|
1. DUNIA YAHUDI KUNO (2/4)
Dalam setiap tahap, emigrasi dari Arabia Barat menuju
Suria dan Palestina (dan mungkin juga daerah-daerah lain)
didukung oleh faktor-faktor luar. Sebagai daerah yang kaya
akan bahan baku alam, dan lagi pula sebagai daerah yang
menguasai salah satu bandar perdagangan pada zaman kuno
(lihat Bab 3), Arabia Barat sudah
semestinya merupakan sebuah target untuk penjajahan ke
kerajaan sejak masa lampau. Dalam Bab
11, akan dibuktikan, melalu bukti-bukti toponimik,
bahwa ekspedisi yang dilakukan oleh raja Mesir Sheshonk I
terhadap Yudah, pada akhir abad ke-10 S.M., seperti yang
dikisahkan dalam Bibel Ibrani dan didukung oleh bukti-bukti
dari catatan-catatan kuno Mesir, ditujukan kepada Arabia
Barat, bukan terhadap Suria dan Palestina seperti yang
sampai kini diperkirakan. Sebuah penyelidikan yang dilakukan
secara mendalam atas sebuah lagi ekspedisi kerajaan Mesir
yang disebut dalam Bibel Ibrani, yaitu ekspedisi Raja Necho
II pada akhir abad ke-7 S.M., mengungkapkan bahwa ekspedisi
yang melibatkan seorang Raja Yudah dan orang-orang
Babilonia, juga diarahkan ke Arabia Barat. Pertempuran
Karchemis (krkmys, Tawarikh 2 -
35:20; Yesaya 10:9; Yeremia 46:2), antara pasukan Mesir dan
Babilonia, terjadi di dekat Taif, di sebelah Selatan Hijaz,
di tempat itu dua buah pedesaan yang berdekatan, Qarr
(qr) dan Qamashah
(qms), masih berdiri.
Dengan demikian, saya yakin 'Karchemis' yang tertulis
dalam Bibel itu bukanlah Kargamesa bangsa Hittit, yang
sekarang merupakan Jerablus di tepi sungai Furat (Efrat)
seperti yang sampai kini
diperkirakan.[11]
Ekspedisi-ekspedisi militer pertama kerajaan Mesir sejak
2000 tahun S.M., yang selama ini diketahui sebagai
penyerangan terhadap Suria dan Palestina, jika kita teliti
kembali melalui catatan-catatan kuno Mesir dengan bantuan
nama-nama tempat dari Arabia Barat yang masih terdapat di
sana [12],
akan terlihat bahwa tindakan-tindakan militer itu lebih
cenderung ditujukan kepada Arabia Barat. Sebagai bangsa
kerajaan, orang-orang Mesir kuno benar-benar tertarik untuk
menguasai Arabia Barat dan jalur-jalur
perdagangannya,[13]
seperti halnya bangsa Assyria dan Babilonia pada masa
kejayaan mereka. Mestinya, setelah setiap penjajahan
kerajaan atas tanah mereka, dari arah mana pun, sebuah
gelombang migrasi baru bertolak dari Arabia Barat ke
daerah-daerah seperti Palestina.
Persis pada saat kerajaan Mesir menyudahi masa
penghematan antara akhir abad ke-11 dan awal abad ke-10
S.M., kerajaan Israil berdiri di bukit-bukit daerah pesisir
Asir (lihat Bab 8-10),
di bawah pimpinan Saul, kemudian dikembangkan oleh Daud dan
mencapai puncak kejayaan dan kemakmurannya di bawah raja
Sulaiman (Salomo). Andaikata Daud dan Sulaiman pada masa
mereka benar-benar memimpin sebuah kerajaan Suria yang
menguasai daerah strategis yang memisahkan Mesir dan
Mesopotamia, seperti yang diduga (lihat 1 Raja-raja 4:21
dalam terjemahan standar mana pun), maka catatan-catatan
Mesir dan Mesopotamia sudah semestinya paling tidak
menyinggung nama-nama mereka, tetapi hal ini tidak terlihat.
Sewaktu kerajaan Mesir bangkit kembali pada abad ke-10,
intervensi baru yang dilakukannya di Arabia Barat
menyebabkan terpecahnya kerajaan Israil menjadi dinasti
'Yudah' dan dinasti 'Israil' yang saling bersaingan (lihat
Bab 10). Perang saudara antara
Israil ini, yang berkobar pada dasawarsa terakhir abad itu,
kemungkinan besar mengakibatkan migrasi secara besar-besaran
yang pertama ke negara-negara lain, terutama Palestina.
Penjajahan yang dilangsungkan oleh bangsa Mesopotamia atas
Arabia Barat antara abad ke-9 dan ke-6 S.M., pertama-tama
oleh bangsa Assyria dan kemudian oleh orang-orang Babilonia
(yang sudah merupakan bangsa Neo-Babilonia), hanya
memperbesar arus migrasi ini.
Pada tahun 721 S.M. kerajaan 'Israil' di Arabia Barat itu
dihancurkan oleh Raja Assyria, Sargon II, yang menduduki
ibukotanya, yaitu Samaria,
(smrwn, yang kini masih berdiri
dengan nama Shimran, lihat Bab
10) dan membawa penduduk terkemukanya ke Persia sebagai
tawanan.[14]
Kemudian, pada tahun 586 S.M., penguasa Babilonia,
Nebuchadnezzar, memusnahkan kerajaan 'Yudah' di Arabia Barat
dan membawa ribuan penduduknya kembali ke Babilonia sebagai
tawanan. Begitu besar hasrat orang-orang Babilonia untuk
menjaga kekuasaan mereka atas Arabia Barat dan untuk
mempertahankan tanah jajahan mereka itu dari usaha-usaha
perebutan kembali kekuasaan atas koloni itu oleh kerajaan
Mesir (seperti yang pernah dicoba oleh Necho II, seperempat
abad sebelumnya), sampai-sampai pengganti Nebuchadnezzar,
yaitu Nabodinus, memindahkan ibukotanya dari Babilonia ke
Teima (Tayma') di Hijaz Utara
dan seperti yang kita ketahui, ia lebih lama menjalankan
pemerintahannya di daerah itu.
Sampai pada waktu itu, kemungkinan kehadiran orang-orang
Yahudi di Palestina telah bersifat permanen. Keadaan
orang-orang Israil yang menyedihkan di Arabia Barat mungkin
mendatangkan harapan kaum Yahudi di sana akan hidup lebih
baik di koloni Yahudi yang baru - di 'putri Zion' dan 'putri
Yerusalem' (dengan kata lain, Zion dan Yerusalem baru di
Arabia Barat, lihat Bab 9)
seperti halnya orang-orang Eropa yang pada abad ke-17 dan
ke-18 kecewa akan kehidupan mereka di daratan Eropa, dan
mengharapkan akan kehidupan yang lebih baik di koloni mereka
yang baru, yaitu Amerika. Pengharapan orang-orang Eropa pada
waktu itu dikemukakan oleh Goethe dalam kalimat-kalimatnya
yang sering dikutip:
- Amerika, engkau memiliki yang lebih baik
- Daripada yang dimiliki benua kami, yang lama.
Jauh sebelumnya, mungkin orang-orang Yahudi di Arabia
Barat menyuarakan pengharapan yang serupa, pada suatu waktu
antara abad ke-8 dan ke-5 S.M., membicarakan, barangkali,
tentang dunia baru mereka di Palestina, seperti yang berikut
ini:
- Dan engkau, wahai Menara Kawanan Domba,
- Hai Bukit putri Zion,
- Kepadamu akan datang
- Dan akan kembali pemerintahan
- Yang dahulu,
- Kerajaan putri Yerusalem.
- (Mikha 4:9)[15]
Dan juga dalam kata-kata ini:
- Putri gadis Zion
- Membencimu,[16]
memperolok-olokkan engkau
- Dan putri Yerusalem
- Menggeleng-gelengkan kepala di belakangmu
- Dan orang-orang yang terluput di antara kaum
Yudah
- Yaitu orang-orang yang tertinggal,
- Akan berakar ke bawah,
- Dan menghasilkan buah ke atas;
- Sebab dari Yerusalem akan keluar orang-orang yang
tertinggal,
- Dan dari Gunung Zion orang-orang yang terluput;
- Semangat Penguasa
Sabaoth,[17]
akan melakukan hal ini.
