|
1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN
(1/6)
MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung,
yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada kebudayaan
dunia selama dalam beberapa abad yang lalu. Ia akan terus
demikian sampai Tuhan menyempurnakan cahayaNya ke seluruh
dunia. Warisan yang telah memberi pengaruh besar pada masa
lampau itu, dan akan demikian, bahkan lebih lagi pada masa
yang akan datang, ialah karena ia telah membawa agama yang
benar dan meletakkan dasar kebudayaan satu-satunya yang akan
menjamin kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang
telah dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu
Tuhan itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi
terpisahkan.
Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada
metoda-metoda ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan
dalam hal ini sama seperti yang menjadi pegangan kebudayaan
Barat masa kita sekarang, dan kalau pun sebagai agama Islam
berpegang pada pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran
metafisika namun hubungan antara ketentuan-ketentuan agama
dengan dasar kebudayaan itu erat sekali. Soalnya ialah
karena cara pemikiran yang metafisik dan perasaan yang
subyektif di satu pihak, dengan kaidah-kaidah logika dan
kemampuan ilmu pengetahuan di pihak lain oleh Islam
dipersatukan dengan satu ikatan, yang mau tidak mau memang
perlu dicari sampai dapat ditemukan, untuk kemudian tetap
menjadi orang Islam dengan iman yang kuat pula. Dari segi
ini kebudayaan Islam berbeda sekali dengan kebudayaan Barat
yang sekarang menguasai dunia, juga dalam melukiskan hidup
dan dasar yang menjadi landasannya berbeda. Perbedaan kedua
kebudayaan ini, antara yang satu dengan yang lain sebenarnya
prinsip sekali, yang sampai menyebabkan dasar keduanya itu
satu sama lain saling bertolak belakang.
Timbulnya pertentangan ini ialah karena
alasan-alasan sejarah, seperti sudah kita singgung dalam
prakata dan kata pengantar cetakan kedua buku ini.
Pertentangan di Barat antara kekuasaan agama dan kekuasaan
temporal1 sebagai bangsa yang menganut agama
Kristen atau dengan bahasa sekarang antara gereja dengan
negara menyebabkan keduanya itu harus berpisah, dan
kekuasaan negara harus ditegakkan untuk tidak mengakui
kekuasaan gereja. Adanya konflik kekuasaan itu ada juga
pengaruhnya dalam pemikiran Barat secara keseluruhan. Akibat
pertama dari pengaruh itu ialah adanya permisahan antara
perasaan manusia dengar pikiran manusia, antara pemikiran
metafisik dengan ketentuan-ketentuan ilmu positif (knowledge
of reality) yang berlandaskan tinjauan materialisma.
Kemenangan pikiran materialisma ini besar sekali pengaruhnya
terhadap lahirnya suatu sistem ekonomi yang telah menjadi
dasar utama kebudayaan Barat.
Sebagai akibatnya, di Barat telah timbul
pula aliran-aliran yang hendak membuat segala yang ada di
muka bumi ini tunduk kepada kehidupan dunia ekonomi. Begitu
juga tidak sedikit orang rang ingin menempatkan sejarah umat
manusia dari segi agamanya, seni, f1lsafat, cara berpikir
dan pengetahuannya - dalam segala pasang surutnya pada
berbagai bangsa - dengan ukuran ekonomi. Pikiran ini tidak
terbatas hanya pada sejarah dan penulisannya, bahkan
beberapa aliran filsafat Barat telah pula membuat pola-pola
etik atas dasar kemanfaatan materi ini semata-mata. Sungguh
pun aliran-aliran demikian ini dalam pemikirannya sudah
begitu tinggi dengan daya ciptanya yang besar sekali, namun
perkembangan pikiran di Barat itu telah membatasinya pada
batas-batas keuntungan materi yang secara kolektif dibuat
oleh pola-pola etik itu secara keseluruhan. Dan dari segi
pembahasan ilmiah hal ini sudah merupakan suatu keharusan
yang sangat mendesak.
Sebaiiknya mengenai masalah rohani, masalah spiritual,
dalam pandangan kebudayaan Barat ini adalah masalah pribadi
semata, orang tidak perlu memberikan perhatian bersama untuk
itu. Oleh karenanya membiarkan masalah kepercayaan ini
secara bebas di Barat merupakan suatu hal yang diagungkan
sekali, melebihi kebebasan dalam soal etik. Sudah begitu
rupa mereka mengagungkan masalah kebebasan etik itu demi
kebebasan ekonomi yang sudah sama sekali terikat oleh
undang-undang. Undang-undang ini akan dilaksanakan oleh
tentara atau oleh negara dengan segala kekuatan yang
ada.
Kebudayaan yang hendak menjadikan
kehidupan ekonomi sebagai dasarnya, dan pola-pola etik
didasarkan pula pada kehidupan ekonomi itu dengan tidak
menganggap penting arti kepercayaan dalam kehidupan umum,
dalam merambah jalan untuk umat manusia mencapai kebahagiaan
seperti yang dicita-citakannya itu, menurut hemat saya tidak
akan mencapai tujuan. Bahkan tanggapan terhadap hidup
demikian ini sudah sepatutnya bila akan menjerumuskan umat
manusia ke dalam penderitaan berat seperti yang dialami
dalam abad-abad belakangan ini. Sudah seharusnya pula
apabila segala pikiran dalam usaha mencegah perang dan
mengusahakan perdamaian dunia tidak banyak membawa arti dan
hasilnya pun tidak seberapa. Selama hubungan saya dengan
saudara dasarnya adalah sekerat roti yang saya makan atau
yang saudara makan, kita berebut, bersaing dan bertengkar
untuk itu, masing-masing berpendirian atas dasar kekuatan
hewaninya, maka akan selalu kita masing-masing menunggu
kesempatan baik untuk secara licik memperoleh sekerat roti
yang di tangan temannya itu. Masing-masing kita satu sama
lain akan selalu melihat teman itu sebagai lawan, bukan
sebagai saudara. Dasar etik yang tersembunyi dalam diri kita
ini akan selalu bersifat hewani, sekali pun masih tetap
tersembunyi sampai pada waktunya nanti ia akan timbul. Yang
selalu akan menjadi pegangan dasar etik ini satu-satunya
ialah keuntungan. Sementara arti perikemanusiaan yang
tinggi, prinsip-prinsip akhlak yang terpuji, altruisma,
cinta kasih dan persaudaraan akan jatuh tergelincir, dan
hampir-hampir sudah tak dapat dipegang lagi.
Apa yang terjadi dalam dunia dewasa ini ialah bukti yang
paling nyata atas apa yang saya sebutkan itu. Persaingan dan
pertentangan ialah gejala pertama dalam sistem ekonomi, dan
itu pula gejala pertamanya dalam kebudayaan Barat, baik
dalam paham yang individualistis, maupun sosialistis sama
saja adanya. Dalam paham individualisma, buruh bersaing
dengan buruh, pemilik modal dengan pemilik modal. Buruh
dengan pemilik modal ialah dua lawan yang saling bersaing.
Pendukung-pendukung paham ini berpendapat bahwa persaingan
dan pertentangan ini akan membawa kebaikan dan kemajuan
kepada umat manusia. Menurut mereka ini merupakan perangsang
supaya bekerja lebih tekun dan perangsang untuk pembagian
kerja, dan akan menjadi neraca yang adil dalam membagi
kekayaan.
Sebaliknya paham sosialisma yang berpendapat bahwa
perjuangan kelas yang harus disudahi dengan kekuasaan berada
di tangan kaum buruh, merupakan salah satu keharusan alam.
Selama persaingan dan perjuangan mengenai harta itu
dijadikan pokok kehidupan, selama pertentangan antar-kelas
itu wajar, maka pertentangan antar-bangsa juga wajar, dengan
tujuan yang sama seperti pada perjuangan kelas. Dari sinilah
konsepsi nasionalisma itu, dengan sendirinya, memberi
pengaruh yang menentukan terhadap sistem ekonomi. Apabila
perjuangan bangsa-bangsa untuk menguasai harta itu wajar,
apabila adanya penjajahan untuk itu wajar pula, bagaimana
mungkin perang dapat dicegah dan perdamaian di dunia dapat
dijamin? Pada menjelang akhir abad ke-20 ini kita telah
dapat menyaksikan - dan masih dapat kita saksikan - adanya
bukti-bukti, bahwa perdamaian di muka bumi dengan dasar
kebudayaan yang semacam ini hanya dalam impian saja dapat
dilaksanakan, hanya dalam cita-cita yang manis bermadu,
tetapi dalam kenyataannya tiada lebih dari suatu fatamorgana
yang kosong belaka.
