|
2. MASALAH METODE
Dalam mempelajari sesuatu kita harus belajar melupakan;
didalam bidang penyelidikan Kitab Bibel ini sangat mutlak.
Karena bahasa yang dipakai dalam Bibel Ibrani telah lama
tidak dipergunakan lagi, beberapa waktu setelah abad ke-6
atau ke-5 S.M., maka tidak mungkin kita mengetahui
pengucapan serta pemberian tanda vokal aslinya seperti yang
dipergunakan orang-orang dahulu itu. Kita pun tidak
mengetahui apa-apa tentang orthografi, tatabahasa, sintaksis
serta langgam suaranya. Perbendaharaan kata di Kitab Bibel
Ibrani yang kita ketahui sangat terbatas pada kata-kata yang
tertera dalam teks-teks Kitab Bibel itu.
Memang benar, bahasa Ibrani para rabbi (pendeta Yahudi)
telah memperlengkapi kita dengan perbendaharaan kata dari
Bibel Ibrani yang sebagian didasarkan pada perbendaharaan
kata kuno Kitab Bibel dan sebagian lagi dipinjam dari bahasa
Aram dan bahasa-bahasa lain. Akan tetapi kita harus
mengingat bahwa bahasa Ibrani para rabbi Yahudi itu bukanlah
suatu bahasa lisan; bahasa ini merupakan suatu bahasa
kesarjanaan saja. Lagi pula, banyak kata di dalam Kitab
Bibel yang hanya timbul sekali atau dua kali saja sehingga
arti kata-kata itu masih dapat
diperdebatkan.[1]
Oleh sebab itu, untuk membaca dan mengerti Bibel Ibrani kita
harus melakukannya menurut tradisi para pendeta Yahudi atau
dengan cara mempelajari bahasa-bahasa Semit lainnya yang
masih dipakai. Saya telah memakai cara yang kedua,
mendasarkan penafsiran saya pada bahasa Arab, dan dalam
beberapa hal pada bahasa Suryani, yang merupakan bentuk
modern bahasa Aram kuno. Pendeknya, saya telah memperlakukan
bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sebenarnya sudah tak
dikenal lagi dan yang perlu diungkapkan kembali, bukan lagi
sebagai bahasa yang teka-teki dasarnya telah dipecahkan.
Berkat kejujuran kesarjanaan kaum Masoret atau
tradisional Yahudi, teks-teks dalam bentuk konsonan Bibel
Ibrani itu telah diturunkan kepada kita dari zaman kuno
dalam keadaan yang hampir dalam keadaan utuh. Sayang,
sarjana-sarjana modern jarang yang menghargai hal ini.
Seringkali, bila mereka gagal dalam memahami sebuah kutipan
dari Kitab Bibel, karena prasangka-prasangka terhadap
konteks geografisnya, mereka dengan salah menganggap bahwa
teks-teks itu telah diubah, seperti halnya seorang pekerja
yang tidak terampil menyalahkan alat-alatnya. Memang benar,
beberapa kitab dalam Bibel Ibrani itu merupakan kumpulan
sumber naskah yang lebih tua dan yang telah disusun kembali.
Ini tidak diragukan lagi. Tetapi mungkin saja berbagai kitab
teks Bibel kanonik yang ada pada kita, telah dalam bentuknya
yang sekarang ini sebelum runtuhnya kerajaan Israil, yaitu
paling lambat pada abad ke-5 atau ke-6 S.M. Dugaan ini
timbul dengan adanya kenyataan bahwa Bibel Ibrani telah
diterjemahkan secara keseluruhan ke dalam bahasa Aram
(kitab-kitab Targum) pada zaman Achaemenid, dan ke dalam
bahasa Yunani (kitab Septuaginta) pada awal periode
Hellenis. Gulungan kertas Laut Mati, yang telah begitu
banyak menarik perhatian dalam dasawarsa belakangan ini,
jauh lebih muda dibandingkan dengan kedua terjemahan itu.
Oleh sebab itu gulungan kertas Laut Mati mungkin dapat
berguna dalam studi mengenai agama Yahudi Palestina pada
zaman Rumawi; akan tetapi tidak akan dapat banyak menolong
dalam pemecahan teka-teki Kitab Bibel Ibrani.
Kita kini mengetahui bahwa Bibel Ibrani yang mula-mula
ditulis dalam bentuk konsonan. Kemudian diberi vokal, dengan
mempergunakan tanda-tanda vokal khusus, oleh kaum Masoret
Palestina dan Babilonia antara abad ke-6 dan ke-9 atau ke-10
tahun Masehi. Dengan kata lain, mereka yang melakukan ini
sebenarnya menyusun kembali sebuah bahasa yang telah tidak
dipergunakan lagi selama seribu tahun atau lebih. Kaum
Masoret ini apakah mereka berbahasa Aram atau tidak,
melakukan tugas mereka dengan seluruh pengetahuan yang
mereka miliki. Karena mereka menghormati Bibel sebagai kitab
suci, maka dapat dipastikan bahwa mereka berhati-hati agar
tidak mengubahnya, dan membiarkan teks konsonannya seperti
apa adanya, sekalipun mereka menemukan sebuah kutipan yang
menurut mereka tidak masuk akal. Mereka hanya mencatat
bilamana ada atau sepertinya ada kejanggalan-kejanggalan
dalam ejaan atau tata bahasa, dan tampaknya tidak ada
usaha-usaha yang disengaja untuk membetulkan
kejanggalan-kejanggalan itu. Ironisnya, jika para ahli Bibel
modern berhati-hati seperti halnya para leluhur Masoret
mereka, maka Ilmu Pengetahuan Bibel modern tidak akan
membingungkan seperti sekarang ini, dan proses mempelajari
yang sebenarnya bidang ini tidak perlu begitu banyak
melupakan apa yang telah diketahui.
Teks-teks suci, pada umumnya, dipelihara dalam bentuk
aslinya oleh mereka yang taat dan setia dalam agama apa pun,
sehingga hampir tidak berubah. Diturunkan melalui tradisi,
seperti halnya teks-teks suci, nama-nama tempat juga jarang
berubah, paling tidak dalam struktur dasarnya, beberapa pun
lamanya proses penurunan ini berlangsung. Jarang sekali
nama-nama itu diubah, akan tetapi jika ini terjadi,
nama-nama tua itu tetap dikenang oleh masyarakat, dan lebih
sering dipergunakan kembali pada suatu saat.
Bertahannya nama-nama tempat inilah yang memungkinkan
saya untuk melakukan suatu analisa toponimis, dan terkadang
memberi lebih banyak informasi mengenai geografi Bibel
Ibrani daripada yang dapat kita peroleh melalui arkeologi.
Dalam hal-hal tertentu, studi mengenai nama-nama tempat dan
arkeologi mempunyai tujuan yang sama kecuali dalam satu
perbedaan yang penting. Kalau penemuan-penemuan arkeologis
itu bisu, jika terdapat inskripsi-inskripsi apa pun adanya,
maka nama-nama tempat dapat berbicara dengan jelas. Maksud
saya, bukan hanya memberitahu kita apa sebenarnya nama-nama
tempat itu, bagaimana diucapkan, apa arti dan dari bahasa
atau jenis bahasa mana asalnya. Tanpa adanya inskripsi,
penemuan-penemuan arkeologi sangatlah sulit untuk
ditafsirkan, begitu sulitnya sampai-sampai pertengkaran di
antara para arkeolog, mengenai arti sejarah suatu penemuan
tertentu, seringkali memburuk menjadi permusuhan pribadi.
Walaupun nama-nama tempat tidak memberikan informasi
sebanyak yang dihasilkan oleh penggalian-penggalian
arkeologis, namun apa yang diberikan paling tidak merupakan
suatu kepastian yang relatif atau mutlak.
Saya akan mengemukakan sebuah contoh. Kalau seseorang
menemukan sekelompok nama-nama tempat di Arabia Barat yang
berasal dari sebuah bahasa yang bentuk konsonannya sama
dengan bahasa Yahudi yang dipakai dalam Bibel atau bahasa
Aram yang dipakai dalam Bibel, maka orang itu dapat
menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa yang sama atau serupa
dengan bahasa Aram atau Yahudi Bibel pernah dipergunakan di
Arabia Barat, meskipun bahasa Arablah yang merupakan bahasa
sehari-hari di sana selama 2000 tahun. Kalau dapat lebih
jauh lagi dibuktikan bahwa nama-nama tempat menurut Bibel,
apa pun asal linguistiknya, terdapat pula di Arabia Barat
yang sampai kini masih ada, sedangkan hanya sedikit yang
tertinggal di Palestina, maka dapat dimaklumi jika kita
bertanya: apakah Bibel Ibrani lebih merupakan catatan
mengenai perkembangan sejarah di Arabia Barat daripada di
Palestina?
Dalam suatu usaha untuk menjawab pertanyaan itu, strategi
yang saya pergunakan pada halaman-halaman berikutnya adalah
dengan membandingkan sekelompok nama-nama tempat Semit kuno,
yang dalam Kitab Bibel ditulis dalam ejaan Ibrani, dengan
nama-nama tempat yang benar-benar ada di Asir dan selatan
Hijaz, yang oleh kamus-kamus geografi Arab Saudi modern
ditulis dalam ejaan Arab. Kira-kira sudah 3000 tahun waktu
yang memisahkan bentuk Bibel itu dari nama-nama tempat ini
dengan persamaannya yang kini masih ada. Ini merupakan
jangka waktu yang sangat lama, lebih dari satu pergeseran
bahasa yang mestinya terjadi di daerah-daerah di Timur
Dekat, apalagi dengan adanya peralihan dialek-dialek pada
setiap tahap. Maka dari itu, bagi saya yang mengherankan
adalah bukan kenyataan bahwa nama-nama tempat menurut Bibel
telah mengalami perubahan; tetapi bahwasanya nama-nama itu
tetap ada dalam bentuk Arab yang mudah dikenali.
Adalah wajar jika nama-nama tempat menurut Bibel di
Arabia Barat telah mengalami perubahan pada fonologi dan
morfologinya, setelah hampir 3000 tahun. Pada awal buku ini,
sebuah catatan yang berjudul 'Perubahan bentuk Konsonan,
menunjukkan bagaimana konsonan-konsonan tertentu dalam
bahasa Ibrani dapat menjadi konsonan-konsonan lain dalam
bahasa Arab dan sebaliknya. Catatan yang sama memperlihatkan
pula seringnya terjadi metatesis (pindahnya huruf-huruf
konsonan dalam suatu kata) antara bahasa-bahasa Semit dan
bahkan antara dialek-dialek dalam bahasa yang sama. Sebagai
tambahan dari perubahan yang disebabkan oleh
peralihan-peralihan bahasa dan dialek-dialek ini, kita perlu
memperhatikan pula distorsi yang disebabkan oleh ditulisnya
nama-nama tempat tersebut dalam bahasa Ibrani Bibel dan
dalam bahasa Arab modern.
Bahasa tulisan (dengan cara menggunakan huruf-huruf abjad
atau dengan cara lain) hanya dapat mengira-ngira saja
fonetik dari sebuah percakapan saja. Inilah sebabnya mengapa
para ahli bahasa berpaling pada penggunaan begitu banyak
simbol-simbol yang bukan abjad dalam pekerjaan mereka,
karena mereka tahu benar bahwa simbol-simbol yang ruwet ini
pun tidak dapat mewakili dengan akurat bunyi-bunyi yang
sebenarnya.
Bagaimana nama-nama tempat, yang ada dalam bab ini dan
ditempat lain sebenarnya diucapkan pada zaman Bibel, tidak
dapat diketahui. Untuk mengetahui persis bagaimana diucapkan
sekarang akan memerlukan penelitian lapangan yang sangat
luas. Akan tetapi dalam memperbandingkan bentuk-bentuk
tertulis nama-nama ini, baik dalam bahasa Ibrani Bibel
maupun dalam bahasa Arab modern, kita harus mengingat tabiat
abjad Semit itu. Pada mulanya abjad ini mengenal tidak lebih
dari 22 konsonan (termasuk glottal stop yang menurut
bahasa-bahasa Semit merupakan sebuah konsonan, dan dua buah
semi-vokal, yaitu w dan
y), walaupun bahasa lisan Semit
yang sebenarnya sejak dahulu memakai lebih dari ini. Dalam
bahasa Ibrani yang dipakai para rabbi Yahudi, sebuah
konsonan tambahan ditambahkan pada abjad aslinya dengan cara
memberi titik pada huruf sin, yang dapat disuarakan sebagai
s atau
s (dengan topi atas). Maka
(s) mewakili huruf
s, dan
v menandakan
s (dengan topi atas). Bahasa
Arab, yang meminjam tulisannya dari bahasa Semit lainnya,
menggunakan 22 abjad dasar mereka, pada awalnya. Tetapi lama
kelamaan enam huruf lagi ditambahkan pada huruf-huruf yang
telah ada. Maka t (ta') diberi
satu lagi titik menjadi huruf t
(tsa'); h (ha) diberi titik
menjadi huruf h (kho');
d (dal) diberi titik menjadi
huruf d (dzal);
s (shod) diberi titik menjadi
huruf s (dlod);
t (tho') diberi titik menjadi
huruf z (dho'); dan
'ayn (ain) diberi titik menjadi
huruf g (ghoin) (lihat
'Kunci Transliterasi bahasa
Ibrani dan Arab' pada awal buku ini). Dalam keenam
contoh di atas, huruf-huruf baru yang ditambahkan ini
mewakili konsonan-konsonan yang secara fonologis berhubungan
dengan konsonan-konsonan yang diwakili oleh huruf-huruf yang
lama.
Maka, dalam bahasa Arab, seperti yang tertulis aslinya,
tidak semua konsonan yang terdengar dalam percakapan
mempunyai huruf tersendiri dalam abjad untuk mewakili
mereka. Saya yakin bahwa begitu juga halnya dengan bahasa
Ibrani Bibel, yang dalam bahasa lisan dalam berbagai
dialeknya mestinya terdapat konsonan-konsonan yang dalam
tulisan diwakili oleh huruf-huruf yang mewakili konsonan
lain. Contohnya, tidak ada alasan untuk menganggap pemakai
bahasa Ibrani di Arabia Barat atau ditempat lain untuk tidak
mengucapkan h maupun h yang masih saling berhubungan, sambil
menggunakan h untuk mewakili kedua konsonan itu di dalam
tulisan. Dalam pengucapan bahasa Ibrani rabbi (yang
mencerminkan pengaruh bahasa Aram),
b dapat diucapkan sebagai
b dan
v;
g sebagai
g dan
g (dengan titik di atas);
k sebagai
k dan
h; sebagai
p dan
p (atau
f);
t sebagai
t dan
t. Ada kemungkinan besar para
pemakai bahasa Ibrani kuno (paling tidak dalam beberapa
dialek) juga mengucapkan konsonan-konsonan seperti
d,
d dan
z yang tidak mempunyai
huruf-huruf yang mewakili mereka dalam abjad Ibrani.
Bagaimana pemakai-pemakai bahasa Ibrani kuno dapat
membedakan dalam percakapan antara
s
(s, atau sin) dan
s
(j, atau samek) adalah suatu
pernyataan yang bagus sekali. Kemungkinan,
s mewakili sebuah gabungan
bunyi s,
s dan
z.
Mengingat semua ini, persamaan antara pengucapan
nama-nama tempat di Arabia Barat dalam bahasa Ibrani kuno
dan bentuk Arab modern mungkin lebih dekat daripada yang
kita duga. Sebuah studi lapangan secara mendalam mengenai
bagaimana nama-nama Arab itu sebenarnya diucapkan sekarang
ini pasti akan dapat membantu memecahkan persoalan ini.
Namun yang sudah pasti ialah bahwa abjad Arab, dengan enam
buah huruf tambahannya, telah diperlengkapi untuk
menghasilkan perkiraan yang lebih dekat kepada bentuk asli
konsonan nama-nama itu daripada abjad Ibrani.
Sudah tentu, suatu persesuaian yang dapat diperlihatkan
antara nama-nama tempat Bibel dengan nama-nama tempat di
Arabia sendiri tidak akan cukup untuk membuktikan bahwa
Arabia Barat adalah tanah asal Kitab Bibel Ibrani.
Pertama-tama kita harus memastikan bahwa persetujuan
toponimis yang sama tidak terdapat di daerah-daerah lain di
jazirah Arabia atau di bagian-bagian lain di Timur Dekat.
Kalau hal ini sudah dapat dipastikan, kita harus mencoba
untuk mengetahui benar tidaknya koordinat-koordinat dalam
Bibel yang diberikan kepada tempat-tempat yang kini masih
ada, atau yang sepertinya masih ada di Arabia, cocok dengan
tempat-tempat pasangannya di Arabia Barat. Dengan kata lain,
jika kita mengenali sebuah tempat di Arabia Barat yang
namanya sepertinya cocok dengan Beer-lahai-roi
(b'r lhy r'y) dalam Bibel, kita
harus kemudian menentukan apakah tempat ini terletak di
sebuah jalan yang menuju ke suatu tempat yang bernama Shur
(swr), antara sebuah tempat
yang bernama Kadesh (qds) dan
sebuah lagi yang bernama Bered
(brd) (lihat Kejadian 16:7,
14). [2] Dari
sini, kita dapat menyerahkan prosedur selanjutnya pada
arkeologi, yang akan mencoba untuk menentukan apakah lokasi
di Arabia Barat yang namanya diambil dari Kitab Bibel itu
mungkin dihuni pada periode Bibel itu layak, dan dengan
kebudayaan materi apa tempat ini diasosiasikan. Karya yang
sekarang ini hampir seluruhnya berdasarkan toponimik.
Tetapi sebelum tesis ini kemajuan-kemajuannya dapat
dipandang sebagai pasti, kita harus dapat menganggap bahwa
arkeologi perlu memastikan penemuan-penemuan itu yang telah
dijadikan dasar arkeologi itu.
Sebagai tambahan pada arkeologi, ada cara-cara lain untuk
memastikan benar tidaknya sejarah Bibel itu berlangsung di
Arabia Barat dan bukan di Palestina. Hal-hal yang
berhubungan dengan topografi, geologi dan mineral,
hidrologi, flora dan fauna perlu diperhatikan. Dengan kata
lain, jika seseorang menemukan sebuah sungai atau anak
sungai di Arabia Barat yang bernama Pishon, misalnya
kemungkinan besar sungai itu bukan sungai Pishon dalam Kitab
Bibel kecuali jika mengelilingi suatu daerah tempat emas
dapat diketemukan, atau yang pada zaman dahulu terdapat emas
(lihat Kejadian 2:11-12). Suatu tanda kepastian bahwa
kota-kota dalam Bibel Sodom dan Gomorrah tidak mungkin
merupakan kota-kota kuno di kawasan Laut Mati, karena di
daerah itu tidak terdapat sebuah gunung berapi yang
dahulunya menghancurkan kota-kota tersebut (lihat Kejadian
19:24-28). Jika seseorang menemukan sebuah kota yang bernama
Sodom dan Gomorrah di Arabia Barat, orang itu harus mencari
sebuah gunung berapi atau mencari puing-puing vulkanis di
sekitar daerah itu. Begitu pula, jika istana Sulaiman
terbuat dari 'batu-batu mahal' yang 'dipahat menurut ukuran,
digergaji dengan menggunakan gergaji, dari depan dan
belakang', dan ada pula 'batu-batu besar, batu-batu yang
besarnya delapan sampai sepuluh hasta' (1 Raja-raja 7:9-10),
bahan bangunan tersebut tidak mungkin batu kapur Palestina
biasa. Batu itu kemungkinan adalah batu granit, yang masih
dapat ditemukan dan digali di Arabia Barat. Bahan yang sama
mestinya dipergunakan untuk mendirikan bangunan di
sekeliling tembok-tembok kuil Sulaiman, mengingat bahwa
bangunan ini terbuat dari batu 'yang telah disiapkan di
penggalian', sehingga 'tak kedengaran palu atau kapak selama
masa pembangunannya' (1 Raja-raja
6:7).[3]
Walaupun kata 'salju' atau slg
dalam Bibel Ibrani kadang-kadang berarti tumbuhan soapwort
(bukan tumbuhan Saponaria officinalis, tetapi mungkin
tumbuhan Gypsophila arabica, lihat Catatan 1),
[4] dan
terkadang berarti salju yang sebenarnya. Jika keadaannya
begitu, maka kita harus memastikan adanya salju yang turun
dan menetap di pegunungan Arabia Barat --dan kenyataannya
memang demikian-- sebelum memulai menduga bahwa tanah asal
Bibel Ibrani itu terletak di
sana.[5]
Minyak yang disebutkan dalam Kitab Bibel mungkin saja minyak
wijen dan bukan minyak zaitun, mengingat bahwa wijen sampai
kini merupakan produk utama daerah Asir. Namun kenyataan
bahwa tumbuhan zaitun liar masih tumbuh di Arabia Barat,
menunjukkan bahwa buah zaitun yang tertera di dalam Kitab
Bibel mungkin saja dibudidayakan di sana pada zaman dahulu,
bersamaan dengan tumbuhan tin, buah badam, delima dan
anggur, yang semua tertulis dalam Bibel Ibrani dan masih
tetap dibudidayakan di sana sampai kini. Pula, buah zaitun
masih dapat ditemukan pada dua bagian jazirah Arab, di
sebelah Utara Hijaz dan di Oman. Oleh sebab itu, agaknya
masih masuk di akal jika kita menganggap bahwa minyak yang
disebut-sebut di dalam Kitab Bibel adalah minyak Zaitun,
bukan minyak wijen. Dalam Imamat 11:29, 'kadal besar'
(sb) termasuk dalam kelompok
reptil-reptil yang diharamkan untuk dimakan. 'Kadal monitor'
atau bengkarung dari Palestina dan Sinai disebut waral
(wrl) atau waran
(wrn).
Sb yang tertera dalam Kitab
Bibel sudah pasti adalah biawak gurun pasir Arabia atau
dabb
(db).[6]
Namun walaupun Bibel Ibrani berbicara mengenai berbagai
jenis burung, kitab ini samasekali tidak pernah
menyebut-nyebut tentang ayam maupun angsa. Menurut ahli
geografi kuno Strabo (16:4:2), daerah-daerah Arabia di
seberang Laut Merah dari Etiopia aneh karena di sana
terdapat 'burung-burung ... dari semua jenis, kecuali angsa
dan keluarga gallinaceous'.
Semua ini membuktikan perlunya untuk mempertimbangkan
kembali lokasi geografis tanah asal Kitab Bibel, terlebih
lagi karena semuanya mendukung bukti-bukti lain yang
relevan.
Kembali pada ilmu toponimik,
yang menjadi dasar buku ini, perlu diperhatikan bahwa sebuah
pengenalan secara benar atas nama-nama tempat menurut Bibel
dapat memperdalam dan terkadang mengubah samasekali
pengetahuan yang ada tentang bahasa Ibrani. Bagi bahasa
Ibrani Bibel, nama-nama tempat, jika diperlakukan sebagai
sebuah bahasa yang hendak dibaca dan dimengerti, sifatnya
mirip dengan nama-nama keningratan atau kedewaan pada
tulisan-tulisan pajangan pada zaman Mesir kuno, yang memberi
petunjuk untuk membaca dan mengerti sebuah bahasa yang telah
mati.[7] Kalau
kita nmengakui nama-nama tempat menurut Bibel dalam bentuk
yang telah ada, maka seluruh sebutan yang membawa nama
tersebut akan mengungkapkan misterinya sehingga dapat
dimengerti. Kenyataannya adalah bahwa banyak kata biasa
(kata-kata kerja, nama-nama benda, kata-kata tambahan dan
kata-kata sifat, terkadang dengan kata depan
b,
l atau
m) yang secara tradisional
telah dibaca dengan salah dalam konteks Bibel mereka sebagai
nama-nama tempat. Sebaliknya, sudah tidak terhitung lagi
banyaknya nama-nama tempat menurut Bibel, yang tidak diduga
sebagai nama-nama tempat, dianggap sebagai kata-kata kerja,
kata-kata benda, kata-kata tambahan atau sebagai kata-kata
sifat. Perbedaan yang benar antara sesuatu yang sebenarnya
merupakan sebuah nama tempat dan yang bukan dalam teks Bibel
dapat membuat banyak pembacaan tradisional (dan tentunya
juga penterjemahan-penterjemahan standar) kacau.
Catatan-catatan Mesir dan Mesopotamia kuno, jika
pembacaan atas mereka dipertimbangkan kembali (seperti yang
seharusnya, lihat Bab 1), dapat
banyak membantu dalam mengungkapkan letak geografi Bibel.
Dalam catatan-catatan itu, nama-nama tempat lainnya masih
ada di Arabia Barat. Yang juga sangat membantu adalah
karya-karya para sejarawan dan ahli-ahli geografi dari zaman
Klasik. Dalam Bab sebelumnya, bukti-bukti yang didapat dari
karya Herodotus disebutkan berhubungan dengan emigrasi
orang-orang Filistin dan Kanaan dari Arabia Barat menuju ke
pantai Suria; dalam Bab 4,
bukti-bukti dari geografi Strabo akan dipergunakan untuk
mengenali lokasi persis kota Beersheba di Arabia Barat, yang
berbeda dengan kota Beersheba di Palestina. Apa yang
terdapat di dalam Qur'an mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan geografi dan sejarah dalam Bibel, yang ternyata
sangat banyak, harus benar-benar diperhatikan pula, tetapi
kenyataannya belum begitu sampai sekarang.
Teks Qur'an dikumpulkan pada waktu yang hampir bersamaan
dengan saat kaum Masoret memulai memberi vokal dan
membanding-bandingkan secara teliti teks-teks Kitab Bibel
Ibrani. Menurut tradisi Islam, edisi Qur'an yang terakhir,
yang seperti ada pada kita sekarang, dibuat pada zaman
kekuasaan Khalifah Usman, atau antara tahun 644 dan 655 M.
Bilamana kitab suci ini membicarakan mengenai para leluhur
Ibrani, tentang Israil, atau mengenai para nabi kaum Yahudi,
Qur'an menyebut beberapa nama tempat yang dapat dipastikan
berasal dari Arabia Barat. Persamaan antara nama-nama tempat
di dalam Qur'an pada suatu konteks, dengan nama-nama tempat
di dalam Bibel dalam konteks yang sama, kadang-kadang sangat
menarik. Contohnya, bilamana Bibel menyebut nama sebuah
gunung di Arabia Barat, Qur'an sebaliknya tidak, tetapi
menurut Qur'an nama itu merupakan nama sebuah lembah, kota
atau suatu lokasi lain di daerah yang sama. Maka Nabi Musa,
menurut Kitab Injil (Keluaran 3:1f), dipanggil oleh malaikat
Yahweh dari sebuah belukar yang bernyala-nyala di Gunung
Horeb (hrb). Menurut Qur'an
(20:12, 79:16), panggilan terhadap Nabi Musa tersebut
terjadi di 'lembah suci' Tuwa
(tw). Sampai saat ini Gunung
Horeb dalam Bibel ini telah dicari-cari di Sinai, namun
namanya belum berhasil ditemukan. 'Belukar yang
bernyala-nyala, namun tidak musnah terbakar' telah
diperkirakan oleh para ahli sebagai suatu referensi terhadap
sebuah gunung berapi, akan tetapi belum ada tanda-tanda
kegiatan vulkanis yang dapat dijumpai di Sinai. Hal ini
telah membuat sejumlah penyelidik berpaling dari Sinai guna
mencari Horeb di daerah-daerah vulkanis di bagian Utara
Hijaz (lihat Kraeling pada halaman-halaman 108-110), tetapi
sekali lagi tanpa hasil. Namun Qur'an memberitahukan kita
letak persis Horeb: sebuah punggung bukit yang terasingkan
di daerah pantai Asir, suatu tempat yang bernama Jabal Hadi.
Di Jabal Hadi sampai kini masih berdiri sebuah dusun yang
bernama Tiwa (tw), yang
mestinya memberikan namanya kepada sebuah anak lembah Wadi
Baqarah yang berdekatan dengannya - yaitu 'lembah suci'
dalam Qur'an tempat Nabi Musa menerima panggilannya. Di Wadi
Baqarah sampai kini masih berdiri sebuah desa yang bernama
Harib (hrb), di mana punggung
bukit Jabal Hadi yang berdekatan mestinya mendapatkan nama
Bibelnya. Seluruh daerah tersebut dipenuhi oleh
ladang-ladang lahar dan di sana gunung-gunung berapi mungkin
pernah aktif.[8]
Yang berkenaan dengan kisah-kisah dalam Bibel, Qur'an
tidak sekadar mengulang bahan-bahan Bibel itu dalam bentuk
yang berlainan, yang pada saat ini pandangan yang umumnya
dipegang oleh para ahli. Isinya, yang sejalan dengan Kitab
Bibel Ibrani (di sini tidak termasuk kitab-kitab Injil
Perjanjian Baru Kristen) saya yakin merupakan versi yang
berdiri sendiri menurut tradisi kuno Arab Barat yang sama,
dan memang harus diperlakukan demikian. Kalau Bibel mewakili
versi bahasa Ibrani Israil menurut tradisi di atas, yang
bertarikh sejak sebelum abad ke-4 Pra-Masehi, maka Qur'an
yang juga memperlakukan tradisi serupa, mewakili versi
bahasa Arab menurut tradisi itu juga, berasal dari periode
ketika bahasa Arab telah menggantikan bahasa Aram dan bahasa
Ibrani sebagai bahasa lisan yang dipakai di Arabia Barat.
Sepintas lalu, perbedaan-perbedaan antara kedua versi
tersebut mungkin kelihatannya membingungkan; tetapi setelah
penyelidikan yang lebih mendalam, kitab-kitab itu akan
menjadi lebih informatif.
Sampai kini, yang telah kita peroleh adalah sebagai
berikut: sebuah teks konsonan Ibrani yang dapat kita anggap
akurat, yang harus dibaca kembali dengan teliti tanpa
memikirkan tentang pengucapan tradisionalnya;
catatan-catatan Mesir kuno, Mesopotamia kuno dan
catatan-catatan lainnya yang menyebutkan nama-nama tempat
menurut Bibel dan harus dibaca kembali tanpa berkonsultasi
dengan penafsiran geografis ataupun topografisnya yang ada;
karya-karya para sejarawan dan ahli geografi zaman Klasik
yang dapat membantu; teks-teks konsonan Qur'an yang tidak
beruhah sejak pertama kalinya dikumpulkan dan disusun; dan
akhirnya suatu gambaran tentang Arabia Barat yang penuh
dengan nama-nama menurut Bibel yang sebagian besar bentuk
Bibelnya belum berubah, atau paling tidak masih dapat
dikenali dengan mudah dalam bentuk-bentuk yang ada sekarang.
Pada bab berikutnya, bagian dari Arabia Barat tempat
nama-nama menurut Bibel berpusat akan digambarkan secara
lebih mendetil lagi. Kemudian, saya akan meneliti teks-teks
Bibel tertentu untuk memperlihatkan betapa cocoknya geografi
teks itu dengan geografi Arabia Barat. Para pembaca akan
dapat menilai sendiri adakan argumentasi utama buku ini
cukup meyakinkan atau tidak. Tetapi kita perlu mengingat,
apa pun kesimpulannya, Bibel tetap Bibel, tanpa peduli di
mana letak tanah asalnya.
|