|
Mengenai Peristiwa Ambon |
|
BAB V ANALISIS A. Teori Kriminal Murni Teori ini pertama kali disampaikan secara resmi oleh Kapolri Rusmanhadi, dengan menyebutkan kronologi peristiwa dimulai dengan adanya pemerasan yang dilakukan oleh seorang warga Batu Merah Bawah (muslim) kepada seorang pengemudi bernama Jopi (Nasrani) yang berasal dari Batu Merah Atas. Karena Jopi menolak permintaan pemeras, terjadi keributan diantara keduanya. Jopi melapor kepada kelompoknya, warga Batu Merah Atas, sedangkan pemerasnya memanggil warga Batu Merah Bawah. Perkelahian ini akhirnya meluas. Analisis: 1. Dari segi pelaku pemerasan dan korban, penuturan Kapolri tersebut tidak sesuai dengan versi yang berkembang di masyarakat Batu Merah Bawah (lihat kronologi Ied Berdarah). Penjelasan resmi Kapolri yang dipublikasikan secara luas melalui media massa tidak dapat diterima oleh warga Batu Merah Bawah (Muslim), karena dianggap Kapolri tidak melakukan cek dan ricek di lokasi. Hal ini juga mengakibatkan warga Batu Merah Bawah enggan melakukan perdamaian, karena merasa disudutkan. 2. Luasnya cakupan perkelahian massal di seluruh Kodya Ambon dengan melibatkan massa Islam di satu pihak melawan massa Kristen di pihak lain jelas bukan masalah kriminal murni. B. Teori SARA Teori ini dilansir banyak pihak, termasuk Pangab Jenderal Wiranto, yang jelas menyatakan adanya perkelahian massal massa Islam melawan massa Kristen. Teori SARA yang lain dikemukakan oleh Gubernur Maluku, bahwa pertentangan yang terjadi tersebut dapat diselesaikan dengan budaya Pela Gandong. Analisis: 1. Unsur Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan jelas sangat signifikan. Suku yang menjadi sasaran utama adalah suku Bugis dan Buton, sementara pelaku penyerang dan pembakar bangunan adalah suku Ambon dan suku Key (Maluku Tenggara). Kelompok agama yang saling menyerang adalah Islam dan Kristen (lihat kronologi). Golongan yang diserang adalah para pendatang, sedangkan yang menyerang adalah penduduk asli. Unsur kecemburuan sosial melihat keberhasilan usaha para pendatang yang direpresentasikan oleh suku Bugis tampaknya menjadi salah satu faktor pemicu SARA. 2. Solusi yang ditawarkan oleh Gubernur dan tokoh-tokoh Maluku lainnya untuk kembali kepada budaya Pela-Gandong adalah solusi yang naif, karena pelaku dan korban bukan hanya warga asli Ambon, yang tidak mengenal dan tidak terikat budaya Ambon. Dikhawatirkan, solusi perdamaian ala Pela-Gandong justeru akan memecah belah persatuan kaum Muslimin, karena suku asli Ambon yang beragama Islam dicegah untuk membela kaum Muslimin pendatang serta dicegah untuk memerangi kaum Nashara dari kalangan suku Ambon asli. (lihat kondisi demografis). 3. Potensi konflik yang dimiliki masyarakat Maluku khususnya Ambon dengan komposisi agama Islam-Kristen yang cukup berimbang sangat terasa belakangan ini. Isu putra daerah untuk jabatan penting di wilayah Pemerintahan Daerah Tingkat I Maluku dipahami sebagai permintaan untuk mendudukkan orang Nashara dalam jabatan penting tersebut, termasuk aksi-aksi demo yang mengarah ke SARA.