Pengantar
Sebelum membaca artikel yang membahas perihal Hakikat
Manusia ini, penulis menyarankan kepada anggota milis yang
baru bergabung untuk membaca dan memahami artikel yang telah
disampaikan terdahulu, yaitu Bab Perjalanan Menuju Ilahi,
Makna Syari'at, Syari'at Sebagai Gerbang Dunia Hakikat, dan
Etika Islam, sehingga dengan mengikuti artikel tersebut
secara runut, harapan kami akan diperoleh pemahaman yang
utuh dalam mengikuti tulisan/artikel berikutnya, sehingga
pada akhirnya akan memperoleh gambaran secara utuh tentang
apa yang ingin kami sampaikan.
Pada bab ini akan penulis akan menyampaikan perihal
Hakikat Manusia, yang terdiri atas dua bagian, yaitu tentang
Kesadaran Diri dan Kesadaran Universal.
A. Kesadaran Diri
Didalam filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada
pribadi manusia. Boleh jadi, tanpa situasi historis kita
tidak bisa memahami apa dan esensi diri yang sebenarnya. Al
Qur'an membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri
secara berurutan sampai kepada kesadaran yang universal.
Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran tertentu. Saat
dimana muncul ketikan dihadapkan persoalan manusia terdorong
untuk memikirkan eksistensi. Dimana keberadaannya bagaikan
terlempar begitu saja. "Aku" yang kehilangan arah, berpaling
dari dirinya sendiri, ia mawas diri dan menyelidiki dirinya.
Demikianlah suatu motif yang mula-mula bersifat historis dan
psikologis berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis yang
mendesak: "Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan dan
harapanku? Apakah tujuan hidup ini? Apakah artinya? Mengapa
aku bereksistensi? Dan bukannya tidak bereksistensi?"
Mengemukakan masalah mengenai pribadi dalam
ungkapan-ungkapan tersebut, berarti mengemukakan masalah
kebebasan, masalah tanggung jawab. Hal ini membawa kita
kepada penelitian mengenai dasar dari asal usul. Baik dari
sisi kebebasan maupun dari sisi tanggung jawab. Hal tersebut
akhirnya memunculkan masalah ketuhanan. Apakah Allah itu
masuk dalam definisi manusia atau tidak? Apakah eksistensi
manusia itu bersifat teosentris ataupun antroposentris?
Partisipasi ataupun cukup dalam dirinya sendiri? Ada apakah
dengan pernyataan ulama populer "man arafa nafsahu faqad
arafa rabbahu?" (barang siapa tahu akan dirinya, maka ia
tahu akan Tuhannya).
Dalam arti yang sebenarnya, kata "eksistensi" berarti
data kosmis, sejauh manusia yang terlibat secara aktif di
dalamnya. Hubungan erat antara masalah manusia dan masalah
ketuhanan, terlihat baik pada mereka yang mengingkari Allah
maupun pada mereka yang mengikuti-Nya. Kecenderungan
tersebut pada dasarnya merupakan naluri manusia yang tidak
bisa dipungkiri dan merupakan fitrah manusia.
Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri
religiusitas dalam pengertian apapun, baik yang sejati
maupun yang palsu. Sebenarnya adalah sama dengan mengatakan
bahwa setiap pribadi memiliki naluri untuk berkepercayaan.
Dalam tinjauan antropologi budaya, Naluri itu muncul
berbarengan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup
ini sendiri dan alam sekitar yang menjadi lingkungan hidup
itu. Karena itu setiap orang dan masyarakat pasti mempunyai
keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap "pusat" atau
"sentral" dalam hidup seperti dikatakan oleh Mircea Elidae:
"Setiap orang cenderung, meskipun tanpa
disadari mengarah kepusat dan menuju pusat sendiri, dimana
ia akan menemukan hakekat yang utuh yaitu rasa kesucian.
Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia
untuk menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu di pusat
alam, tempat komunikasi dengan langit --menjelaskan
penggunaan dimana akan ungkapan pusat alam semesta"
Disini kita akan mencoba menelusuri secara beruntun dari
dasar sekali. Al Qur'an menyebutkan dalam Surat Adz Dzariat
21:
"Dan juga pada dirimu, maka apakah kamu tiada
memperhatikan"
Juga dalam surat Al Hijir 28-29:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: sesungguhnya Aku akan menciptakan
seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya
Ruh (cipataan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud". (QS Al Hijir 28-29).
Dalam kerangka ini kita mengambil garis yang jelas dari
peristiwa kejadian manusia, dimana para makhluk baik itu
setan maupun malaikat mempertanyakan kebijakan Allah yang
akan menciptakan manusia, yang menurut pandangan malaikat
"manusia" adalah makhluk yang selalu membuat keonaran dan
pertumbahan darah (QS Al Baqarah 30). Tidak kalah sengitnya
setan memprotes keberadaan manusia yang dipandang rendah,
yang hanya diciptakan dari unsur tanah, sambil membanggakan
dirinya yang dibuat dari api.
Dalam keadaan ini para malaikat gigit jari dan begitu
terheran-heran: rahasia macam apa ini? Bumi yang hina-dina
dipanggil kehadirat Zat yang maha tak terjangkau dengan
segenap kehormatan dan kemuliaan ini.
Kelembutan illahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke
dalam relung rahasia dan misteri malaikat,
"Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui"
(QS:2:30).
Raga manusia termasuk kedalam derajat terendah, sementara
ruh manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi. Hikmah yang
terkandung dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti mengemban
beban amanat pengetahuan tentang Allah. Karena itu mereka
harus mempunyai kekuatan dalam kedua dunia ini untuk
mencapai kesempurnaan. Sebab tidak sesuatupun di dunia ini
yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat.
Mereka mempunyai kekuatan ini melalui esensi sifat-sifatnya
(sifat-sifat ruhnya), bukan melalui raganya.
Karena ruh manusia berkaitan dengan derajat tertinggi
dari yang tinggi, tidak satupun di dunia ruh yang menyamai
kekuatannya, entah itu malaikat maupun setan sekalipun atau
segala sesuatu lainnya. Demikian pula, jiwa manusia
berkaitan dengan derajat yang paling rendah, sehingga tidak
sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya, entah
itu hewan dan binatang buas atau yang lainnya. Ketika
mengaduk dan mengolah tanah, semua sifat hewan dan binatang
buas, semua sifat setan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda
mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk
mengejawantahkan sifat "dua tangan-Ku". Karena masing-masing
sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luarnya saja, di
dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata berupa sifat
illahi.
Penjelasan diatas merupakan urutan ungkapan mengenai
hakekat diri yang sebenarnya, dimana manusia sebagai makhluk
yang sangat lemah dan hina disisi lain dinobatkan sebagai
"khalifah" (wakil Allah). Bertugas mengatur alam semesta dan
merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi-Nya serta
mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para mahkluk yang
lain tidak melihat ada dimensi yang tidak bisa dijangkau
olehnya, ia hanya mampu melihat pada tingkat yang paling
rendah dalam diri manusia. Sementara ia terhijab oleh
ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan illahi
(QS Al Hijir 28-29).
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan
tertentu secara berurutan dalam memahami manusia. Hakikat
mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah.
Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi
dirinya sendiri.
Al Ghazaly yang hidup pada abad pertengahan tidak
terlepas dari kecenderungan umum pada zamannya dalam
memandang manusia. Didalam buku buku filsafatnya ia
mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang
tetap, tidak berubah-ubah yaitu An nafs (jiwanya). Yang
dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri,
tidak bertempat dan merupakan tempat pengetahuan intelektual
(al makulat) yang berasal dari alam malakut atau alam amr.
Ini menunjukkkan esensi manusia bukan fisiknya dan bukan
fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai
tempat. Dan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri
sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam al amr
atau alam malakut adalah realitas diluar jangkauan indra dan
imaginasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Sebagai lawan dari
alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia tubuh dan
aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs
adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan
merupakan subyek yang mengetahui (Bashirah).
Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang
disebut an nafs, Al Ghazaly mengemukakan beberapa argumen.
Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia dan seluruh
berita tentang akhirat tidak ada artinya apabila an nafs
tidak ada, sebab seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada
yang ada (al maujud) yang dapat memahaminya. Yang mempunyai
kemampuan bukanlah fisik manusia sebab apabila fisik manusia
mempunyai kemampuan memahami, objek-obyek fisik lainnya juga
mesti mempunyai kemampuan memahami. Kenyataan tidak
demikian. Argumen bersifat keagamaan ini , bagaimanapun
tidak dapat meyakinkan orang yang ragu terhadap kenabian dan
hari akhirat. Karena untuk mempercayai argumen ini orang
terlebih dahulu harus percaya akan kenabian dan hari
akhirat.
Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan
kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang
kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang
dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037) untuk tujuan yang sama,
melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly
memperlihatkan bahwa; diantara makhluk-makhluk hidup
terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat
kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari
benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak
monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan
makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain
mempunyai gerak yang monoton, juga mempunyai kemampuan
bergerak secara bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa
vegetatif. Jenis hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi
dari pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain
kemampuan bisa bergerak bervariasi juga mempunyai rasa.
Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Dalam kenyataan manusia
juga mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia selain
mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia juga mempunyai semua
yang dimiliki jenis-jenis makhluk tersebut, disamping mampu
berpikir dan serta mempunyai pilihan untuk berbuat dan untuk
tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang
memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an
nafs al insaniyyat. Prinsip inilah yang betul-betul
membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.
Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan seorang
manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya1, sehingga ia
berada dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Ketika ia
menghilangkan segala aktivitasnya, menurut Al Ghazaly, ada
sesuatu yang tidak hilang di dalam dirinya yaitu "kesadaran"
yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada. Bahkan
ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut
an nafs al insaniyyat (diri sejati). Dikatakan dalam suatu
tafsir shafwatu at tafasir karangan Prof. As Shabuny dalam
surat Al Qiyamah ayat 14:
"akan tetapi di dalam diri manusia ada
bashirah (yang tahu)."
Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala
gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa
menyebut diri (wujud)-nya adalah "Aku".
Wujud "Aku" yang memiliki sifat tahu yang memperhatikan
dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kebohongan,
kecurangan, serta kebaikan. Ia tidak pernah bersekongkol
dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga
manusia, setan dan jin tidak bisa menembus alam ini karena
ia sangat dekat dengan Allah sekalipun manusia itu jahat dan
kafir. Adalah pernyataan Allah atas pengangkatan sebagai
wakil Allah, sehingga Allah menyebut tentang "Aku" ini
sebagai ruh-Ku. Yang oleh As Shabuny sebagai penghormatan
yang maha tinggi seperti penghormatan Allah terhadap
Baitullah (rumah Allah).
Ketika itu yang disadari bukan fisik dan yang sadarpun
bukan fisik. Kesadaran disini tidak melalui alat, tetapi
bersifat langsung. Oleh karena itu subyek yang sadar itu
jelas bukan fisik dan bukan fungsi fisik melainkan sesuatu
substansi yang berbeda dengan fisik.
Mungkin juga dikatakan disini tidak bersifat langsung,
tetapi melalui perantara, yaitu melalui perbuatanku. Dalam
perbuatanku ada yang mendahului, yaitu kesadaran akan aku
yang menjadi subyek perbuatan itu. Kesadaran disini
bagaimanapun bersifat langsung dan terlepas dari aktivitas
fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi
esensi manusia itu nyata ada dan merupakan substansi yang
berbeda dengan fisik. Hal ini terbukti ketika manusia
kehilangan aktivitas pada moment menjelang tidur. Sang "Aku"
(kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang dialami
pada saat bermimpi. Begitupun Kehidupan keruhanian dalam
mendasari kesadaran ihsan dengan menghentikan aktivitas
fisik sebagai kendali sahwati, maka yang timbul adalah
kesadaran diri yang mampu menembus alam malakut dan uluhiah.
Dimana manusia mencapai puncak eksistensi yang sejati.
Kesejatian inilah yang di tuntut oleh Allah dalam hal
melakukan peribadatan, apakah puasa, zakat, dan shalat.
Dengan konteks "ihklaskanlah peribadatanmu dengan tidak
melakukan kesyirikan sedikitpun" (QS. Az Zumar 11 & 14).
Aktivitas ruhani yang diajarkan oleh Allah adalah
peribadatan saum yang mana manusia dalam sementara waktu
diwajibkan mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan
hawa nafsu selama satu bulan di bulan ramadhan. Selama satu
bulan penuh menahan rasa dan keinginan ragawi, samar-samar
akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang tadinya
emosional berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah tidak
lagi menuruti keinginannya, sehingga sang fisik mengikuti
kehendak-kehendak diri yang sejati. Maka oleh Allah
dikatakan mereka itu telah mendapatkan karunia lailatul
qadar, dimana ia mampu menembus seluruh semesta ruhani dan
kembali sebagai manusia sejati dan fitrah. Keadaan Fitrah
ini diungkap Al Qur'an, bahwa apabila telah terjadi fitrah
pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah itu sama dengan
kehendak Allah (QS. 30:30):
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
Agama (Allah); (tetaplah) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Dalam hal ini manusia tersebut mendapat karunia kepatuhan
dan ketaqwaan seperti patuhnya alam semesta serta patuhnya
tubuh manusia, dimana dimengerti bahwa tidak pernah dirinya
merencanakan ada, kemudian kenapa aku ini laki-laki? Atau
nafas ini mengalir keluar masuk tanpa aku kehendaki dan
bisakah aku menangguhkan jangan keburu tua dulu. Hal ini
merupakan renungan hakiki, kenapa pikiran ini tidak sepatuh
alam dan tubuh yang diselimuti kekuasaan Allah. Ia begitu
tampak jelas dalam gerakan dan keberadaan alam dan diri ini.
Dengan argumen di atas bahwa an nafs berdiri sendiri
dipertegas bahwa ia tidak bertempat, baik didalam badan
maupun diluar badan. Karena an nafs bukan materi maka dengan
sendirinya tidak mengambil ruang dan tidak mempunyai tempat.
Sifat dasar an nafs tidak mengandung kemungkinan bertempat.
Artinya pernyataan tempat tidak sesuai dihubungkan kepada an
nafs, sebagaimana tidak sesuai sifat mengetahui atau tidak
mengetahui diletakkan pada benda mati. Al Ghazaly tidak
menerima pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab
an nafs dalam keadaan demikian, menurutnya tidak mungkin
mengatur badan, tetapi kalau an nafs berada di dalam badan
keberatan lain akan timbul. An nafs bertempat di dalam badan
tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada seluruh
badan atau pada sebagiannya saja. Kalau bertempat pada
seluruh badan, an nafs semestinya menyusut atau berpindah,
jika sebagian anggauta tubuh manusia terpotong dan ini tidak
mungkin.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi atau
hakikat manusia adalah substansi immaterial yang berdiri
sendiri, bersifat illahi (berasal dari alam amr), tidak
bertempat di dalam badan, bersifat sederhana, mempunyai
kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan
(tidak kadim) dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha
menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan sifat-sifat dasarnya
tidak dapat diperoleh melalui akalnya saja, tetapi dengan
akal dan sara' . Untuk itu selain kutipan ayat 29 surat Al
Hijir di atas juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan
esensi manusia seperti surat Ali Imron 169:
"Jangan engkau sangka orang-orang yang
terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka itu hidup dan
diberi rezeki disisi Tuhan."
"Katakan jiwa itu dari amr Tuhanku." (QS. Al Isra 85).
Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan jiwa dan ayat
yang kedua untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari dunia
yang sangat dekat dengan Allah, alam amr.
Pembangkitan kesadaran akan diri, dikatakan para ulama
kerohanian sebagai ajang mujahadah untuk menemukan
kesejatian, dan dengan kesejatian itu pula manusia akan
mencapai hakikat "diri" serta terbukanya kebenaran adanya
Allah secara hakiki, yakni makrifatullah.
Periode pertengahan kejayaaan Islam di Jawa, berlangsung
semaraknya hidup berkerohanian yang dipelopori para dai
(wali songo) masa itu. Namun kita melihat kelebihan dan
kekurangan metode yang diajarkan, masih banyak menyesuaikan
budaya masyarakat kerohanian Hindu. Sehingga peribadatan
yang masih tersisa sekarang kelihatan asimilasi peninggalan
Hindu dan Budha. Akan tetapi kita melihat dengan jernih
ajaran yang disampaikan oleh beliau dengan tetap memurnikan
ketauhidan kita kepada Allah. Misalnya dalam mantra
berbahasa Jawa, tentang perenungan hakiki manusia serta
penyadaran dan pencarian kesejatian yang dikatakan dalam Al
Qur'an sebagai "bashirah"(Aku yang mengetahui).
Bismillahirrahmanirrahim (dengan nama Allah
yang maha pengasih dan penyayang). Melebu Allah. Metu Allah
(masuknya nafas karena Allah ... keluarnya nafas karena
Allah). Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan hidup
itu Allah). Utek dunungno kodrate Allah (otak letakkan atas
kodrat Allah). Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ...
Allah (ya hu ... Allah ya hu ... Allah ya hu ... Allah).
Nabi Muhammad iku utusane Allah (nabi Muhammad itu
rasullullah).
Artinya: (perlu diketahui dalam membaca kalimat mantra
ini diperlukan penghayatan dan pendalaman makna yang
hakiki).
Masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat Allah yang
tidak bisa dicegah. Manusia hanya menerima dengan pasrah
atas kekuasaan Allah yang meliputi nafas. Sehingga fikiran
ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan patuhnya nafas
tanpa reserve (totalitas). Yang mengadakan hidup pada
manusia (semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh makhluk,
apakah itu binatang, manusia, tumbuhan serta bumi, matahari
semuanya bergerak dinamis atas sifat hidup Allah (Al Hayyu).
Otak adalah merupakan bentuk kekuasaan Allah atas manusia,
yang mana manusia diwajibkan berfikir dan berkontemplasi
untuk menyatakan sebagai wakil Allah (khalifah) maka dengan
itu otak harus sesuai dengan kehendak-kehendak Allah
(perintah Allah).
- Wahai zat yang tidak sama dengan makhluknya.
- Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu rasulullah.
Disini kita melihat sejarah manusia ketika mensikapi atas
dirinya dalam pencarian diri sejati secara universal. Al
Qur'an telah memaparkan sebelum para pemikir barat memulai.
From: Cak Sangkan <patrap1@yahoo.com>
Date: Tue Dec 21, 1999 4:52am
Subject: HAKIKAT MANUSIA (1/2)
|