|
PENDAHULUAN
Saya akan berbicara langsung mengenai pokok persoalan.
Saya yakin bahwa saya telah mendapatkan suatu penemuan
penting yang seharusnya akan dapat mengubah pengertian kita
tentang Bibel Ibrani, atau apa yang disebut oleh kebanyakan
orang sebagai Perjanjian Lama. Penemuan ini berupa dugaan
kuat bahwa Kitab Bibel itu berasal dari Arabia Barat, dan
bukan dari Palestina, seperti yang sampai kini diduga oleh
para ahli, berdasarkan pada perkiraan geografis.
Bukti yang saya
dapati untuk menentang pernyataan ini akan dibahas pada
bab-bab yang berikut. Dugaan saya ini didasarkan pada
analisa linguistik dari nama-nama tempat yang tertera di
dalam Kitab Bibel, yang menurut pendapat saya sampai
sekarang terus menerus telah diterjemahkan secara tidak
benar. Prosedur ini secara teknis disebut analisa
onomastik, atau barangkali lebih tepat analisa
toponimik. Saya terus-terang mengakui bahwa
penemuan ini masih bersifat teoritis, sebelum diperkuat oleh
penyelidikan-penyelidikan arkeologis. Akan tetapi
bukti-bukti yang saya dapati sangatlah besar sehingga hanya
akan disangsikan oleh orang-orang kolot saja, dan saya yakin
kesangsian itu pun akan lenyap setelah adanya dukungan
selanjutnya oleh para ahli.
Tidak mengherankan, dalam membuka jalan baru, jika saya
melakukan beberapa kesalahan yang mungkin akan dijadikan
kesempatan oleh para kritikus untuk menodai hasil-hasil
penemuan saya ini. Tetapi saya yakin bahwa kesalahan itu
tidak akan begitu besar sehingga dapat mempengaruhi hasil
penemuan ini. Tidak diragukan lagi, banyak orang akan
mengeluh bahwa referensi saya terhadap kepustakaan yang luas
mengenai geografi Bibel Ibrani itu hanya sepintas saja.
Jawaban yang akan saya berikan singkat saja, yaitu bahwa
saya samasekali tidak setuju dengan apa yang telah tertulis
dan merasa tidak perlu membebani para pembaca dengan
sanggahan-sanggahan mengenai penemuan-penemuan yang lalu
satu persatu. Sebenarnya saya khawatir juga bahwa daftar
nama-nama tempat yang menjadi dasar pokok argumentasi buku
ini akan menimbulkan kesulitan kepada pembaca yang tidak
begitu biasa dengan transliterasi abjad Ibrani dan Arab.
Sementara saya harapkan para spesialis akan ikut bersabar
bersama saya, saya sarankan pembaca biasa melewati saja
bagian-bagian itu, dan memusatkan perhatian pada kesimpulan
yang telah saya usahakan seringkas dan sejelas mungkin,
dengan harapan hal ini dapat saya kemukakan dengan
sebaik-baiknya.
Untuk membantu pembaca umum, beberapa pengetahuan dasar
baik mengenai bahasa dalam Bibel Ibrani ataupun
perbandingannya secara linguistik yang berhubungan dengan
bahasa-bahasa Semit, barangkali masih diperlukan.
Ringkasnya, Kitab Bibel Ibrani kanonik itu terdiri dari tiga
puluh sembilan kitab yang dahulunya disusun dalam dua puluh
empat buah gulungan. Lima kitab pertama, yaitu Pentateuch
(atau Torah dalam bahasa Ibrani, yang berarti 'pelajaran')
terdiri dari Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan
Ulangan. Selanjutnya, dua puluh satu kitab Kisah para Rasul:
empat karya bersejarah Yosua, Hakim-hakim, Samuel (2 kitab),
Raja-raja (2 kitab); kitab-kitab Tiga Rasul utama Yesaya,
Yeremia dan Yehezkiel; kemudian dua belas kitab mengenai
para nabi-nabi, yaitu: Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus,
Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia dan
Maleakhi. Dan akhirnya tiga belas kitab puisi-puisi
keagamaan dan kesusastraan mengenai kebijaksanaan,
Tulisan-tulisan, yang terdiri dari Mazmur, Amsal, Yob,
Kidung Agung, Rut, Ratapan, Pengkhotbah, Ester, Daniel,
Ezra, Nehemia dan Tawarikh (2 kitab). Kecuali bagian-bagian
Aramaik dari kitab Daniel (2:4b - 7:28) dan kitab Ezra (4:8
- 6:18), semua karangan orisinalnya yang sampai kepada kita
tertulis dalam bahasa Ibrani.
Hal-hal yang bersangkutan dengan penanggalan dan
penyusunan kitab-kitab Bibel Ibrani itu terlalu rumit untuk
dibahas secara rinci, dan tidaklah penting dalam argumentasi
saya ini. Sejumlah kitab-kitab itu, misalnya, sudah dapat
dipastikan sebagai karya-karya baru yang disusun berdasarkan
naskah-naskah yang lebih tua, sehingga dapat diperkirakan
baru tersusun pada sekitar abad ke-4 S.M., setelah runtuhnya
kerajaan Israil kuno.
Yang sudah pasti ialah bahwa bahasa Ibrani dalam Bibel
secara keseluruhan mempunyai bentuk bahasa sehari-hari,
tidak seperti halnya bahasa Ibrani yang dipakai oleh para
rabbi (pendeta Yahudi) yang berfungsi khusus sebagai bahasa
kesarjanaan. Dengan kata lain, naskah-naskah Bibel Ibrani
yang kita kenal telah ada sebelum abad ke-5 S.M., pada waktu
Kerajaan Israil kuno mengalami kehancurannya dan sewaktu
bahasa Ibrani dan berbagai bentuk bahasa Kanaan sudah tidak
dipakai lagi. Ini berarti kita dapat mempergunakan Bibel
Ibrani itu, paling tidak dalam penelitian ini, sebagai
dokumen yang berhubungan langsung dengan sejarah Israil,
lepas dari soal-soal penanggalan, komposisi, atau siapa
penulisnya.
Karena hampir seluruh argumentasi ini dititikberatkan
pada perkiraan saya bahwa Bibel Ibrani terus-menerus
diterjemahkan dengan tidak benar, maka patut diadakan suatu
pembetulan. Singkatnya, seperti yang akan saya jelaskan
secara lebih mendalam pada Bab 2,
bahasa Ibrani itu tidak lagi dipergunakan sebagai bahasa
sehari-hari pada sekitar abad ke-5 atau ke-6 S.M. Oleh sebab
itu, jika ingin memahami Bibel Ibrani kita harus memilih
satu di antara dua metode. Cara yang pertama ialah menerima
saja terjemahan naskah-naskah yang diterjemahkan secara
tradisional itu dalam bahasa Ibrani, atau menyelidiki
bahasa-bahasa Semit yang masih berhubungan erat dengan
bahasa Ibrani, seperti bahasa Arab dan bahasa Suryani.
Bahasa Suryani merupakan peninggalan dari suatu bentuk
bahasa Aram kuno. Saya tidak menggunakan penterjemahan
secara tradisional dalam bahasa Ibrani, karena para ahli
Yahudi yang menterjemahkan dan memberi bunyi vokal pada
Bibel Ibrani antara abad ke-6 dan ke-10 M. itu tidak dapat
berbahasa Ibrani secara lisan dan mungkin mendasarkan
rekonstruksi mereka pada dugaan-dugaan saja. Jika memakai
metode kedua, untuk menafsirkan bahasa Ibrani yang
dipergunakan di dalam Bibel Ibrani, kita harus melakukannya
berkenaan dengan fonologi dan morfologi perbandingan dari
bahasa-bahasa Semit. Mengingat banyak pembaca yang belum
terbiasa dengan hal-hal seperti ini, sekali lagi saya akan
memberikan informasi dasar mengenai hal ini.
Bahasa Semit pada umumnya dianggap sebagai anggota
keluarga besar bahasa-bahasa Afro-Asia yang meliputi bahasa
Mesir kuno dan bahasa Berber serta Hausa modern. Dari
bahasa-bahasa ini, yang termasuk dalam cabang bahasa Semit
ialah bahasa Akkadia (bahasa kuno Babilonia dan Asiria),
bahasa Kanaan (bahasa Funisia kuno dan bahasa Ibrani kuno
adalah suatu varian dari bahasa ini), bahasa Aram (bahasa
Suryani) dan bahasa Arab. Salah satu ciri khas yang dimiliki
bahasa-bahasa ini adalah sistem mendapatkan akar suatu kata
yang biasanya terdiri dari tiga konsonan. Akar-akar kata ini
biasanya dipahami sebagai kata kerja, dan ada seperangkat
pola asal mula kata kerja ini yang telah membentuk kata
kerja lain, dan juga kata benda dan kata sifat yang beraneka
ragam. Ini melibatkan beberapa cara pemberian tanda vokal
pada akar kata dengan menambahkan huruf-huruf hidup, dan
juga penambahan satu atau lebih konsonan pada akar kata yang
asli. Dalam kamus-kamus standar bahasa-bahasa Semit, kita
biasanya mencari akar kata tertentu, yang kemudian diikuti
oleh serangkaian kata jadian yang berasal dari akar kata
itu. Sejumlah akar kata yang sama terdapat di beberapa
bahasa Semit, dengan arti yang sama atau dengan arti yang
berdekatan. Kalau kita telah menguasai sebuah bahasa Semit,
akan lebih mudah mempelajari yang lain.
Terkadang, sebuah akar kata yang ada pada dua atau lebih
bahasa Semit tidak mudah dikenali sebagai akar kata yang
sama oleh seseorang yang tidak berbahasa Semit sebagai
bahasa ibu. Ini disebabkan karena satu atau lebih konsonan
dalam akar kata itu dapat berubah dari satu bahasa ke bahasa
yang lain. Dalam bahasa Ibrani, contohnya, akar kata yang
berarti 'mendiami' adalah hsr,
sedangkan dalam bahasa Arab akar kata itu adalah
hdr. Penjelasannya adalah bahwa
pemakai bahasa Semit secara naluriah mengenai hubungan
fonologis antara pelbagai konsonan, yang dapat ditukar
tempatnya di antara berbagai bahasa-bahasa Semit. Misalnya,
'g' di dalam satu bahasa atau
dialek (yang dapat diucapkan seperti huruf
'g' atau sebagai huruf
'j') dapat berubah menjadi
huruf 'q'
(qaf) atau
'g'
(ghayn) dalam bahasa atau
dialek yang lain. Maka kata Negeb dalam bahasa Ibrani
(sebagai sebuah nama tempat) berubah menjadi Naqab atau
Nagab dalam bahasa Arab.
Perubahan konsonan di antara bahasa-bahasa Semit ini
nampaknya mengikuti peraturan-peraturan tertentu, dan untuk
mudahnya saya telah tabulasikan perubahan-perubahan tersebut
dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab di bagian tepat sebelum
Kata Pengantar buku ini. Ada pula masalah
metatesis, atau perubahan dalam
penempatan konsonan-konsonan dalam akar kata yang sama
antara pelbagai bahasa Semit, misalnya akar kata acb, dapat
berubah menjadi cab atau bca. Metatesis bukanlah suatu
fenomena linguistik yang hanya ditemui dalam bahasa-bahasa
Semit. Kita dapat juga menjumpainya dalam bahasa-bahasa yang
lain , walaupun metatesis sangat biasa terjadi di antara
bahasa-bahasa Semit yang sama. Dalam sebuah dialek Arab,
contohnya, zwg (diucapkan
zawj), yang berarti 'sepasang'
dapat berubah menjadi gwz
(diucapkan jawz), yang terakhir
adalah bentuk yang biasa terdapat pada dialek Libanon yang
saya pakai.
Sama pentingnya, kalau tidak lebih, untuk mengingat bahwa
bahasa-bahasa Semit ditulis dalam bentuk konsonan tanpa
huruf hidup. Namun, pada terjemahan-terjemahan Kitab Bibel
dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa-bahasa lainnya,
nama-nama menurut Bibel itu dikemukakan dalam bentuk yang
telah diberi huruf vokal, yang berasal dari penyuaraan kaum
'Masoret' atau dari tradisi Kitab Bibel Ibrani, yang seperti
telah saya katakan, mungkin salah, sepanjang ahli-ahli
Masoret itu perlu menyusun kembali bahasa Ibrani, yang sudah
dipergunakan lagi secara umum. Agar membantu para pembaca,
yang telah saya lakukan adalah memberikan baik kata Ibrani
yang diberi vokal secara tradisional maupun yang belum
diberi vokal, dan saya berusaha untuk menunjukkan bagaimana
kata yang sama itu, jika diberi vokal dengan cara yang
berbeda, dapat mempunyai arti selain yang telah ditentukan
menurut tradisi kaum Masoret. Mengenai kata-kata --terutama
nama-nama tempat yang berasal dari catatan-catatan kuno
Mesir, mustahil untuk mengetahui bagaimana semua itu
disuarakan. Maka dari itu, apa yang telah saya lakukan dalam
contoh-contoh yang seperti itu adalah mengemukakannya dalam
bentuk konsonan mereka dan juga membuat agar mereka dapat
dibandingkan dengan bentuk-bentuk konsonan Ibrani. Seperti
itu pula, jika saya mengutip kalimat-kalimat lengkap dari
Bibel Ibrani, saya telah menuliskan kata-kata Ibrani yang
tidak diberi vokal ke dalam bentuk Latin yang belum diberi
tanda vokal pula. Ini agaknya tidak banyak membantu dalam
pembacaannya, tetapi berkenaan dengan argumentasi saya, saya
tidak melihat adanya alternatif lain yang lebih baik.
Untuk meringkaskan: apa yang sama dalam perbendaharaan
kata dari berbagai bahasa Semit adalah sejumlah besar akar
kata konsonan dan bentuk-bentuk kata yang berasal dari situ;
yang terakhir ini tidak mempunyai perbedaan yang besar
antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Guna
membandingkan kata-kata dalam berbagai bahasa Semit, kita
perlu mengeja kata-kata itu hanya dalam bentuk konsonannya,
kalau tidak demikian maka seluruh maknanya akan hilang. Maka
dari itu saya harus memohon kepada pembaca agar mereka
bersabar jika terdapat perbandingan-perbandingan seperti
itu, dan agar mereka percaya bahwa perbandingan-perbandingan
ini dibuat menurut peraturan yang pantas bagi ilmu bahasa
perbandingan.
Berpaling pada metodologi, karena alasan-alasan yang kini
telah jelas, saya mendasarkan studi saya ini pada teks
konsonan Bibel Ibrani, membanding-bandingkan sebutan
tertentu dengan nama-nama tempat di Arabia Barat guna
memberikan alternatif bagi penterjemah tradisional. Kita
tidak perlu membahasnya lebih jauh dari itu, karena
masalah-masalah yang seperti ini akan saya bahas dalam
Bab 2. Namun, saya hanya ingin
menambahkan bahwa selain meneliti buku-buku dan peta-peta,
saya telah pula melakukan sebuah perjalanan ke Arabia Barat,
yang saya yakin adalah tanah asal Kitab Bibel, guna menjadi
lebih akrab dengan lokasi-lokasi utama yang disebutkan di
dalam studi ini dan secara langsung mengamati bagaimana
pelbagai lokasi yang telah saya sebutkan tadi itu
berhubungan, baik secara geografis maupun secara
topografis.
Di atas dasar-dasar inilah argumentasi buku saya ini
berdiri. Apakah saya berhasil atau tidak meyakinkan para
ahli Bibel Ibrani itu masih harus disangsikan dahulu. Yang
dapat saya katakan adalah bahwa saya yakin sepenuhnya atas
hasil-hasil penemuan yang dihasilkan oleh analisa toponimis
saya, dan saya menanti-nanti datangnya saat para arkeolog
menggali beberapa tempat peninggalan zaman purbakala yang
telah saya sebutkan, dan semoga menghasilkan bukti-bukti
yang lebih lanjut bahwa tanah asal Kitab Bibel Ibrani adalah
Arabia, Barat, bukan Palestina.
|