(tuntutan untuk jabatan Kakanwil P dan K Propinsi Maluku). Ceramah-ceramah gereja dengan menggunakan speaker ke luar ruangan sering menggambarkan kondisi umat Kristiani yang sedang tertindas, khususnya dikaitkan dengan kasus Ketapang, pembakaran sejumlah gereja di Pulau Jawa dan lain-lain. Dicabutnya asas tunggal dalam kehidupan sosial kemasyarakatan seperti dihasilkan dalam Sidang Istimewa MPR 1998 dianggap sebagai kekalahan dan ancaman bagi ummat Kristiani(sesuai tuntutan aksi demo mahasiswa Unpati yang meminta agar diberlakukan kembali asas tunggal). Kondisi obyektif sebagian ummat Kristiani di lapisan birokrat, mahasisiwa, pemuda-pemudi gereja dapat dikatakan sedang meradang. Gubernur sendiri tampaknya sudah merasakan tidak nyamannya didampingi staf-staf yang Nashara, sehingga mulai mendudukkan pejabat Muslim pada pos-pos strategis, seperti Ketua Bappeda Tk I dan Sekwilda. Meskipun demikian, untuk memulai suatu tindakan anarki dalam skala luas tampaknya kecil kemungkinannya digulirkan dari keputusan gerejani secara kolektif. Kemungkinan yang terjadi adalah adanya beberapa gereja ultra fanatik yang memiliki ideologi dan teologi tertentu, yang menyebarkan ide konfrontasi total Islam-Kristen. Pihak Pemda Tk. I (Gubernur) beserta jajaran Kanwil Depag tampaknya sudah pernah mendapatkan sinyal dini akan munculnya kerusuhan tersebut, akan tetapi kesulitan untuk mengkomunikasikannya dengan kalangan ummat Islam.(lihat peristiwa penting sebelum kerusuhan) 4. Keberadaan para preman Ambon yang baru datang dari Jakarta cukup besar peranannya dalam operasi lapangan. Dari Posko dapat disaksikan langsung dua orang berkendaraan sepeda motor dengan membawa pedang panjang(ciri-ciri fisik seperti preman pada umumnya) sambil meneriakkan suatu daerah tertentu yang sudah terbakar. Provokator ini sengaja membangkitkan sentimen agama dengan menyebarkan terbakarnya tempat-tempat ibadah. Meskipun demikian, tampaknya para provokator tersebut bukan digerakkan oleh gereja tertentu.(lihat kronologi) C. Teori Politik Kedatangan para preman Ambon disebut-sebut didanai dan di koordinir oleh orang-orang tertentu. Teori ini menyebutkan adanya kepentingan untuk mempertahankan status quo bagi pejabat atau mantan pejabat penting. Teori politik yang lebih luas tersebar adalah adanya peran provokator agung yang ingin mengalihkan perhatian dari fokus pengadilan kepada dirinya serta menunjukkan posisi tawarnya yang masih harus diperhitungkan dengan jalan meletuskan kerusuhan melalui para provokator. Analisis: Teori provokator agung tampaknya tidak dapat dikesampingkan begitu saja. D. Teori Pemberontakan Teori ini cukup berkembang di masyarakat yang mengindikasikan adanya unsur pemberontakan dengan baju Republik Maluku Selatan dalam kerusuhan yang terjadi di Ambon dan sekitarnya. RMS cukup dipahami oleh masyarakat bukan semata-mata Republik Maluku Selatan, tapi juga Republik Maluku Sarani (Nasrani). Analisis: Dengan diketemukannya beberapa dokumen RMS teori ini dapat dibenarkan. Beberapa informasi yang menguatkan teori ini adalah adanya berita ditemukannya sejumlah senjata api dalam suatu pengiriman peti mati dari negeri Belanda. Desa/kampung Hative Besar selama ini dikenal sebagai basis RMS (lihat kronologi). Salah satu dokumen RMS karena kelalaian kaum Muslimin akhirnya diserahkan ke aparat tanpa sempat digandakan. Secara umum aparat keamanan sesungguhnya sudah mencium bau RMS tersebut. |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel |