BAGIAN KESEBELAS: TAHUN PERTAMA DI
YATHRIB1 (1/4)
BERBONDONG-BONDONG penduduk Yathrib ke luar rumah hendak
menyambut kedatangan Muhammad, pria dan wanita. Mereka
berangkat setelah tersiar berita tentang hijrahnya, tentang
Quraisy yang hendak membunuhnya, tentang ketabahannya
menempuh panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang
sangat meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di
tengah-tengah dataran Tihama, yang justru memantulkan sinar
matahari yang panas dan membakar itu. Mereka keluar karena
terdorong ingin mengetahui sekitar berita tentang ajakannya
yang sudah tersiar di seluruh jazirah. Ajakan ini juga yang
sudah mengikis kepercayaan-kepercayaan lama yang diwarisi
dari nenek-moyang mereka, yang sudah dianggap begitu
suci.
Akan tetapi mereka keluar itu bukan disebabkan oleh dua
alasan ini saja, melainkan lebih jauh lagi, yakni karena
orang yang hijrah dari Mekah ini akan menetap di Yathrib.
Setiap golongan, setiap kabilah dari penduduk Yathrib, dari
segi politik dan sosial dalam hal ini memberikan efek yang
bermacam-macam. Inilah yang lebih banyak mendorong mereka
menyongsong keluar, daripada sekedar ingin melihat orang
ini. Juga mereka ingin mengetahui, benarkah hal itu akan
memperkuat dugaan mereka, ataukah mereka harus menarik
diri.
Oleh karena itu, sambutan orang-orang musyrik dan Yahudi
atas kedatangan Nabi tidak kurang daripada sambutan kaum
Muslimin, baik dari Muhajirin maupun dari kalangan Anshar.
Mereka semua mengerumuninya. Sesuai dengan perasaan yang
berkecamuk dalam hati masing-masing terhadap pendatang orang
besar itu, denyutan jantung merekapun tidak sama pula satu
sama lain. Mereka sama-sama mengikutinya tatkala ia
melepaskan kekang untanya dan membiarkannya berjalan
sekehendaknya sendiri, dengan agak kurang teratur karena
masing-masing ingin memandang wajahnya. Semua ingin
mengelilinginya dengan pandangan mata tentang orang yang
gambarnya sudah terlukis dalam jiwa masing-masing, tentang
orang yang telah membuat Ikrar Aqaba kedua, bersama-sama
penduduk kota ini - guna melakukan perang mati-matian
terhadap Quraisy; orang yang telah hijrah meninggalkan tanah
airnya, berpisah dengan keluarganya dengan memikul segala
tekanan permusuhan dan tindakan kekerasan dari mereka selama
tigabelas tahun terus-menerus. Ini semua demi keyakinan
tauhid kepada Allah, tauhid yang dasarnya adalah merenungkan
alam semesta ini serta mengungkapkan hakekat yang ada dengan
jalan itu.
Unta yang dinaiki Nabi alaihissalam
berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b.
Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna dipakai tempat
membangun mesjid. Sementara tempat itu dibangun ia tinggal
pada keluarga Abu Ayyub Khalid b. Zaid al-Anshari. Dalam
membangun mesjid itu Muhammad juga turut bekerja dengan
tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan
Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai mesjid itu
dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal
Rasul. Baik pembangunan mesjid maupun tempat-tempat tinggal
itu tidak sampai memaksa seseorang, karena segalanya serba
sederhana, disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk
Muhammad.
Mesjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas,
keempat temboknya dibuat daripada batu bata dan tanah.
Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian
lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi
digunakan tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak punya
tempat-tinggal. Tidak ada penerangan dalam mesjid itu pada
malam hari. Hanya pada waktu salat Isya diadakan penerangan
dengan membakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama
sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan
lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang
dijadikan penopang atap itu. Sebenarnya tempat-tempat
tinggal Nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya daripada
mesjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih tertutup.
Selesai Muhammad membangun mesjid dan
tempat-tinggal, ia pindah dari rumah Abu Ayyub ke tempat
ini. Sekarang terpikir olehnya akan adanya hidup baru yang
harus dimulai, yang telah membawanya dan membawa dakwahnya
itu harus menginjak langkah baru lebih lebar. Ia melihat
adanya suku-suku yang saling bertentangan dalam kota ini,
yang oleh Mekah tidak dikenal. Tapi juga ia melihat
kabilah-kabilah dan suku-suku itu semuanya merindukan adanya
suatu kehidupan damai dan tenteram, jauh dari segala
pertentangan dan kebencian, yang pada masa lampau telah
memecah-belah mereka. Kota ini akan membawa ketenteraman
pada masa yang akan datang, yang diharapkan akan lebih kaya
dan lebih terpandang daripada Mekah. Akan tetapi, bukanlah
kekayaan dan kehormatan Yathrib itu yang menjadi tujuan
Muhammad yang pertama, sekalipun ini ada juga. Segala tujuan
dan daya-upaya, yang pertama dan yang terakhir, ialah
meneruskan risalah, yang penyampaiannya telah dipercayakan
Tuhan kepadanya, dengan mengajak dan memberikan peringatan.
Akan tetapi, oleh penduduk Mekah sendiri, dengan cara
kekerasan risalah ini dilawan mati-matian, sejak dari awal
kerasulannya sampai Rada waktu hijrah. Karena takut akan
penganiayaan dan tindakan kekerasan pihak Quraisy, risalah
dan iman itu tidak sampai memasuki setiap kalbu. Segala
penganiayaan dan tindakan kekerasan ini menjadi perintang
antara iman dengan kalbu manusia yang belum lagi menerima
iman itu.
Baik kaum Muslimin maupun yang lain seharusnya percaya,
bahwa barangsiapa menerima pimpinan Tuhan dan sudah masuk ke
dalam agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan; bagi
orang yang sudah beriman akan tambah kuat imannya, sedang
bagi yang masih ragu-ragu, atau masih takut-takut atau yang
lemah akan segera pula menerima iman itu.
Pikiran itulah yang mula-mula meyakinkan Muhammad, ia
tinggal di Yathrib, ke arah itu politiknya ditujukan dan
dengan tujuan itu pula hendaknya sejarah hidupnya ditulis.
Ia tak pernah memikirkan kerajaan, harta-benda atau
perniagaan. Seluruh tujuannya ialah memberikan ketenangan
jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan jaminan
kebebasan bagi mereka dalam menganut kepercayaan agama
masing-masing. Baik bagi seorang Muslim, seorang Yahudi,
atau seorang Kristen masing-masing mempunyai kebebasan yang
sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan yang sama
menyatakan pendapat dan kebebasan yang sama pula menjalankan
propaganda agama. Hanya kebebasanlah yang akan menjamin
dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju
kesatuan yang integral dan terhormat. Setiap tindakan
menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan, berarti
menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan mengikis habis
percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani manusia.
Percikan cahaya ini yang akan menghubungkan hati nurani
manusia dengan alam semesta ini, dari awal yang azali sampai
pada akhirnya yang abadi, suatu hubungan yang menjalin rasa
kasih sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian dan
kehancuran
Dengan pemikiran inilah wahyu itu disampaikan kepada
Muhammad sejak ia hijrah. Dan karena itu pula ia sangat
mendambakan perdamaian, dan tidak menyukai perang. Dalam hal
ini selama hidupnya ia sangat cermat sekali. Ia tidak
menempuh jalan itu, kalau tidak terpaksa karena membela
kebebasan, membela agama dan kepercayaan. Bukankah, ketika
mendengar ada mata-mata memanggil-manggil Quraisy, memberi
peringatan tentang mereka itu, penduduk Yathrib yang ikut
mengadakan Ikrar Aqaba kedua berkata kepadanya?
"Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran
kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami
habiskan dengan pedang kami."
Dijawabnya:
"Kami tidak diperintahkan untuk itu."
Bukankah ayat pertama yang datang mengenai perang
berbunyi?
"Diijinkan (berperang) kepada mereka yang diperangi,
karena mereka dianiaya; dan sesungguhnya Allah Maha kuasa
menolong mereka." (Qur'an, 8: 39)
Dan bukankah ayat berikutnya mengenai soal perang itu
Tuhan berfirman?
