalah pihak yang mengeluarkan perintah dan membuat syariat, Rasul-Nya adalah pihak yang menyampaikan, serta memberi keterangan, sementara saya tidak lebih dari sekadar pihak pengutip; perintah-perintah Allah SWT dan keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Seandainya saya mempunyai pendapat mengenai pengelompokan suatu nash atau mengomentarinya, maka pembaca sendiri --yang sudah mengetahui dengan jelas perintah Allah dan keterangan Rasulullah saw.-- berhak menerima atau menolaknya berdasarkan ilmu dan keyakinan yang pembaca miliki. Bahkan pembaca berhak mengesampingkan setiap kata yang saya ucapkan, untuk kemudian mengikuti apa yang dikatakan oleh nash itu sendiri. Dengan izin dan inayah Allah, nash-nash tersebut akan menjadi cahaya penerang bagi jalan orang-orang yang ingin mendapatkan kebenaran dan petunjuk. Demikian saja, dan saya sangat mengharapkan saran, kritik, dan catatan-catatan dan para pembaca yang budiman. Abdul Halim Muhammad Ahmad Abu Syuqqah |
|
Kebebasan Wanita (Tahrirul-Ma'rah fi 'Ashrir-Risalah) Abdul Halim Abu Syuqqah Penerjemah: Drs. As'ad Yasin Juni 1998 Penerbit Gema Insani Press Jln. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388 ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |