Mencari Asal-usul Kitab Suci

oleh Dr. Kamal Salibi

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

PENDAHULUAN

Saya akan berbicara langsung mengenai pokok persoalan. Saya yakin bahwa saya telah mendapatkan suatu penemuan penting yang seharusnya akan dapat mengubah pengertian kita tentang Bibel Ibrani, atau apa yang disebut oleh kebanyakan orang sebagai Perjanjian Lama. Penemuan ini berupa dugaan kuat bahwa Kitab Bibel itu berasal dari Arabia Barat, dan bukan dari Palestina, seperti yang sampai kini diduga oleh para ahli, berdasarkan pada perkiraan geografis. Bukti yang saya dapati untuk menentang pernyataan ini akan dibahas pada bab-bab yang berikut. Dugaan saya ini didasarkan pada analisa linguistik dari nama-nama tempat yang tertera di dalam Kitab Bibel, yang menurut pendapat saya sampai sekarang terus menerus telah diterjemahkan secara tidak benar. Prosedur ini secara teknis disebut analisa onomastik, atau barangkali lebih tepat analisa toponimik. Saya terus-terang mengakui bahwa penemuan ini masih bersifat teoritis, sebelum diperkuat oleh penyelidikan-penyelidikan arkeologis. Akan tetapi bukti-bukti yang saya dapati sangatlah besar sehingga hanya akan disangsikan oleh orang-orang kolot saja, dan saya yakin kesangsian itu pun akan lenyap setelah adanya dukungan selanjutnya oleh para ahli.

Tidak mengherankan, dalam membuka jalan baru, jika saya melakukan beberapa kesalahan yang mungkin akan dijadikan kesempatan oleh para kritikus untuk menodai hasil-hasil penemuan saya ini. Tetapi saya yakin bahwa kesalahan itu tidak akan begitu besar sehingga dapat mempengaruhi hasil penemuan ini. Tidak diragukan lagi, banyak orang akan mengeluh bahwa referensi saya terhadap kepustakaan yang luas mengenai geografi Bibel Ibrani itu hanya sepintas saja. Jawaban yang akan saya berikan singkat saja, yaitu bahwa saya samasekali tidak setuju dengan apa yang telah tertulis dan merasa tidak perlu membebani para pembaca dengan sanggahan-sanggahan mengenai penemuan-penemuan yang lalu satu persatu. Sebenarnya saya khawatir juga bahwa daftar nama-nama tempat yang menjadi dasar pokok argumentasi buku ini akan menimbulkan kesulitan kepada pembaca yang tidak begitu biasa dengan transliterasi abjad Ibrani dan Arab. Sementara saya harapkan para spesialis akan ikut bersabar bersama saya, saya sarankan pembaca biasa melewati saja bagian-bagian itu, dan memusatkan perhatian pada kesimpulan yang telah saya usahakan seringkas dan sejelas mungkin, dengan harapan hal ini dapat saya kemukakan dengan sebaik-baiknya.

Untuk membantu pembaca umum, beberapa pengetahuan dasar baik mengenai bahasa dalam Bibel Ibrani ataupun perbandingannya secara linguistik yang berhubungan dengan bahasa-bahasa Semit, barangkali masih diperlukan. Ringkasnya, Kitab Bibel Ibrani kanonik itu terdiri dari tiga puluh sembilan kitab yang dahulunya disusun dalam dua puluh empat buah gulungan. Lima kitab pertama, yaitu Pentateuch (atau Torah dalam bahasa Ibrani, yang berarti 'pelajaran') terdiri dari Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Selanjutnya, dua puluh satu kitab Kisah para Rasul: empat karya bersejarah Yosua, Hakim-hakim, Samuel (2 kitab), Raja-raja (2 kitab); kitab-kitab Tiga Rasul utama Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel; kemudian dua belas kitab mengenai para nabi-nabi, yaitu: Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia dan Maleakhi. Dan akhirnya tiga belas kitab puisi-puisi keagamaan dan kesusastraan mengenai kebijaksanaan, Tulisan-tulisan, yang terdiri dari Mazmur, Amsal, Yob, Kidung Agung, Rut, Ratapan, Pengkhotbah, Ester, Daniel, Ezra, Nehemia dan Tawarikh (2 kitab). Kecuali bagian-bagian Aramaik dari kitab Daniel (2:4b - 7:28) dan kitab Ezra (4:8 - 6:18), semua karangan orisinalnya yang sampai kepada kita tertulis dalam bahasa Ibrani.

Hal-hal yang bersangkutan dengan penanggalan dan penyusunan kitab-kitab Bibel Ibrani itu terlalu rumit untuk dibahas secara rinci, dan tidaklah penting dalam argumentasi saya ini. Sejumlah kitab-kitab itu, misalnya, sudah dapat dipastikan sebagai karya-karya baru yang disusun berdasarkan naskah-naskah yang lebih tua, sehingga dapat diperkirakan baru tersusun pada sekitar abad ke-4 S.M., setelah runtuhnya kerajaan Israil kuno.

Yang sudah pasti ialah bahwa bahasa Ibrani dalam Bibel secara keseluruhan mempunyai bentuk bahasa sehari-hari, tidak seperti halnya bahasa Ibrani yang dipakai oleh para rabbi (pendeta Yahudi) yang berfungsi khusus sebagai bahasa kesarjanaan. Dengan kata lain, naskah-naskah Bibel Ibrani yang kita kenal telah ada sebelum abad ke-5 S.M., pada waktu Kerajaan Israil kuno mengalami kehancurannya dan sewaktu bahasa Ibrani dan berbagai bentuk bahasa Kanaan sudah tidak dipakai lagi. Ini berarti kita dapat mempergunakan Bibel Ibrani itu, paling tidak dalam penelitian ini, sebagai dokumen yang berhubungan langsung dengan sejarah Israil, lepas dari soal-soal penanggalan, komposisi, atau siapa penulisnya.

Karena hampir seluruh argumentasi ini dititikberatkan pada perkiraan saya bahwa Bibel Ibrani terus-menerus diterjemahkan dengan tidak benar, maka patut diadakan suatu pembetulan. Singkatnya, seperti yang akan saya jelaskan secara lebih mendalam pada Bab 2, bahasa Ibrani itu tidak lagi dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari pada sekitar abad ke-5 atau ke-6 S.M. Oleh sebab itu, jika ingin memahami Bibel Ibrani kita harus memilih satu di antara dua metode. Cara yang pertama ialah menerima saja terjemahan naskah-naskah yang diterjemahkan secara tradisional itu dalam bahasa Ibrani, atau menyelidiki bahasa-bahasa Semit yang masih berhubungan erat dengan bahasa Ibrani, seperti bahasa Arab dan bahasa Suryani. Bahasa Suryani merupakan peninggalan dari suatu bentuk bahasa Aram kuno. Saya tidak menggunakan penterjemahan secara tradisional dalam bahasa Ibrani, karena para ahli Yahudi yang menterjemahkan dan memberi bunyi vokal pada Bibel Ibrani antara abad ke-6 dan ke-10 M. itu tidak dapat berbahasa Ibrani secara lisan dan mungkin mendasarkan rekonstruksi mereka pada dugaan-dugaan saja. Jika memakai metode kedua, untuk menafsirkan bahasa Ibrani yang dipergunakan di dalam Bibel Ibrani, kita harus melakukannya berkenaan dengan fonologi dan morfologi perbandingan dari bahasa-bahasa Semit. Mengingat banyak pembaca yang belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini, sekali lagi saya akan memberikan informasi dasar mengenai hal ini.

Bahasa Semit pada umumnya dianggap sebagai anggota keluarga besar bahasa-bahasa Afro-Asia yang meliputi bahasa Mesir kuno dan bahasa Berber serta Hausa modern. Dari bahasa-bahasa ini, yang termasuk dalam cabang bahasa Semit ialah bahasa Akkadia (bahasa kuno Babilonia dan Asiria), bahasa Kanaan (bahasa Funisia kuno dan bahasa Ibrani kuno adalah suatu varian dari bahasa ini), bahasa Aram (bahasa Suryani) dan bahasa Arab. Salah satu ciri khas yang dimiliki bahasa-bahasa ini adalah sistem mendapatkan akar suatu kata yang biasanya terdiri dari tiga konsonan. Akar-akar kata ini biasanya dipahami sebagai kata kerja, dan ada seperangkat pola asal mula kata kerja ini yang telah membentuk kata kerja lain, dan juga kata benda dan kata sifat yang beraneka ragam. Ini melibatkan beberapa cara pemberian tanda vokal pada akar kata dengan menambahkan huruf-huruf hidup, dan juga penambahan satu atau lebih konsonan pada akar kata yang asli. Dalam kamus-kamus standar bahasa-bahasa Semit, kita biasanya mencari akar kata tertentu, yang kemudian diikuti oleh serangkaian kata jadian yang berasal dari akar kata itu. Sejumlah akar kata yang sama terdapat di beberapa bahasa Semit, dengan arti yang sama atau dengan arti yang berdekatan. Kalau kita telah menguasai sebuah bahasa Semit, akan lebih mudah mempelajari yang lain.

Terkadang, sebuah akar kata yang ada pada dua atau lebih bahasa Semit tidak mudah dikenali sebagai akar kata yang sama oleh seseorang yang tidak berbahasa Semit sebagai bahasa ibu. Ini disebabkan karena satu atau lebih konsonan dalam akar kata itu dapat berubah dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Dalam bahasa Ibrani, contohnya, akar kata yang berarti 'mendiami' adalah hsr, sedangkan dalam bahasa Arab akar kata itu adalah hdr. Penjelasannya adalah bahwa pemakai bahasa Semit secara naluriah mengenai hubungan fonologis antara pelbagai konsonan, yang dapat ditukar tempatnya di antara berbagai bahasa-bahasa Semit. Misalnya, 'g' di dalam satu bahasa atau dialek (yang dapat diucapkan seperti huruf 'g' atau sebagai huruf 'j') dapat berubah menjadi huruf 'q' (qaf) atau 'g' (ghayn) dalam bahasa atau dialek yang lain. Maka kata Negeb dalam bahasa Ibrani (sebagai sebuah nama tempat) berubah menjadi Naqab atau Nagab dalam bahasa Arab.

Perubahan konsonan di antara bahasa-bahasa Semit ini nampaknya mengikuti peraturan-peraturan tertentu, dan untuk mudahnya saya telah tabulasikan perubahan-perubahan tersebut dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab di bagian tepat sebelum Kata Pengantar buku ini. Ada pula masalah metatesis, atau perubahan dalam penempatan konsonan-konsonan dalam akar kata yang sama antara pelbagai bahasa Semit, misalnya akar kata acb, dapat berubah menjadi cab atau bca. Metatesis bukanlah suatu fenomena linguistik yang hanya ditemui dalam bahasa-bahasa Semit. Kita dapat juga menjumpainya dalam bahasa-bahasa yang lain , walaupun metatesis sangat biasa terjadi di antara bahasa-bahasa Semit yang sama. Dalam sebuah dialek Arab, contohnya, zwg (diucapkan zawj), yang berarti 'sepasang' dapat berubah menjadi gwz (diucapkan jawz), yang terakhir adalah bentuk yang biasa terdapat pada dialek Libanon yang saya pakai.

Sama pentingnya, kalau tidak lebih, untuk mengingat bahwa bahasa-bahasa Semit ditulis dalam bentuk konsonan tanpa huruf hidup. Namun, pada terjemahan-terjemahan Kitab Bibel dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa-bahasa lainnya, nama-nama menurut Bibel itu dikemukakan dalam bentuk yang telah diberi huruf vokal, yang berasal dari penyuaraan kaum 'Masoret' atau dari tradisi Kitab Bibel Ibrani, yang seperti telah saya katakan, mungkin salah, sepanjang ahli-ahli Masoret itu perlu menyusun kembali bahasa Ibrani, yang sudah dipergunakan lagi secara umum. Agar membantu para pembaca, yang telah saya lakukan adalah memberikan baik kata Ibrani yang diberi vokal secara tradisional maupun yang belum diberi vokal, dan saya berusaha untuk menunjukkan bagaimana kata yang sama itu, jika diberi vokal dengan cara yang berbeda, dapat mempunyai arti selain yang telah ditentukan menurut tradisi kaum Masoret. Mengenai kata-kata --terutama nama-nama tempat yang berasal dari catatan-catatan kuno Mesir, mustahil untuk mengetahui bagaimana semua itu disuarakan. Maka dari itu, apa yang telah saya lakukan dalam contoh-contoh yang seperti itu adalah mengemukakannya dalam bentuk konsonan mereka dan juga membuat agar mereka dapat dibandingkan dengan bentuk-bentuk konsonan Ibrani. Seperti itu pula, jika saya mengutip kalimat-kalimat lengkap dari Bibel Ibrani, saya telah menuliskan kata-kata Ibrani yang tidak diberi vokal ke dalam bentuk Latin yang belum diberi tanda vokal pula. Ini agaknya tidak banyak membantu dalam pembacaannya, tetapi berkenaan dengan argumentasi saya, saya tidak melihat adanya alternatif lain yang lebih baik.

Untuk meringkaskan: apa yang sama dalam perbendaharaan kata dari berbagai bahasa Semit adalah sejumlah besar akar kata konsonan dan bentuk-bentuk kata yang berasal dari situ; yang terakhir ini tidak mempunyai perbedaan yang besar antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Guna membandingkan kata-kata dalam berbagai bahasa Semit, kita perlu mengeja kata-kata itu hanya dalam bentuk konsonannya, kalau tidak demikian maka seluruh maknanya akan hilang. Maka dari itu saya harus memohon kepada pembaca agar mereka bersabar jika terdapat perbandingan-perbandingan seperti itu, dan agar mereka percaya bahwa perbandingan-perbandingan ini dibuat menurut peraturan yang pantas bagi ilmu bahasa perbandingan.

Berpaling pada metodologi, karena alasan-alasan yang kini telah jelas, saya mendasarkan studi saya ini pada teks konsonan Bibel Ibrani, membanding-bandingkan sebutan tertentu dengan nama-nama tempat di Arabia Barat guna memberikan alternatif bagi penterjemah tradisional. Kita tidak perlu membahasnya lebih jauh dari itu, karena masalah-masalah yang seperti ini akan saya bahas dalam Bab 2. Namun, saya hanya ingin menambahkan bahwa selain meneliti buku-buku dan peta-peta, saya telah pula melakukan sebuah perjalanan ke Arabia Barat, yang saya yakin adalah tanah asal Kitab Bibel, guna menjadi lebih akrab dengan lokasi-lokasi utama yang disebutkan di dalam studi ini dan secara langsung mengamati bagaimana pelbagai lokasi yang telah saya sebutkan tadi itu berhubungan, baik secara geografis maupun secara topografis.

Di atas dasar-dasar inilah argumentasi buku saya ini berdiri. Apakah saya berhasil atau tidak meyakinkan para ahli Bibel Ibrani itu masih harus disangsikan dahulu. Yang dapat saya katakan adalah bahwa saya yakin sepenuhnya atas hasil-hasil penemuan yang dihasilkan oleh analisa toponimis saya, dan saya menanti-nanti datangnya saat para arkeolog menggali beberapa tempat peninggalan zaman purbakala yang telah saya sebutkan, dan semoga menghasilkan bukti-bukti yang lebih lanjut bahwa tanah asal Kitab Bibel Ibrani adalah Arabia, Barat, bukan Palestina.

(sebelum, sesudah)


  Mencari Asal-usul Kitab Suci
  (The Bible Came from Arabia)
  Kamal Salibi
  Penerbit Pustaka Litera AntarNusa
  Jln. Arzimar III, Blok B No.7, Tel.(0251) 329026
  Bogor 16152
 
Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team