"Dan perangilah mereka supaya jangan ada lagi fitnah, dan
agama seluruhnya untuk Allah." (Qur'an, 2: 193)
Jadi pertimbangan pikiran Muhammad dalam hal ini hanya
mempunyai satu tujuan yang luhur, yaitu menjamin kebebasan
beragama dan menyatakan pendapat. Hanya untuk mempertahankan
itulah perang dibenarkan, dan hanya untuk itu pula
dibenarkan menangkis serangan pihak agresor, sehingga jangan
ada orang yang dapat dikacau dari agamanya dan jangan pula
ada orang yang ditindas karena kepercayaan atau
pendapatnya.
Kalau inilah tujuan Muhammad dalam
pertimbangannya mengenai masalah Yathrib serta harus
menjamin adanya kebebasan, maka penduduk kota ini pun
menyambutnya dalam pikiran yang serupa, meskipun setiap
golongan pertimbangannya saling bertentangan satu sama lain.
Penduduk Yathrib pada waktu itu terdiri dari kaum Muslimin -
Muhajirin dan Anshar - orang-orang musyrik dari sisa-sisa
Aus dan Khazraj - sedang hubungan kedua golongan ini sudah
sama-sama kita ketahui; kemudian orang-orang Yahudi: Banu
Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak,
Banu'n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di
Utara.
Ada pun kaum Muhajirin dan Anshar,
karena solidaritas agama baru itu, mereka sudah erat sekali
bersatu. Sungguhpun begitu, kekuatiran dalam hati Muhammad
belum hilang samasekali, kalau-kalau suatu waktu kebencian
lama di kalangan mereka akan kembali timbul. Sekarang
terpikir olehnya bahwa setiap keraguan semacam itu harus
dihilangkan. Usaha ini akan tampak juga pengaruhnya
Sebaliknya golongan musyrik dari
sisa-sisa Aus dan Khazraj, akibat peperangan-peperangan masa
lampau, mereka merasa lemah sekali di tengah-tengah kaum
Muslimin dan Yahudi itu. Mereka mencari jalan supaya antara
keduanya itu timbul insiden. Selanjutnya golongan Yahudi
dengan tiada ragu-ragu merekapun menyambut baik kedatangan
Muhammad dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya
dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula
diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah Arab. Dengan
demikian mereka akan dapat pula membendung Kristen, yang
telah mengusir Yahudi, -bangsa pilihan Tuhan - dari
Palestina, Tanah yang Dijanjikan dan tanah air mereka
itu.
Dengan dasar pikiran itulah mereka masing-masing
bertolak. Mereka membukakan jalan supaya tujuan mereka
masing-masing mudah tercapai.
Di sinilah fase baru dalam hidup Muhammad itu dimulai
yang sebelum itu tiada seorang nabi atau rasul yang pernah
mengalaminya. Di sini dimulainya suatu fase politik yang
telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan,
kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi
termangu, lalu menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan
rasa kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib -
tanah airnya yang baru - ialah meletakkan dasar kesatuan
politik dan organisasi, yang sebelum itu di seluruh wilayah
Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman
memang sudah pernah ada.
Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua
wazirnya itu Abu Bakr dan Umar - demikianlah mereka
dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya
yang mula-mula ialah menyusun barisan kaum Muslimin serta
mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala
bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di
kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud ini diajaknya
kaum Muslimin supaya masing-masing dua bersaudara, demi
Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b. Abi Talib.
Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya. Abu
Bakr bersaudara dengan Kharija b. Zaid. Umar ibn'l-Khattab,
bersaudara dengan 'Itban b. Malik al-Khazraji. Demikian juga
setiap orang dari kalangan Muhajirin yang sekarang sudah
banyak jumlahnya di Yathrib - sesudah mereka yang tadinya
masih tinggal di Mekah menyusul ke Medinah setelah Rasul
hijrah - dipersaudarakan pula dengan setiap orang dari pihak
Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum saudara sedarah
senasib. Dengan persaudaraan demikian ini persaudaraan kaum
Muslimin bertambah kukuh adanya.
Ternyata kalangan Anshar memperlihatkan sikap
keramahtamahan yang luarbiasa terhadap saudara-saudara
mereka kaum Muhajirin ini, yang sejak semula sudah mereka
sambut dengan penuh gembira. Sebabnya ialah, mereka telah
meninggalkan Mekah, dan bersama itu mereka tinggalkan pula
segala yang mereka miliki, harta-benda dan semua kekayaan.