Kebudayaan Islam lahir atas dasar yang
bertolak belakang dengan dasar kebudayaan Barat. Ia lahir
atas dasar rohani yang mengajak manusia supaya pertama
sekali dapat menyadari hubungannya dengan alam dan tempatnya
dalam alam ini dengan sebaik-baiknya. Kalau kesadaran
demikian ini sudah sampai ke batas iman, maka imannya itu
mengajaknya supaya ia tetap terus-menerus mendidik dan
melatih diri, membersihkan hatinya selalu, mengisi jantung
dan pikirannya dengan prinsip-prinsip yang lebih luhur -
prinsip-prinsip harga diri, persaudaraan, cinta kasih,
kebaikan dan berbakti. Atas dasar prinsip-prinsip inilah
manusia hendaknya menyusun kehidupan ekonominya. Cara
bertahap demikian ini adalah dasar kebudayaan Islam, seperti
wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad, yakni mula-mula
kebudayaan rohani, dan sistem kerohanian disini ialah dasar
sistem pendidikan serta dasar pola-pola etik (akhlak). Dan
prinsip-prinsip etik ini ialah dasar sistem ekonominya.
Tidak dapat dibenarkan tentunya dengan cara apa pun
mengorbankan prinsip-prinsip etik ini untuk kepentingan
sistem ekonomi tadi.
Tanggapan Islam tentang kebudayaan demikian ini menurut
hemat saya ialah tanggapan yang sesuai dengan kodrat
manusia, yang akan menjamin kebahagiaan baginya. Kalau ini
yang ditanamkan dalam jiwa kita dan kehidupan seperti dalam
kebudayaan Barat itu kesana pula jalannya, niscaya corak
umat manusia itu akan berubah, prinsip-prinsip yang selama
ini menjadi pegangan orang akan runtuh, dan sebagai gantinya
akan timbul prinsip-prinsip yang lebih luhur, yang akan
dapat mengobati krisis dunia kita sekarang ini sesuai dengan
tuntunannya yang lebih cemerlang.
Sekarang orang di Barat dan di Timur berusaha hendak
mengatasi krisis ini, tanpa mereka sadari - dan kaum
Muslimin sendiri pun tidak pula menyadari - bahwa Islam
dapat menjamin mengatasinya. Orang-orang di Barat dewasa ini
sedang mencari suatu pegangan rohani yang baru, yang akan
dapat menanting mereka dari paganisma yang sedang
menjerumuskan mereka; dan sebab timbulnya penderitaan mereka
itu, penyakit yang menancapkan mereka ke dalam kancah
peperangan antara sesama mereka, ialah mammonisma -
penyembahan kepada harta. Orang-orang Barat mencari pegangan
baru itu didalam beberapa ajaran di India dan di Timur Jauh;
padahal itu akan dapat mereka peroleh tidak jauh dari
mereka, akan mereka dapati itu sudah ada ketentuannya
didalam Qu'ran, sudah dilukiskan dengan indah sekali dengan
teladan yang sangat baik diberikan oleh Nabi kepada manusia
selama masa hidupnya.
Bukan maksud saya hendak melukiskan kebudayaan Islam
dengan segala ketentuannya itu disini. Lukisan demikian
menghendaki suatu pembahasan yang mendalam, yang akan
meminta tempat sebesar buku ini atau lebih besar lagi. Akan
tetapi - setelah dasar rohani yang menjadi landasannya itu
saya singgung seperlunya - lukisan kebudayaan itu disini
ingin saya simpulkan, kalau-kalau dengan demikian ajaran
Islam dalam keseluruhannya dapat pula saya gambarkan dan
dengan penggambaran itu saya akan merambah jalan ke arah
pembahasan yang lebih dalam lagi. Dan sebelum melangkah ke
arah itu kiranya akan ada baiknya juga saya memberi sekadar
isyarat, bahwa sebenarnya dalam sejarah Islam memang tak ada
pertentangan antara kekuasaan agama (theokrasi) dengan
kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal
ini dapat menyelamatkan Islam dari pertentangan yang telah
ditinggalkan Barat dalam pikiran dan dalam haluan
sejarahnya.
Islam dapat diselamatkan dari
pertentangan serta segala pengaruhnya itu, sebabnya ialah
karena Islam tidak kenal apa yang namanya gereja itu atau
kekuasaan agama seperti yang dikenal oleh agama Kristen.
