Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

HAK DAN KEWAJIBAN KELUARGA SI SAKIT DAN TEMAN-TEMANNYA (20/25)
Dr. Yusuf Qardhawi
 
RUKHSHAH BAGI SI SAKIT UNTUK MENGELUARKAN DERITANYA
 
Tidak mengapa bagi si sakit untuk mengeluhkan rasa  sakit  dan
penderitaannya  kepada  dokter  atau  perawatnya, kerabat atau
temannya, selama hal itu  dilakukan  tidak  untuk  menunjukkan
kebencian  kepada  takdir,  atau untuk menunjukkan keluh kesah
dan kekesalannya.
 
Hal  ini  disebabkan  orang  yang  dijadikan  tempat  mengaduh
--lebih-lebih  jika  ia  dokter  atau  perawat-- kadang-kadang
punya  obat  yang  dapat  menghilangkan  rasa  sakitnya,  atau
minimal  meringankannya.  Disamping  itu, menyampaikan keluhan
kepada  orang  yang  dipercayainya  dapat  meringankan   beban
psikologis,  lebih-lebih  jika  orang  itu  mau menanggapinya,
merasa  iba  padanya,  dan  ikut  merasakan  penderitaan  yang
dialaminya. Seorang penyair kuno mengatakan:
 
    "Aku mengaduh dan mengeluh
    Padahal mengeluh seperti ini tak biasa kulakukan
    Tapi memang
    Bila gelas sudah penuh isinya
    Ia akan tumpah keluar."
 
Pujangga lain mengatakan:
 
    "Tak apalah engkau mengaduh
    Kepada orang yang berbudi luhur
    Agar ia iba padamu
    Atau menenangkan jiwamu
    Atau turut merasakan penderitaanmu."
 
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu  Mas'ud  r.a.  bahwa  Nabi
saw. pernah berkata:
 
    "Aku demam yang panasnya setinggi yang dialami dua orang
    dari kalian."
 
Diriwayatkan dari al-Qasim  bin  Muhammad  bahwa  Aisyah  r.a.
pernah   berkata,   "Aduh,  kepalaku  sakit."  Dan  Nabi  saw.
menimpali, "Aduh, kepalaku juga sakit!"
 
Dan diriwayatkan dari  Sa'ad,  ia  berkata,  "Rasulullah  saw.
datang  menjenguk  saya  ketika  penyakit saya bertambah berat
pada waktu haji wada',  lalu  saya  berkata,  'Saya  menderita
sakit sebagaimana yang engkau lihat ..."71
 
Imam  Bukhari  meriwayatkan  dalam al-Adabul-Mufrad dari Urwah
bin Zuber, ia berkata, Saya  dan  Abdullah  bin  Zuber  pernah
menjenguk  Asma'  --binti  Abu Bakar yang nota bene ibu mereka
sendiri-- lalu  Abdullah  bertanya  kepada  Asma',  'Bagaimana
keadaan Ibunda?' Asma' menjawab, 'Sakit.'"72
 
Riwayat-riwayat  ini  menolak  anggapan  sebagian  ulama  yang
mengatakan bahwa orang  sakit  dimakruhkan  mengeluh/mengaduh.
Imam  Nawawi  mengomentari  pendapat  sebagian  ulama tersebut
dengan mengatakan, "Ini adalah pendapat yang lemah atau batil,
karena  sesuatu  yang makruh ditetapkan dengan adanya larangan
yang  dimaksud,  sedangkan  yang  demikian  tidak   didapati."
Kemudian  beliau berhujjah dengan hadits Aisyah dalam bab ini,
lalu berkata, "Barangkali yang mereka  maksud  dengan  karahah
(makruh)  disini  adalah khilaful-aula (menyalahi sesuatu yang
lebih utama),  sebab  tidak  diragukan  lagi  bahwa  melakukan
dzikir lebih utama (daripada mengaduh/mengerang)."73
 
Al-Qurthubi  berkata, "Sebenarnya tidak seorang pun yang dapat
menolak rasa sakit, dan memang jiwa manusia  diciptakan  untuk
dapat  merasakan yang demikian, maka apa yang telah diciptakan
Allah pada manusia tidaklah dapat diubah. Hanya saja,  manusia
dibebani  tugas  untuk melepaskan diri dari sesuatu yang dapat
ditinggalkan  apabila  ditimpa  musibah,  misalnya  berlebihan
dalam  mengeluh dan mengaduh, karena orang yang berbuat begitu
berarti telah keluar dari artian sebagai  ahli  sabar.  Adapun
semata-mata mengaduh tidaklah tercela, kecuali ia membenci apa
yang ditakdirkan atas dirinya."74
 
Bahkan Imam Muslim meriwayatkan  dari  Utsman  bin  Abil  'Ash
bahwa   dia   mengeluhkan  rasa  sakit  pada  tubuhnya  kepada
Rasulullah saw., lalu beliau bersabda kepadanya:
 
    "Letakkan tanganmu pada badan tubuhmu yang sakit, dan
    ucapkan 'bismillah' (dengan nama Allah) tiga kali, dan
    ucapkan doa ini sebanyak tujuh kali: 'Aku berlindung
    dengan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya dari apa yang
    aku derita dan aku khawatirkan.'"75
 
Para ulama mengatakan,  "Dari  riwayat  ini  dirumuskan  hukum
sunnahnya   menyampaikan   keluhan   kepada  orang  yang  bisa
memohonkan berkah, karena mengharapkan keberkahan doanya"76
 
Imam Ahmad biasanya memuji Allah terlebih dahulu, baru setelah
itu  beliau  memberitahukan  apa  yang  dideritanya, mengingat
riwayat dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Apabila menyampaikm
syukur  terlebih  dahulu  sebelum  menyampaikan  keluhan, maka
tidaklah dia dinilai berkeluh kesah."77
 
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari perkataan  Nabi  saw.  dalam
hadits Aisyah ("kepala saya juga sakit") dengan mengatakan:
 
    "Riwayat ini menunjukkan bahwa mengatakan sakit tidak
    termasuk berkeluh kesah. Sebab betapa banyak orang yang
    hanya berdiam tetapi hati mereka merasa jengkel (marah),
    dan betapa banyak orang yang mengadukan sakitnya tetapi
    hatinya merasa ridha. Maka yang perlu diperhatikan di
    sini adalah amalan hati, bukan amalan lisan.78 Wallahu
    a'lam.
 
Disisi lain, bagi orang yang  menerima  keluhan  hendaklah  ia
berusaha  meringankan  penderitaan si sakit dengan membelainya
atau menyentuhnya dengan penuh kasih sayang, dengan  perkataan
yang  menyejukkan hati, dan dengan doa yang baik, sebaggõimana
yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap  Sa'ad.  Aisyah  binti
Sa'ad  meriwayatkan  bahwa  ayahnya bercerita, "Ketika saya di
Mekah, saya mengadukan sakit yang  berat,  kemudian  Nabi  saw
menjenguk  saya.  Kemudian  beliau  menaruh  tangan beliau dan
mengusapkannya pada muka dan perut saya, seraya berdoa:
 
    "Ya Allah, sembuhkanlah Sa'ad, dan sempurnakanlah
    hijrahnya."
 
Sa'ad  berkata,  "Maka  saya  senantiasa  merasakan  dinginnya
tangan  beliau  di  hati saya --menurut perasaan saya-- hingga
hari kiamat."79
 
Ibnu  Mas'ud  juga  berkata,  "Saya  pernah  masuk  ke  tempat
Rasulullah  saw.  ketika  beliau sedang sakit parah, lalu saya
belai  beliau  dengan  tangan  saya  sembari  berkata,  'Wahai
Rasulullah,  sakitmu  sangat  berat.' Beliau menjawab, 'Benar,
sebagaimana yang diderita oleh dua orang diantara kamu.'  Saya
berkata,  'Hal  itu karena engkau mendapat dua pahala?' Beliau
menjawab, 'Benar.' Kemudian beliau bersabda:
 
    "Tidak seorang muslim yang ditimpa suatu gangguan berupa
    penyakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan
    dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan
    daun-daunnya."80
 
Selain itu, hendaklah ia berusaha meringankan  penderitaan  si
sakit  dengan  mengingatkannya  akan  keutamaan sabar terhadap
cobaan Allah dan  ridha  menerima  qadha-Nya,  mengingatkannya
akan  pahala  orang  yang mendapatkan ujian lantas ia bersabar
dan rela menerimanya. Hendaklah ia mengingatkan bahwa penyakit
yang   menimpanya   adalah   untuk   menyucikan   dan  menebus
dosa-dosanya,   untuk   menambah   kebaikannya,   atau   untuk
meninggikan  derajatnya.  Disamping  itu!  ia  juga  sebaiknya
diberi pengertian bahwa  orang  yang  paling  berat  cobaannya
ialah para nabi, kemudian orang-orang yang memiliki derajat di
bawahnya, dan  seterusnya.  Perlu  juga  diingatkan  kepadanya
tentang  ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi, serta biografi para
shalihin yang  sekiranya  dapat  menenangkan  dan  memantapkan
hatinya,   tidak   menjadikannya  jenuh  dan  berat.  Kemudian
sebaiknya ia diajari dengan  sesuatu  yang  dapat  meninggikan
jiwanya,  sebagaimana yang dilakukan Nabi saw. terhadap Utsman
bin Abil 'Ash.
 
Adapun mengenai  pengaduan  kepada  Sang  Pencipta  Yang  Maha
Luhur,  maka  Al-Qur'an  telah mengisahkan beberapa orang Nabi
a.s. yang mulia. Diantaranya Al-Qur'an mengisahkan Nabi Ya'qub
a.s. yang mengatakan:
 
    "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan
    kesusahan dan kesedihanku ..." (Yusuf: 86)
 
Demikian pula ketika mengisahkan Nabi Ayub a.s.:
 
    "Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya:
    '(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit,
    dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara
    semua penyayang." (al-Anbiya': 83)
 
Ayat-ayat ini sekaligus menyangkal anggapan golongan sufi yang
mengatakan  bahwa  berdoa  merusak keridhaan dan penyerahan.81
Dalam  hal  ini  sebagian  mereka  berkata,   "Pengetahuan-Nya
tentang keadaanku tidak memerlukan aku meminta kepada-Nya."
 
Tetapi  yang  perlu ditegaskan disini bahwa berdoa dan memohon
kepada  Allah  adalah  ibadah,  sebagaimana  yang   disabdakan
Rasulullah saw.
 
Sebenarnya,  menurut  kesepakatan  para  ulama, yang tergolong
makruh dalam hal ini ialah berkeluh kesah  terhadap  Tuhannya,
yaitu  menyebut-nyebut  penderitaannya  kepada  manusia dengan
jalan memaki-maki.82 Inilah yang dilakukan oleh sebagian orang
yang  melupakan  nikmat Allah, yang mereka ingat hanyalah bala
dan bencana semata.
 
(Bagian: 01, 02, 03, 03a, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 12,
     13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 21a, 22, 23, 24, 25)
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team