Sebagian besar ketika mereka memasuki Medinah sudah hampir
tak ada lagi yang akan dimakan disamping mereka memang bukan
orang berada dan berkecukupan selain Usman b. 'Affan.
Sedangkan yang lain sedikit sekali yang dapat membawa
sesuatu yang berguna dari Mekah.
Pada suatu hari Hamzah paman Rasul pergi mendatanginya
dengan permintaan kalau-kalau ada yang dapat dimakannya.
Abdur-Rahman b. 'Auf yang sudah bersaudara dengan Sa'd
bin'r-Rabi' ketika di Yathrib ia sudah tidak punya apa-apa
lagi. Ketika Sa'd menawarkan hartanya akan dibagi dua,
Abdur-Rahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke
pasar. Dan di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju.
Dalam waktu tidak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang
ia telah dapat mencapai kekayaan kembali, dan dapat pula
memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Medinah.
Bahkan sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang
membawa perdagangan. Selain Abdur-Rahman, dari kalangan
Muhajirin, banyak juga yang telah melakukan hal serupa itu.
Sebenarnya karena kepandaian orang-orang Mekah itu dalam
bidang perdagangan sampai ada orang mengatakan: dengan
perdagangannya itu ia dapat mengubah pasir sahara menjadi
emas.
Adapun mereka yang tidak melakukan pekerjaan berdagang,
diantaranya ialah Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib dan
lain-lain. Keluarga-keluarga mereka terjun kedalam
pertanian, menggarap tanah milik orang-orang Anshar
bersama-sama pemiliknya. Tetapi selain mereka ada pula yang
harus menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup. Sungguhpun
begitu, mereka ini tidak mau hidup menjadi beban orang lain.
Merekapun membanting tulang bekerja, dan dalam bekerja itu
mereka merasakan adanya ketenangan batin, yang selama di
Mekah tidak pernah mereka rasakan.
Di samping itu ada lagi segolongan orang-orang Arab yang
datang ke Medinah dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan
miskin dan serba kekurangan sampai-sampai ada diantara
mereka yang tidak punya tempat tinggal. Bagi mereka ini oleh
Muhammad disediakan tempat di selasar mesjid yaitu shuffa
[bahagian mesjid yang beratap] sebagai tempat
tinggal mereka.
Oleh karena itu mereka diberi nama Ahl'sh-Shuffa
(Penghuni Shuffa). Belanja mereka diberikan dari harta kaum
Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang
berkecukupun.
Dengan adanya persatuan kaum Muslimin dengan cara
persaudaraan itu Muhammad sudah merasa lebih tenteram. Sudah
tentu ini merupakan suatu langkah politik yang bijaksana
sekali dan sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan
yang tepat serta pandangan jauh. Baru tampak kepada kita
arti semua ini bila kita melihat segala daya-upaya kaum
Munafik yang hendak merusak dan menjerumuskan kaum Muslimin
ke dalam peperangan antara Aus dengan Khazraj dan antara
Muhajirin dengan Anshar. Akan tetapi suatu operasi politik
yang begitu tinggi dan yang menunjukkan adanya kemampuan
luarbiasa, ialah apa yang telah dicapai oleh Muhammad dengan
mewujudkan persatuan Yathrib dan meletakkan dasar organisasi
politiknya dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi
atas landasan kebebasan dan persekutuan yang kuat sekali.
Orang sudah melihat betapa mereka menyambut baik
kedatangannya dengan harapan akan dapat dibujuknya ke pihak
mereka. Penghormatan mereka ini dengan segera dibalasnya
pula dengan penghormatan yang sama serta mengadakan tali
silaturahmi dengan mereka. Ia bicara dengan kepala-kepala
mereka, didekatkannya pembesar-pembesar mereka dibentuknya
dengan mereka itu suatu tali persahabatan, dengan
pertimbangan bahwa mereka juga Ahli Kitab dan kaum
monotheis. Lebih dari itu bahwa pada waktu mereka berpuasa
iapun ikut puasa. Pada waktu itu kiblatnya dalam sembahyang
masih menghadap ke Bait'l-Maqdis, titik perhatian mereka,
tempat terkumpulnya semua Keluarga Israil. Persahabatannya
dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan dia
makin sehari makin bertambah erat dan dekat juga.
|