- (Yesaya 37:22b, 31-32; juga 2 Raja-raja 19:21b,
30-31)
Dan mungkin dalam ini pula:
- Bergembiralah, wahai putri Zion;
- Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai putri
Yerusalem
- Lihat, rajamu datang kepadamu;
- Ia jaya dan menang,
- Ia rendah hati dan mengendarai seekor keledai,
- Seekor keledai beban yang
muda.[18]
- (Zakharia 9:9)
Jika ada harapan yang tertinggal untuk mendirikan kembali
sebuah pemerintahan Israil yang mampu bertahan seusainya
penjajahan oleh bangsa-bangsa Assyria dan Babilonia, maka
harapan ini pudar secara tidak langsung dengan munculnya
kerajaan Persia, Achaemenes, pada akhir abad ke-6 S.M. Pada
tahun 538 S.M., bangsa Persia menaklukkan Babilonia; dan
pada tahun 525, mereka telah mengalahkan Suria dan menduduki
Mesir dan untuk pertama kalinya mempersatukan semua negara
yang terletak di kawasan Timur Dekat kuno, di bawah sebuah
pemerintahan kekerajaan yang efisien. Kekuasaan bangsa
Persia ini juga kemudian meliputi hampir seluruh, bahkan
mungkin semua, daerah Semenanjung Arabia, tetapi aksi-aksi
penjajahan mereka di Utara sangat merugikan perdagangan
kafilah antar-Arabia yang merupakan aliran utama komunitas
Israil dan komunitas-komunitas kuno lainnya di Arabia Barat.
Jalan-jalan besar yang diawasi, dibuat oleh Achaemenes guna
menghubungkan Persia dan Mesopotamia dengan Mesir melalui
Suria, berakibatkan secara langsung tergesernya jalur-jalur
utama perdagangan menjauhi Arabia, hingga menyebabkan
kemacetan ekonomi wilayah Jazirah Arab beserta jaringan
perdagangannya. Pada awal abad berikutnya, didirikannya
sebuah terusan oleh orang-orang Persia guna menghubungkan
Laut Merah dengan sungai Nil, membantu perdagangan maritim
secara merugikan perdagangan kafilah Arabia yang menuju ke
arah sana. Akibat kesemuanya ini, secara menyeluruh,
berkenaan dengan Arabia Barat, mestinya sangat merusak.
Agaknya bangsa Persia sama sekali tidak bersifat memusuhi
kaum Yahudi; malah kita mengetahui bahwa mereka membela kaum
itu. Maka dari itu, dengan mendapatkan izin dari pemerintah
Persia, sekitar 40.000 orang keturunan tawanan-tawanan
Israil di Persia dan Mesopotamia kembali ke Arabia Barat
dengan membawa perabot rumah tangga mereka, dengan tujuan
untuk membangun kembali perkampungan mereka di sana. Tetapi
malang bagi mereka, orang-orang Israil ini kecewa dengan apa
yang mereka temukan di sana, di mana-mana sekeliling mereka
terdapat kemiskinan dan kehancuran yang menyedihkan. Yang
terjadi selanjutnya hanya dapat menurut perkiraan saja,
karena sampai di sini Kitab Bibel Ibrani itu tidak
melanjutkan lagi kisah-kisah yang bersejarah. Tetapi ada
suatu hal yang dapat dipastikan, yaitu belum ada
perkampungan Israil yang berhasil didirikan kembali di tanah
asal mereka di Arabia Barat, meskipun agama Yahudi tetap ada
di sana dan di Arabia Selatan, bahkan sampai kini. Sebagian
besar orang-orang Israil yang kembali pada periode
Achaemenid mestinya berhasil kembali ke Mesopotamia dan
Suria, atau berpencar. Sejak saat itu sampai dengan
dihancurkannya Yerusalem di Palestina oleh bangsa Rumawi
pada tahun 70 M., arus utama sejarah kaum Yahudi terpusatkan
di sekitar Palestina. Mengenai asal mulanya Yudaisme di
Arabia Barat agaknya telah dilupakan.
|