Belum ada orang di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang
khalifah - yang akan mengharuskan sesuatu perintah kepada
orang, atas nama agama, dan akan mendakwakan dirinya mampu
memberi pengampunan dosa kepada siapa saja yang melanggar
perintah itu. Juga belum ada di kalangan Muslimin -
sekalipun ia seorang khalifah - yang akan mengharuskan
sesuatu kepada orang selain yang sudah ditentukan Tuhan di
dalam Qur'an. Bahkan semua orarg Islam sama di hadapan
Tuhan. Yang seorang tidak lebih mulia dari yang lain,
kecuali tergantung kepada takwanya - kepada baktinya.
Seorang penguasa tidak dapat menuntut kesetiaan seorang
Muslim apabila dia sendiri melakukan perbuatan dosa dan
melanggar penntah Tuhan. Atau seperti kata Abu Bakr
ash-Shiddiq kepada kaum Muslimin dalam pidato pelantikannya
sebagai Khalifah "Taatilah saya selama saya taat kepada
(perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar
(perintah) Allah dan Rasul maka gugurkanlah kesetiaanmu
kepada saya."
Kendatipun pemerintahan dalam Islam sesudah itu kemudian
dipegang oleh seorang raja tirani, kendatipun di kalangan
Muslimin pernah timbul perang saudara, namun kaum Muslimin
tetap berpegang kepada kebebasan pribadi yang besar itu,
yang sudah ditentukan oleh agama, kebebasan yang sampai
menempatkan akal sebagai patokan dalam segala hal, bahkan
dijadikan patokan didalam agama dan iman sekalipun.
Kebebasan ini tetap mereka pegang sekalipun sampai pada
waktu datangnya penguasa-penguasa orang-orang Islam yang
mendakwakan diri sebagai pengganti Tuhan di muka bumi ini -
bukan lagi sebagai pengganti Rasulullah. Padahal segala
persoalan Muslimin sudah mereka kuasai belaka, sampai-sampai
ke soal hidup dan matinya.
Sebagai bukti misalnya apa yang sudah terjadi pada masa
Ma'mun, tatkala orang berselisih mengenai Qur'an: makhluk
atau bukan makhluk - yang diciptakan atau bukan diciptakan!
Banyak sekali orang yang menentang pendapat Khalifah waktu
itu, padahal mereka mengetahui akibat apa yang akan mereka
terima jika berani menentangnya.
Dalam segala hal akal pikiran oleh Islam
telah dijadikan patokan. Juga dalam hal agama dan iman ia
dijadikan patokan. Dalam firman Tuhan:
"Perumpamaan orang-orang yang tidak beriman ialah seperti
(gembala) yang meneriakkan (ternaknya) yang tidak mendengar
selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu
dan buta, sebab mereka tidak menggunakan akal pikiran."
(Qur'an, 2: 171)
Oleh Syaikh Muhammad Abduh ditafsirkan, dengan
mengatakan: "Ayat ini jelas sekali menyebutkan, bahwa taklid
(menerima begitu saja) tanpa pertimbangan akal pikiran atau
suatu pedoman ialah bawaan orang-orang tidak beriman. Orang
tidak bisa beriman kalau agamanya tidak disadari dengan
akalnya, tidak diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin.
Kalau orang dibesarkan dengan biasa menerima begitu saja
tanpa disadari dengan akal pikirannya, maka dalam melakukan
suatu perbuatan, meskipun perbuatan yang baik, tanpa
diketahuinya benar, dia bukan orang beriman. Dengan beriman
bukan dimaksudkan supaya orang merendah-rendahkan diri
melakukan kebaikan seperti binatang yang hina, tapi yang
dimaksudkan supaya orang dapat meningkatkan daya akal
pikirannya, dapat meningkatkan diri dengan ilmu pengetahuan,
sehingga dalam berbuat kebaikan itu benar-benar ia sadar,
bahwa kebaikannya itu memang berguna, dapat diterima Tuhan.
Dalam meninggalkan kejahatan pun juga dia mengerti benar
bahaya dan berapa jauhnya kejahatan itu akan membawa
akibat."
Inilah yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh dalam
menafsirkan ayat ini, yang di dalam Qur'an, selain ayat
tersebut sudah banyak pula ayat-ayat lain yang disebutkan
secara jelas sekali. Qur'an menghendaki manusia supaya
merenungkan alam semesta ini, supaya mengetahui
berita-berita sekitar itu, yang kelak renungan demikian itu
akan mengantarkannya kepada kesadaran tentang wujud Tuhan,
tentang keesaanNya, seperti dalam firman Allah:
|